Lilik Sudjio, Gundala, dan Para Pahlawan
Sang sutradara membidani film pendekar dan pahlawan super. Gunakan teknik sederhana buat Gundala.
Dunia perfilman Indonesia kembali ramai dengan film-film pendekar dan pahlawan super. Sebelumnya, sutradara Angga Sasongko membuat Wiro Sableng 212 (2018). Kini, Joko Anwar akan segera merilis film pahlawan super Gundala (2019).
Kabarnya, Bumilangit Studios juga sedang mempersiapkan film pahlawan fiksi Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Maza, Godam, Aquanus, Mandala, Si Buta dari Goa Hantu, dan Sri Asih.
Tokoh-tokoh pendekar dan pahlawan super tersebut merupakan tokoh komik yang populer pada 1970-an sampai 1980-an dan beberapa pernah diadaptasi ke media film.
Majalah Ria Film No. 412 menyebut dunia perfilman Indonesia tahun 1980-an memang banyak yang mengadaptasi komik populer. Karya-karya komikus seperti Ganes TH, telah banyak diadaptasi saat itu. Sedangkan adaptasi komik Gundala sendiri muncul belakangan setelah ditangani Lilik Sudjio.
Teknik Sederhana Film Gundala
Film Gundala Putra Petir (1981) garapan Lilik Sudjio diperankan oleh Teddy Purba (Sancaka), Ami Prijono (Profesor Saelan), Anna Tairas (Minarti), dan W.D. Mochtar (Gazul). Gundala versi 1981 ini bercerita tentang Sancaka dan Profesor Saelan yang berhasil menemukan serum antimorfin. Gazul, bos sindikat narkoba, khawatir bisnisnya hancur akhirnya menculik mereka. Sancaka dan Profesor Saelan diminta membuat heroin sintetis. Sancaka menolaknya dan memberantas kejahatan Gazul dengan berubah menjadi Gundala berkekuatan petir.
Pengamat komik Henry Ismono berpendapat bahwa film Gundala versi pertama terasa berbeda dengan versi komik. “Roh Yogya-nya tidak terlihat. Namun, untuk ukuran masa itu, ya, terbilang berhasil,” katanya kepada Historia.
Baca juga: Mengenal Lilik Sudjio, Sutradara Pertama Film Gundala
Sedangkan menurut peneliti dan kritikus film Umi Lestari, kualitas Lilik sebagai sutradara sebenarnya terletak pada caranya membangun mise-en-scene atau hal-hal yang muncul dalam gambar seperti properti, pakaian tokoh, gestur, dan lain-lain.
Misalnya, Umi terpana dengan ruangan dalam adegan ketika Gundala mendapatkan kekuatannya. Menurutnya, Lilik menunjukkan dunia fantasi penuh cahaya kristal. Dia menduga, Lilik menggunakan cara-cara sederhana untuk membuat film pahlawan super ini.
“Dia mungkin menggunakan plastik atau kain tembus pandang, sedangkan di belakangnya diberi lampu-lampu. Inilah instalasi artistik Lilik Sudjio yang kemungkinan besar jarang kita temukan di film Indonesia sekarang yang lebih memilih untuk menggunakan manipulasi digital,” terang Umi kepada Historia.
Baca juga: Gundala Main Film
Umi juga menemukan hal serupa pada film garapan Lilik lainnya yaitu Ratu Ilmu Hitam (1981). Di mana secara sadar, tim artistik film mampu membangun instalasi khusus berupa ruangan yang menggambarkan sifat dari masing-masing karakter.
“Nah, hal detail semacam ini, membangun setting dengan sederhana namun memiliki kekuatan sinematis yang mampu menghipnotis penonton, sudah ada sejak Java Industrial Film atau studio pertama di Hindia Belanda berdiri,” ungkap Umi.
Menurut Umi, Lilik memang cukup fasih untuk segi artistik. “Film Lilik itu kaya karena dari gambar-gambarnya kita masih bisa merujuk ke gambar dalam film klasik Indonesia,” kata Umi.
Pendekar dan Pahlawan Super
Berdasarkan arsip Sinematek, Lilik nampaknya memang sudah biasa menggarap film-film pendekar atau pahlawan super. Sebelum Gundala, Lilik menggarap pahlawan super Darna Ajaib (1980). Tokoh superhero perempuan ini diadaptasi dari komik Darna karya Armin Tanjung. Aktris Lydia Kandau didaulat jadi pemain utamanya.
Untuk film pendekar, Lilik menyutradarai film Yuda Saba Desa (1967). Film ini bercerita tentang pesilat tangguh bernama Yuda yang diperankan oleh maestro Bing Slamet. Produksi Wahyu Film itu berhasil meraih penghargaan editing terbaik pada Pekan Apresiasi Film Nasional ketiga tahun 1967.
Baca juga: Gundala, Ikon Superhero Indonesia
Lilik pula yang menyutradarai film pendekar populer Si Buta dari Goa Hantu (1970). Film dengan tokoh Si Buta yang membawa monyet ini diadaptasi dari komik karya Ganes TH.
Kemudian pada 1976, Lilik membuat film dengan tokoh Zorro berjudul Zorro Kemayoran. Film ini dibintangi oleh aktor komedi kawakan, Benyamin Sueb. “Benyamin yang biasanya melawak dalam film komedi yang lain, justru menjadi pahlawan di kalangan masyarakat Betawi dengan cara yang cukup dramatis,” kata Umi.
Baca juga: Bastian Tito, Pendekar Cerita Silat
Lilik juga merupakan sutradara dari beberapa serial Wiro Sableng yang diadaptasi dari novel Bastian Tito. Di tangan Lilik lahir enam serial Wiro Sableng di antaranya Sepasang Iblis Betina (1988), Sengatan Satria Beracun (1988), Neraka Lembah Tengorak (1988), Orang-Orang Sakti dari Tangkuban Perahu (1988), Siluman Teluk Gonggo (1988), Tiga Setan Darah dan Cabuk Angin (1988).
Film lain bertema pendekar antara lain Djampang dan Djampang Mencari Naga Hitam (1968), Si Bego Menumpas Kutjing Hitam (1970), Pahlawan Goa Selarong (1972) dan Si Bongkok (1972) yang diperankan Sophan Sophiaan dan Widyawati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar