Lahir Hanung, Negara Berkabung
Pencarian Hanung terhadap sejarah Indonesia bermula ketika bendera merah-putih selalu berkibar setengah tiang saat hari ulangtahunnya.
ROMAN Bumi Manusia sudah sangat “personal” buat Hanung Bramantyo. Tak heran jika membuat roman ini jadi film adalah beban untuk Hanung. Peraih dua Piala Citra sebagai sutradara terbaik 2005 (Brownies) dan 2007 (Get Married) mengaku sejatinya perkenalan pertamanya dengan Pram bukan lewat Bumi Manusia, melainkan Perburuan. Semua itu terjadi tak lain lantaran sejak kecil Hanung selalu heran mengapa setiap berulangtahun bendera merah-putih selalu berkibar setengah tiang.
“Saya lahir 1 Oktober 1975. Tepat di Hari Kesaktian Pancasila. Sepuluh tahun sebelumnya terjadi peristiwa Lubang Buaya (Gerakan 30 September-1 Oktober 1965). Kalau jam 2 malam para jenderal diculik, ibu saya (10 tahun berselang) masuk ke bidan. Jam 6 para jenderal dimasukkan ke (sumur) Lubang Buaya, saya 1975 lahir,” tutur Hanung berkisah kala bertandang ke redaksi Historia, Selasa (20/8/2019) malam.
Hanung kecil mencari tahu apa yang terjadi dengan bertanya kepada gurunya. Namun jawaban gurunya tidak memuaskan Merasa tak puas penjelasan gurunya, ia pun bertanya kepada ibunya.
“Bertanyalah saya pada ibu saya. Bu, kenapa lahir saya kok negara berkabung? Jawaban ibu saya, khas jawaban ibu-ibu pengajian Muhammadiyah zaman Orde Baru, ya pada saat itu negara sedang dikhianati. Bahwa ada pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI itu siapa? Kata ibu saya PKI itu orang jahat,” kenangnya.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
“Stempel” orang jahat di pikiran Hanung kecil saat itu hanyalah penjajah Belanda. Maklum ia belum akrab dengan istilah PKI/Komunisme. Penjahat yang ia kenal sekadar penjajah Belanda di film-film maupun mata pelajaran sekolah. Maka dengan “modal” cap itulah ia turut menonton film Pengkhianatan G30S/PKI sejak mulai dirilisnya 1984.
“Saya nonton betul-betul kepengin tahu apa itu PKI. Awalnya saya pikir PKI itu (penjajah) Belanda. Tapi kok (di filmnya) sama-sama orang Indonesia saling tembak-tembakan, saling bunuh-bunuhan ya. Habis itu saya tanya bapak, tapi juga enggak dapat jawaban yang serius. Sampai kemudian muncul (semasa) SMA karyanya Pak Pram yang dulu disebutkan kiri, Lekra dsb,” imbuh Hanung.
Novel Pram pertama yang ia dapatkan di sebuah toko buku loak adalah Perburuan (1960). Mulanya ia juga menduga bahwa isi ceritanya berpusar pada orang-orang PKI yang diburu. “Tapi saya baca, kok tentang kemerdekaan Indonesia ya? Tentang Supriyadi, di mana kita mengertinya Supriyadi adalah pahlawan. Enggak ada yang berbahaya. Mana PKI-nya (di novel Pram)?" cetusnya.
Jatuh Cinta pada Bumi Manusia
Tamat membaca Perburuan sembunyi-sembunyi, ia ketagihan karya Pram sampai akhirnya menemukan Bumi Manusia. Lagi-lagi dia salah sangka, Hanung mengira Bumi Manusia kisah tentang manusia-manusia yang ditenggelamkan ke bumi sebagaimana halnya para jenderal dikuburkan ke dalam tanah di sebuah sumur di Lubang Buaya.
“Pas saya baca, enggak ada sama sekali (perihal komunisme). Adanya tentang pribumi, penindasan dan lain-lain. Itu perkenalan saya dengan Pram. Setelah reformasi ada (buku-buku) reverse angle tentang G30S. Dari situ saya temukan jawabannya. Ya seperti (buku) Palu Arit di Ladang Tebu, pengakuan Pak Latief (buku Pledoi Kol. A. Latief), akhirnya mulai terbuka semuanya. Oh, ternyata konflik. Baru saya membaca Bumi Manusia lagi dengan tenang. Sudah nemu titik poinnya,” sambung Hanung.
Perlahan tapi pasti ia nge-fans berat dengan romannya. Ia jatuh cinta pada sosok Nyai Ontosoroh, gundik tuan tanah Belanda namun punya karakter yang kuat. Semasa kuliah perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia mencoba mendatangi Pram di Bojonggede sekira 2004 lampau.
Hanung dengan harapan tinggi ingin minta izin “meminjam” sosok sang nyai untuk dibuat film pendek. Sayang, ia pulang tak hanya dengan tangan hampa, namun dengan dua pelajaran. Soal ini, ia menolak dimuat lebih dalam. Tapi penantian panjang Hanung tak sia-sia. Tetiba petinggi Falcon Pictures HB Naveen datang menyodorkan lembaran kontrak dan hak penggarapan film Bumi Manusia.
Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial
Hanya tantangannya, bagaimana Bumi Manusia bisa diterima generasi kekinian. Hanung mengaku sedianya tak tega harus mengalihwahanakan novel itu ke layar perak dengan serentetan perubahan. “Ya karena saya nge-fans sama Bumi Manusia. Kalau novel lain mungkin saya tega,” katanya.
Hanung harus putar otak agar roman dengan bobot berat itu bisa diterima pasar penonton Warkop DKI Reborn atau Dilan. Ia pun akhirnya mesti kompromi. Toh filmnya dimaksudnya sebagai film komersil. Terlebih jika sudah bicara film, bukan lagi keputusan satu orang laiknya novel yang hanya jadi tanggungjawab si penulis. Dalam film mesti menyatukan dua-tiga kepala: produser, sutradara dan atau penulis skenario.
“Saya membayangkan, anak-anak SMA nge-tweet, posting Instagram dengan kata-kata: ‘Dik, cinta itu indah ya, berikut tragedi yang menyertainya’. Atau kata-kata: ‘seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan’. Bumi Manusia ini kan berbicara tentang penindasan. Ini menarik. Pembukaan UUD 1945 saja berbicara bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh jadi orang yang menindas,” lanjutnya.
Alasan Memilih Iqbaal sebagai Minke
Nah, untuk menggaet milenial metode mainstream-nya tak lain adalah merekrut aktor yang sedang nge-hits tentunya. Nama Iqbaal Ramadhan untuk memerankan tokoh utama, Minke, datang dari usulan sang penulis skenario, Salman Aristo. Meski mulanya mengaku kurang sreg, akhirnya Hanung menjatuhkan pilihan setelah melakukan “fit and proper test” pada pemeran Dilan itu.
“Setelah ada pemutaran film Dilan, saya temui Iqbaal. Saya tanya yang simple. Kalau enggak bisa jawab, ya sudah, gone. Kalaupun Naveen memaksa, saya ‘mending’ mundur,” paparnya lagi.
Baca juga: Lima Pemeran Utama yang Dipersoalkan
Pertanyaan pembuka, tentulah apakah Iqbaal tahu novel Bumi Manusia? Hanung sempat terkejut lantaran nyatanya Iqbaal pernah meresensi roman itu dalam bahasa Inggris. Kebetulan saat sekolah di Kanada, salah satu guru mata pelajaran yang diikutinya meminta murid-muridnya meresensi novel-novel kenamaan dunia.
“Dia minta ayah-ibunya mencarikan novel-novel bagus. Ketemulah ada Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Bumi Manusia dll. Nah dia pilih Bumi Manusia. Kenapa? Katanya, ‘Lucu sih, mas, judulnya’. Sempat saya tersinggung luar biasa. Apa kamu enggak tahu Bumi Manusia dibuatnya di penjara dengan kepahitan segala macam? Dia enggak tahu. Tapi apa kemudian saya harus marah dan memuntahkana beban kepahitan itu ke anak 19 tahun?,” urai Hanung.
Terlepas dari soal itu, Hanung akhirnya memilih Iqbaal sebagai Minke. Jelas ia tak perlu lagi menyuruh Iqbaal membaca Bumi Manusia lagi. Justru Hanung ingin Iqbaal lebih mendalami karya-karya Max Havelaar dan mempelajari tokoh Snouck Hurgronje.
“Dia kan sudah sesuai sebagai anak muda berkulit coklat. Dia juga pernah merasakan jadi minoritas saat sekolah di luar negeri. Tinggal jiwa menjadi budak di negerinya sendiri. Makanya saya minta dia untuk tidak boleh diladenin sama manajernya, meninggalkan fasilitas-fasilitas, masak dan mencuci sendiri, tidur di lantai, intinya jadi pembantu di rumahnya sendiri,” tandas Hanung.
Jadilah filmnya diproduksi dengan mulanya berdurasi 4,5 jam yang tentu mesti dipangkasnya jadi 172 menit. Film yang diproduksi dengan halangan terbesar berupa waktu dan tantangan besar bagi egonya.
“Buat saya film ini sebagai puncak karier saya, puncak pembelajaran. Rasanya seperti bikin film pertamakali. Jadi ego saya sangat tertantang. Rumus yang saya gunakan selama mengerjakan 20 film tak terpakai di sini. Seperti masuk lagi ke zaman saya awal-awal membuat film,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar