Serba-serbi Superhero Pertama Asia
Mulai Ōgon Bat hingga Ms. Marvel, dari Green Turtle sampai Sri Asih. Karakter pahlawan super Asia yang dulunya termarjinalkan kini unjuk kekuatan.
AJANG AvengerCon yang semarak dan disesaki para fans kumpulan superhero The Avengers berubah kacau. Sesosok ABG yang ber-cosplay ala Captain Marvel low-budget di atas panggung panik sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Sosok di balik topeng (cosplay) Captain Marvel itu ternyata gadis belia berdarah Pakistan, Kamala Khan (diperankan Iman Vellani).
Potongan adegan itu mengawali episode pertama seri waralaba bertajuk Ms. Marvel garapan penulis Bisha K. Ali. Penulis berdarah Pakistan itu sebelumnya tenar mengadaptasi karakter komik Marvel lain untuk dialihwahanakan ke seri waralaba Loki (2021).
Kali ini, Bisha mengadaptasi salah satu versi karakter Ms. Marvel, yakni Kamala Khan. Karakter ini sebelumnya muncul di versi komik Captain Marvel edisi ke-14 terbitan 14 Agustus 2013 ciptaan komikus yang juga beradarah Pakistan, Sana Amanat. Namun, dari hasil diskusi dengan Amanat kemudian, Bisha mengubah premis tentang bagaimana Kamala mendapatkan kekuatannya.
Di versi komik, Amanat menggambarkan Kamala Khan mendapatkan kekuatan supernya setelah terpapar gen alien dari Terrigen Mist. Di versi layar kaca Ms. Marvel, Kamala dianugerahi kekuatan super sesaat mengenakan gelang emas warisan nenek-buyutnya.
Pendekatan yang relate dengan kehidupan sehari-hari –terlepas berkalang cerita fiktif– tetap jadi garis besar Marvel, sebagaimana kesuksesan waralaba tersebut di layar perak maupun layar kaca belakangan. Yang jadi pembeda kali ini, Marvel memberanikan diri menonjolkan sosok Kamala Khan yang merupakan pahlawan super Muslim pertama di semesta Marvel, lengkap dengan keresahan karakternya sebagai imigran muslim di Amerika Serikat.
“Kedekatan dengan kehidupan sehari-hari ceritanya sudah ada dalam komiknya sendiri dan pertanyaannya bagaimana kami menghidupkannya (di layar kaca) dan bagaimana makna karakter itu bagi setiap dari kami. Kami bisa melakukannya karena komiknya eksis dan diterbitkan pertamakali oleh Sana Amanat. Tentu banyak bagian yang sangat emosional bagi kami dan kami merasa bertanggungjawab tentang bagaimana kami membawakan ceritanya karena inilah kehidupan kami,” terang Bisha kepada Entertainment Weekly, 16 Juni 2022.
Vellani sependapat. Aktor muslimah Kanada kelahiran Pakistan itu sama sekali tak merasa asing dengan kehidupan karakter Kamala Khan, baik soal keresahan sehari-hari hingga kultur dan agama yang ia peluk.
“Tumbuh di Kanada dan terkesima dengan pop-culture Amerika dan Hollywood, membuat saya sempat jauh dari akar budaya Pakistan. Saya tak pernah memaknai itu sampai saya mulai syuting, di mana mata saya terbuka. Dulu saya bertemu banyak muslim dan orang Asia Selatan yang sangat erat dengan asal-usul mereka dan itu membuat saya menengok ke belakang untuk menyambungkan kembali asal-usul saya. Kini saya kembali menjadi diri saya yang sesungguhnya,” ungkap Vellani, dikutip Oregon Public Broadcasting, 11 Juni 2022.
Baca juga: Enam Aktor Asia Pemilik Piala Oscar
Ms. Marvel diharapkan jadi salah satu senjata melawan rasisme anti-Arab, anti-Islam (Islamofobia), hingga anti-Asia. Umumnya di belahan bumi Barat, utamanya di Amerika, anti-Arab dan anti-Islam menjamah pasca-Tragedi 11 September 2001. Pun dengan ramainya kekerasan “Anti-Asian Hate” pasca-merebaknya Pandemi Covid-19.
Sebelum Ms. Marvel, ada karakter Scarlet Scarab alias Layla el-Faouly di serial Moon Knight (2022) yang jadi superhero Arab pertama di semesta Marvel. Lalu karakter Zheng Shang-Chi di film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) yang juga representasi karakter Asia/Oriental dalam produksi Marvel Cinematic Universe (MCU).
Gebrakan-gebrakan semacam itu takkan ditemukan di era pra-2000-an. Tokoh-tokoh Arab berkulit gelap acap digambarkan Hollywood sebagai antagonis, bahkan teroris. Pun dengan karakter-karakter Oriental atau Asia Timur yang termarjinalkan hingga acap jadi pelengkap semata. Karakter Kato, misalnya, sekadar jadi sidekick (pendamping pahlawan super) Green Hornet. Dari masa ke masa, tokoh Kato baik di versi layar kaca maupun layar lebar tak pernah keluar dari ciri khasnya sebagai sopir yang jago kungfu baik kala diperankan Keye Luke (1940), Bruce Lee (1966), maupun Jay Chou (2011).
Jago-Jago Pertama dari Asia
Sejatinya, soal karakter pahlawan super Asia tak pernah kehabisan figur-figur kreatif, bahkan sejak awal abad ke-20. Ketika di Amerika muncul pahlawan super pertama, Hugo Hercules, ciptaan Wilhelm Heinrich Detlev Körner yang terbit dalam strip komik di suratkabar Chicago Tribune pada 7 September 1902, di Jepang tiga dekade kemudian muncul karakter Ōgon Bat sebagai salah satu superhero pertama dunia dan Asia.
Ōgon Bat (terj. Kelelawar Emas) atau yang seiring waktu kondang disebut The Phanta Man diciptakan sebagai “anak rohani” duet penulis dan ilustrator Ichiro Suzuki dan Tageo Nagamatsu pada 1931. Karakter Ōgon Bat bahkan mendahului Superman dan Batman sebagai tokoh pahlawan berjubah.
“Pahlawan berjubah sudah lebih dulu muncul dalam pop-culture Jepang jauh sebelum debut Superman pada 1938. Dari sekian seri yang pertama muncul adalah Ōgon Bat, tokoh yang digambarkan berkepala tengkorak ciptaan Ichiro Suzuki dan Takeo Nagamatsu pada 1931,” tulis Anne Lee dalam “From ‘Bat-Manga’ to ‘Attack on Avengers’: Transnational Superhero Adaptatious Between Japan and America” yang tertuang dalam buku The Superhero Multiverse: Readapting Comic Book Icons in Twenty-First-Century Film and Popular Media.
Baca juga: Goodbye Stan Lee!
Namun terpublikasi pertamakali bukan lewat komik atau manga, tokoh Ōgon Bat diperkenalkan pertamakali ke seantero Jepang lewat kamishibai (teater kertas jalanan) pada medio 1931. Di masa depresi 1930-an hingga periode pasca-Perang Dunia II, kamishibai populer sebagai hiburan rakyat yang menceritakan banyak dongeng lewat lisan kamishibaiya (pendongeng) dan dibantu kertas-kertas bergambar.
Seiring waktu, Ōgon Bat dipopulerkan lewat prangko, manga (komik), serial anime (kartun) di mana Ōgon Bat mulai kondang dengan sebutan The Phanta Man, hingga versi live-action lewat film Ôgon Bat: Matenrô no Kaijin (1950). Lebih menariknya, duet kreator Suzuki-Nagamatsu menggambarkan sosok dan kekuatan Ōgon Bat terinspirasi dari sains (fiksi) ketimbang cerita-cerita mitos yang marak jadi cerita rakyat di zamannya.
“Sementara Suzuki merangkai ceritanya, Nagamatsu menggambarkan sosok Golden terinspirasi dari momen kunjungannya ke Museum Seni Kerajaan Ueno bersama putrinya, di mana mulanya mereka ingin melihat (seni) layar terlipat, gambar-gambar monokrom tua, dan lukisan-lukisan lanskap. Di salah satu gambar monokrom itulah Nagamatsu menuangkan goresan-goresan pertamanya menjadi sosok Ōgon Bat,” ungkap Eric P. Nash dalam Manga Kamishibai: The Art of Japanese Paper Theater.
Nagamatsu melukiskan Ōgon Bat sebagai sosok manusia kelelawar berkepala tengkorak berwarna emas. Tubuhnya berbalut tunik hijau bak perwira militer, ditambah jubah merah berkerah tinggi. Pahlawan yang berdiam di sebuah benteng di pegunungan Pulau Honshu itu dikisahkan berasal dari Atlantis 10 ribu tahun lampau yang dikirim ke masa depan untuk mencekal kemungkaran di muka bumi.
Untuk membasmi kejahatan, Ōgon Bat dilengkapi pedang runcing mirip pedang anggar yang juga berwarna emas. Selain itu, Ōgon Bat juga punya kekuatan manusia super seperti kebal bacok, kebal peluru, dan mampu terbang.
Baca juga: The Batman dan Sisi Kelam Kehidupan Nyata
Meski begitu, Ōgon Bat tak begitu populer di belahan bumi Barat karena memang dari Asia. Sementara, menurut Michael Pawuk dan David Serchay dalam Graphic Novels: A Guide to Comic Book, Manga, and More, figur pahlawan super “diaspora” Asia di Amerika pertama yang menembus dominasi pahlawan kulit putih adalah Green Turtle yang punya alter ego bernama Hank Chu.
“Green Turtle pahlawan super (keturunan) Cina pertama. Diciptakan pada 1944 oleh seniman Chu F. Hing. Green Turtle pertamakali muncul di beberapa halaman (komik) Blazing Comics terbitan Rural Home Publishing. (Alter ego) Hank Chu diceritakan seorang remaja Cina-Amerika yang santun dan tumbuh di kawasan pecinan yang fiktif pada 1930-an,” ungkap Pawuk dan Serchay.
Green Turtle memberantas kejahatan dengan keunggulan yang serupa tapi tak sama dengan Bruce Wayne alias Batman. Green Turtle adalah pahlawan super tanpa kekuatan super. Jika Batman punya sidekick Robin, Green Turtle punya pendamping Burma Boy. Pun begitu dengan pelayannya, di mana Batman punya Alfred Pennyworth, Green Turtle dilayani Wun Too.
Kekuatan Green Turtle sekadar jago kungfu. Meski begitu, Green Turtle melawan musuh-musuhnya dengan memanfaatkan beberapa alat hi-tech, termasuk dengan Turtle Plane-nya.
Green Turtle digambarkan Hing sebagai sosok maskulin bertelanjang dada dan mengenakan celana ketat hitam serta jubah hijau berlogo cangkang kura-kura plus topeng hijau bermotif siluet kura-kura. Mulanya Hing tak ingin menambahkan topeng untuk karakter Green Turtle dan Burma Boy kala diterbitkan di Blazing Comics edisi pertama 1944.
“Dikisahkan awalnya Hing ingin membuat karakternya terang-terangan sebagai pahlawan (keturunan) Cina, tetapi pihak penerbit tak mengizinkannya dengan alasan bahwa takkan ada pasar yang menguntungkan untuk pahlawan super Asia, jadi Hing tak pernah menggambar karakternya tanpa topeng,” tulis Jess Nevins dalam Encyclopedia of Golden Age Superheroes.
Baca juga: Para Pemeran di Balik Topeng Batman
Toh meski sudah ditambahkan topeng, komiknya minim peminat di pasaran. Alhasil Blazing Comics yang menampilkan kisah-kisah Green Turtle bersama Burma Boy yang ikut perang gerilya di Pasifik melawan Jepang hanya rilis sampai lima edisi.
Namun meski tetap dicatat sebagai pahlawan super Asia-Amerika pertama, Green Turtle lebih dikenang karena kaitannya dengan isu-isu stereotip “Yellow Peril” atau “Hantu Kuning”. Menurut Doobo Shim dalam “From Yellow Peril to through Model Minority to Renewed Yellow Peril” yang termaktub dalam Journal of Communication Inquiry terbitan Oktober 1998, sebutan “Hantu Kuning” mulanya ditujukan untuk tindak-tanduk rasisme terhadap anti-Cina yang kemudian melebar ke anti-Jepang akibat Perang Pasifik.
“Ceritanya mencoba merepresentasikan orang Cina di Amerika lewat media populer sebagai sosok yang heroik untuk melawan kekuatan Poros (Jerman-Italia-Jepang). Tetapi selama Perang Dunia II, Amerika menggambarkan Perang Pasifik dengan isu-isu rasis, seperti stereotip ‘Yellow Peril’. Orang Asia pada umumnya menjadi musuh secara ras bagi peradaban Barat,” kata Shim.
Cerita-cerita tentang pahlawan super juga telah berseliweran di Indonesia sejak masa lampau. Ada yang berasal dari kisah-kisah pewayangan, ada pula ciptaan anyar yang meniru pendekatan-pendekatan sains-fiksi dari Jepang dan Amerika.
Belum lama ini banyak bermunculan film yang mengangkat karakter-karakter pahlawan asal tanah air di tengah gempuran film-film superhero asing. Di antaranya karakter Gatotkaca dalam Satria Dewa: Gatotkaca (2022), atau Gundala yang nongol di film bertajuk serupa pada 2019.
Baca juga: RA Kosasih Bapak Komik Indonesia
Gatotkaca terinspirasi dari tokoh pewayangan wiracarita Mahabharata. Sementara Gundala adalah karakter fiktif ciptaan komikus Harya “Hasmi” Suraminata pada 1969, karakter Godam merupakan rekaan komikus Widodo Noor Slamet setahun sebelumnya.
Namun, jika mengacu pada komik, Sri Asih disebut-sebut sebagai superhero Indonesia pertama. Sosok rekaan RA. Kosasih itu mirip Wonder Woman dengan “rasa” lokal.
“Sambutan luar biasa terhadap Sri Asih membuat para ‘penjaga kebudayaan’ ketar-ketir. Mereka khawatir kegilaan kepada Sri Asih, Kapten Kilat, dan Siti Gahara, yang menyusul kemudian, bakal membuat orang-orang muda gampang ketularan kultur asing. Kapten Kilat adalah tiruan Flash Gordon, sedangkan Sri Asih yang memakai kain kebaya dan kemben merupakan adaptasi Kosasih terhadap Wonder Woman,” tulis buku Jejak Superhero Ala Indonesia.
Sri Asih, yang beralter ego Nani Wijaya, diciptakan RA Kosasih lewat publikasinya di Majalah Komik terbitan pertama (penerbit Melodi Bandung), 1 Januari 1954. Sebagaimana Wonder Woman, Sri Asih juga “dikaruniai” kekuatan kebal terhadap beragam senjata, mampu terbang. Namun, Wonder Woman tak bisa memperbesar tubuh apalagi menggandakan tubuhnya sebagaimana Sri Asih.
“Sri Asih bisa menjadi patokan awal pertumbuhan komik Indonesia. Adapun Kosasih dianggap dan memang sepatutnya sebagai bapak komik Indonesia. Komikus Muad sangat menghormatinya,” ungkap Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia.
Sosok Sri Asih yang diperankan Pevita Pearce muncul di post-credit scene film Gundala (2019). Patut ditunggu kehadirannya lantaran berdasarkan rumor yang berseliweran, film tentang Sri Asih bakal naik tayang di bioskop tahun ini.
Baca juga: Lilik Sudjio, Gundala, dan Para Pahlawan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar