Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy
Masyarakat Ainu dan kulturnya acap termarjinalkan. Manga dan film “Golden Kamuy” mencoba mengenalkannya lebih dekat.
KE mana pun Saichi Sugimoto (diperankan Kento Yamazaki) mengarahkan pandangannya ketika mengembara di hutan barat Pulau Hokkaido, selalu mendapati hamparan salju tebal. Salju jadi pengantar memori pahitnya dari Pertempuran Bukit 203 Meter (18 September-5 Desember 1904) dalam Pengepungan Port Arthur yang jadi episode paling berdarah dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905).
Bekas luka di wajah dan hampir sekujur tubuh jadi saksi bisu getirnya pengalaman sang veteran Divisi ke-1 Angkatan Darat (AD) Jepang itu. Kendati tak binasa di medan perang, pria berjuluk “Immortal Sugimoto” itu kena hujaman peluru maupun bayonet lawan. Tapi bukan luka fisik itu yang paling memengaruhinya, melainkan luka mental karena sahabatnya, Toraji (Yūki Izumisawa), meregang nyawa di pangkuannya dalam Pertempuran Bukit 203 Meter.
Kenangan akan Toraji pula yang membawanya mengembara dalam rangka memburu harta karun di hutan Hokkaido. Dasar nahas, ia malah diserang seekor beruang cokelat. Nyawa Sugimoto pun di ujung tanduk.
Jleb! Tetiba saja sebuah anak panah beracun menumbangkan beruang itu. Sugimoto diselamatkan Asirpa (Anna Yamada), seorang gadis pemburu dari suku pribumi Ainu. Lantas, persoalan harta karun emas yang dicari Sugimoto menemui persilangan perkara dendam yang selama ini dipendam Asirpa.
Sepadat itu sutradara Shigeaki Kubo membuka film Golden Kamuy, yang merupakan adaptasi live-action dari serial manga bertajuk serupa karangan Satoru Noda (2014-2022). Kisahnya berpusar pada pergulatan Sugimoto sang veteran perang untuk mencari harta emas yang ternyata mulanya milik masyarakat pribumi Ainu.
“Untuk apa kau membutuhkan uang dari emas itu?” tanya Asirpa penasaran.
“Pokoknya butuh saja,” kata Sugimoto yang memilih melanjutkan perjalanan.
Sebagaimana cerita tersebar, lima tahun sebelumnya sekelompok masyarakat Ainu menyaring 20 ribu kan (1 kan = 3,75 kilogram, red.) butiran emas seukuran biji kopi dari dasar sungai yang dipercaya merupakan pemberian Kamuy, salah satu dewa yang dihormati orang Ainu. Tetapi harta itu mesti disembunyikan untuk menghindari perampasan aparat pemerintah rezim Meiji (Kaisar Mutsuhito) dengan bantuan seorang Jepang.
Nahasnya para tetua Ainu dikhianati orang Jepang itu sehingga harta itu dibawa kabur dan disembunyikan di sebuah tempat. Tak lama kemudian, sang pengkhianat ditangkap dan disiksa di Penjara Abashiri karena tetap bungkam soal lokasi penyembunyian hartanya, di mana ia dijuluki Noppera-bo atau “Setan Tanpa Wajah”.
Meski begitu, Noppera-bo melukiskan kode-kode lokasinya dengan tato yang tersebar di tubuh 24 narapidana (napi) lain yang hendak dipindahkan dari Abashiri. Tetapi di tengah jalan para napi itu melawan dan melarikan diri. Mereka menyebar ke kota-kota besar di Otaru, Sapporo, Asahikawa, dan Hakodate.
Para 24 napi itulah yang sedang dicari Sugimoto demi mendapatkan kode-kode lokasi hartanya. Akhirnya ia mengaku hanya ingin sebagian kecil harta itu demi bisa dijual dan uangnya akan digunakan untuk penyembuhan penyakit mata Umeko (Mitsuki Takahata), istri mendiang Toraji. Asirpa mau membantu Sugimoto dengan motif balas dendam, mengingat Aca (Arata Iura) yang merupakan ayahnya Asirpa adalah salah satu tetua Ainu yang dibunuh Noppera-bo.
Hanya saja, pergulatan Sugimoto dan Asirpa takkan semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya pasukan Divisi ke-7 AD Jepang pimpinan Letnan Tokushiro Tsurumi (Tamaki Hiroshi) yang ingin mendirikan negara sendiri dan gerombolan samurai Shinsengumi pimpinan Toshizō Hijikata (Hiroshi Tachi) yang ingin mengembalikan era shogun juga berambisi merebut emas itu.
Bagaimana Sugimoto dan Asirpa melewati segala rintangannya? Baiknya saksikan sendiri Golden Kamuy yang meskipun sudah tayang di bioskop pada 19 Januari 2024 tapi masih bisa disaksikan via streaming berbayar Netflix yang hadir ejak 19 Mei 2024.
Ainu, Antara Ada dan Tiada
Secara sinematografi, efek visual Golden Kamuy memang tak sehalus film-film Hollywood. Beberapa adegan action-nya pun cukup absurd. Bisa dimakluki, karena Golden Kamuy adalah alih wahana live-action dari manga, yang sedang tren di sinema Jepang belakangan ini seperti film seri Rurouni Kenshin (2012-2021), Fullmetal Alchemist (2017), Tokyo Revengers (2021), atau trilogi Kingdom (2019-2023) yang mana Kento Yamazaki juga jadi aktor utamanya.
Seperti halnya juga film-film di atas yang punya ciri khas sinema Jepang Golden Kamuy cenderung memperlebar alur sehingga ending-nya terkesan menggantung. Takkan menciptakan klimaks memuaskan tapi justru akan mengantarkan penonton untuk menantikan sekuelnya.
“Manga-nya sendiri terdiri dari 31 volume dan rasanya sulit memadatkannya hanya dalam satu film dan penulis naskah Tsutomu Kuroiwa juga tak mengupayakan hal itu. Justru finale-nya membawa ceritanya flashback untuk menjelaskan motivasi Saichi dan pancingan untuk sekuelnya ke depan. Sebut saja itu Marvelisasi sinema Jepang dan membuat Golden Kamuy yang diproduksi secara ekstravaganza membuat kita setengah terpuaskan,” tulis kritikus James Hadfield di kolom Japan Times, 18 Januari 2024, “Golden Kamuy: Adaptation Glitters Rather than Dazzles”.
Kendati begitu, Golden Kamuy setidaknya turut memperkenalkan kembali kultur dan kehidupan masyarakat Ainu yang seringkali termarjinalkan, utamanya dalam perfilman Jepang. Penonton takkan hanya disajikan sekilas horor dari Pertempuran Bukit 203 Meter yang jadi bagian Pengepungan Port Arthur (1 Agustus 1904-2 Januari 1905) tapi juga aneka penampakan dan vibes bersahajanya kehidupan di perkampungan Ainu yang lazim terdapat di pinggir-pinggir sungai atau muara-muara sungai. Mulai dari bahasa, tradisi berburu beruang hingga kuliner-kuliner khas Ainu.
Baca juga: Petualangan Gereget Pria Berusia 100 Tahun
Tentu saja, dalam adaptasi filmnya porsi tentang kultur Ainu takkan dapat disuguhkan sebanyak di manga. Satoru Noda si empunya manga-nya mulanya memang memulai premisnya terinspirasi dari kakeknya yang juga veteran Perang Rusia-Jepang. Tetapi berikutnya, Noda menambahkan “bumbu-bumbu” kultur Ainu lewat riset arsip hingga obervasinya secara mendalam sebagai “penyegar” karyanya. Perlu diketahui, sejumlah karya manga lain nyaris tidak pernah memperkenalkan kehidupan suku Ainu.
“Saya percaya itu akan jadi populer kemudian. Setelah melakukan studi dan riset mendalam, Anda juga harus berani mengatakan bahwa (kehidupan Ainu) itu nyaris kolaps,” ujar Noda kepada Asahi Shimbun, 8 Januari 2017.
Kendati demikian, dalam adaptasi filmnya, aktor atau tokoh Ainu tulen sangat minim terwakili. Karakter utama Asirpa si gadis Ainu diperankan aktris Jepang, Anna Yamada. Begitupun sang Aca (ayah) dan Huci atau neneknya Asirpa yang diperankan aktris senior Jepang, Hisako Ōkata. Satu-satunya aktor yang –juga aktivis masyarakat– Ainu yang diikutsertakan hanyalah Debo Akibe, itu pun dengan porsi adegan dan peran kecil yang berperan sebagai pamannya Asirpa.
Padahal, Ainu adalah masyarakat pribumi yang mendiami Pulau Hokkaido, Pulau Shakalin, Kepulauan Kuril, Semanjung Kamchatka, dan Khabarovsk Krai di Rusia. Di Jepang sendiri, etnis Ainu tercatat sudah eksis sebagai masyarakat pemburu-pengumpul sejak Periode Jōmon (14.000-300 Sebelum Masehi).
Meski Ainu jadi satu dari tiga etnik pribumi (Ainu, Yamato, Ryukyu) yang diakui pemerintah Jepang saat ini, tapi Ainu jadi subyek asimiliasi paksa sejak abad ke-19. Akibatnya, tradisi dan kultur asli Ainu ibarat ada dan tiada di antara kebudayaan Jepang.
“Pada 1869, setahun setelah Restorasi Meiji, pemerintah seiring membangun prefektur juga jadi titik awal asimilasi paksa masyarakat Ainu. Undang-Undang (UU) Perkawinan yang disahkan mulai 1871 menyebutkan Ainu sebagai golongan rakyat jelata. Saat itu pemerintah melarang mereka mempraktikkan tradisi-tradisi tertentu, termasuk laki-laki mengenakan anting dan tato bagi perempuan. Mereka juga dipaksa mempelajari bahasa Jepang,” ungkap Jeff Kingston dalam Japan in Transformation, 1945-2010.
Baca juga: Wind River, Potret Kehidupan Pribumi Amerika
Kekaisaran Meiji juga acap merampas tanah-tanah adat masyarakat Ainu yang berdampak pada menukiknya kehidupan mereka karena tidak bisa lagi meneruskan tradisi berburu dan menangkap ikan di tanah masing-masing. Mungkin itu juga yang membuat Noda berpikir kultur dan tradisi Ainu berada di ambang kepunahan. Pasalnya hingga 1966 tercatat hanya terdapat 300 di antara mereka yang masih bisa berbahasa Ainu dan pada 2008 tersisa 100 orang saja.
Butuh waktu lama bagi para politisi Jepang buat menyadarinya. Itupun karena beberapa dari mereka insyaf pasca-Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Resolusi 61/295 tentang Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi (UNDRIP) pada 2007.
Resolusi itu mulai jadi pembahasan di Kokkai (Parlemen Nasional) hingga akhirnya pada 6 Juni 2008 parlemen menyepakati bahwa pemerintah harus mengakui Ainu sebagai etnis pribumi Jepang. Oleh karena itu masyarakat Ainu berhak memiliki dan mempraktikkan budaya, bahasa, dan agama/kepercayaannya sendiri.
Deskripsi Film:
Judul: Golden Kamuy | Sutradara: Shigeaki Kubo | Produser: Shinzo Matsuhashi, Ryo Otaki, Haruna Ueda, Ryosuke Mori, Yuya Satoyoshi | Pemain: Kento Yamazaki, Anna Yamada, Yūki Izumisawa, Hiroshi Tachi, Hiroshi Tamaki, Mitsuki Takahata, Arata Iura, Gordon Maeda, Debo Akibe | Produksi: Wowow Inc., Credeus Inc. | Distributor: Toho, Netflix | Genre: Action | Durasi: 128 menit | Rilis: 19 Januari 2024, 19 Mei 2024 (Netflix).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar