Petualangan Gereget Pria Berusia 100 Tahun
Kisah konyol pria polos yang dekat dengan Franco hingga Stalin. Sarat teriakan dan ledakan dari Perang Saudara Spanyol.
SUATU pagi di panti jompo di Malmköping, Swedia. Allan Karlsson (diperankan Robert Gustafsson) menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Ia masih meratapi Molotov, kucing kesayangannya yang mati diterkam rubah. Balas dendam Allan dengan memasang jebakan dinamit yang menewaskan rubah itu tetap tak membuatnya tenang.
Di hari itu, Allan genap berusia 100 tahun. Tubuhnya memang renta namun nyatanya semangat hidupnya masih bergejolak sebagaimana pengalamannya di masa muda. Maka ketika mengintip seorang bocah yang main petasan di halaman gereja di seberang panti, Allan membuat keputusan besar terakhir dalam hidupnya.
Dengan hati-hati, Allan mendekatkan sebuah kursi sebagai pijakan kaki. Lantas ia memanjatnya dan keluar dari jendela panti. Staf panti yang sibuk menyiapkan pesta ulangtahun pun syok mendapati Allan hilang dari kamarnya.
Namun hilangnya Allan itu sekadar plot pembuka film komedi garapan sineas Felix Herngren bertajuk Hundraåringen Som Klev ut Genom Fönstret och Försvann (The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared). Film ini dialihwahanakan dari komik novel bertajuk serupa karya Pär-Ola Jonas Jonasson (2009).
Apa yang terjadi dengan Allan sang protagonis lantas menimbulkan banyak kejadian kocak. Dimulai dari Allan bertemu Bulten (Simon Säppenen), anggota geng Never Again, di terminal bus Malmköping. Allan yang dititipkan sebuah koper malah tanpa sadar membawanya sampai ke Desa Byringe, tempat Allan berkenalan lansia Julius Jonsson (Iwar Wiklander).
Keesokannya, Allan diburu Bulten lantaran koper itu berisi uang 50 juta krona. Tapi kemudian Allan memukulnya sampai pingsan dengan tongkat kroket. Dengan konyolnya, Julius menyekap Bulten di lemari pendingin hingga tewas gegara Julius lupa mematikan mesin pendingin.
Bulten ternyata adalah anak buah bos geng Per Gunnar Gäddan (Jens Hultén). Uang tadi mestinya dibawa Bulten ke Gäddan untuk kemudian dikirim ke Pim (Alan Ford), seorang bos besar yang sedang liburan di Bali, Indonesia.
Baca juga: Sengkarut Drama Emma dalam Empat Musim
Sadar sedang diburu, Allan dan Julius kabur ke Åkers Styckebruck, kemudian Sjötorp. Mereka menumpang mobil mahasiswa bernama Benny (David Wiberg) hingga numpang bermalam di vila milik gadis bernama Gunilla (Mia Skäringer).
Inspektur polisi Aronsson (Ralph Carlsson) mendalami kasus hilangnya Allan dari panti jompo. Polisi tua itu justru jadi kelimpungan lantaran kasus itu berkelindan dengan geng kriminal.
Dalam petualangannya yang sarat teriakan dan ledakan, Allan teringat kembali pada masa kecil hingga dewasanya yang penuh warna dengan alur cerita maju-mundur.
Allan sejak usia 10 tahun sudah jadi anak yatim. Ayahnya yang menciptakan kondom, tewas di Moskow, Rusia. Hobinya yang meracik dinamit dan sempat menewaskan seorang pria membuatnya harus mendekam di rumahsakit jiwa.
Di usia muda, Allan berkenalan dengan Esteban (Manuel Dubra) asal Spanyol yang merupakan pekerja di pabrik senjata dan aktivis sayap kiri penentang Diktator fasis Francisco Franco (Koldo Losada). Itu jadi pintu masuk petualangan Allan berikutnya, yakni ikut Perang Saudara Spanyol. Bergabung di Brigadas Internacionales, ia bertugas sebagai perakit bom. Tetapi di Spanyol, Allan justru dijadikan sahabat dan dihadiahi pistol mewah oleh Franco usai menyelamatkan sang generalissimo.
Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco
Pistol itu lantas ia jual untuk modal berlayar ke Amerika. Tak disangka, hobi Allan terhadap bahan peledak membuatnya dirangkul J. Robbert Oppenheimer, ilmuwan dan pemimpin Manhattan Project, dalam penilitian bom atom. Kiprah itu pula yang membuat fisikawan Uni Soviet Jurij Popov (Georg Nikoloff) membujuknya menyeberang ke Kremlin dan bertemu kamerad Josef Stalin (Algirdas Paulavicius) yang “ngebet” membuat program nuklir.
Tetapi gara-gara Allan menyebut pernah menyelamatkan Franco, Stalin marah dan mengirim Allan ke gulag. Di kamp itulah Allan bertemu Herbert Einstein (David Schackleton), saudara kembar fisikawan Albert Einstein. Meski idiot, Herbert berjasa membantu Allan meloloskan diri dari gulag.
Apa yang dialami Allan muda setelah kabur dan bagaimana Allan di usia renta meloloskan diri dari kejaran anggota geng dan polisi? Baiknya Anda saksikan sendiri kelanjutannya di platform daring Mola TV.
Kocak dan Absurd
Sedikit banyak, The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared bisa dibilang mirip drama komedi sohor Forrest Gump (1994) yang alurnya maju-mundur dan kisah fiktifnya “ditaburi” dengan beberapa tokoh nyata yang mempengaruhi dunia. Adegan-adegan kocak nan absurd yang dikemas dengan tone film yang cukup dinamis bertaburan. Tone film di kehidupan tua Allan yang dibuat cerah kontras dengan beberapa adegan masa lalunya yang kelam, terutama saat ia bertemu beberapa tokoh ternama macam Franco dan Stalin. Dinamika itu disempurnakan dengan music scoring komikal.
Pembeda signifikan substansi komedi ini dengan Forrest Gump adalah obsesi dan kegemaran sang protagonis. Jika tokoh Forrest terobsesi untuk terus berlari, Allan terobsesi dengan bahan peledak. Tetapi secara teknis, Forrest Gump masih lebih baik dari The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared. Hal ini perhatian beberapa kritikus. Salah satunya Josh Kupecki, yang mengulasnya dalam kolom di Austin Chronicle, 5 Juni 2015. Sineas dan tim produksi, menurutnya, kurang berhasil menjahit peralihan cerita di masa tua dan masa lalu sang protagonis.
“Walau menampilkan komedi yang menyegarkan, sejujurnya yang disajikan versi novel masih lebih baik dalam hal tensi dalam ceritanya. Versi filmnya juga terasa seperti dua film berbeda. Dua ceritanya dijahit bersamaan seperti monster Frankenstein,” tulis Kupecki.
Melawan Lupa dengan Tawa
The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared diangkat dari komik novel bertajuk sama karya Jonas Jonasson. Dikatakan “komik novel” karena merupakan perpaduan pemikiran dan pengalaman sang penulis tapi didominasi satir dan komedi absurd fiktif.
Beberapa cerita dalam novel pernah dialami Jonasson. Di antaranya, dendamnya pada seekor rubah. Di kediamannya di Pulau Gotland, ayam-ayam yang ia pelihara seringkali jadi mangsa rubah. Juga ketika seorang temannya terkena labrakan seorang tetangga gegara suatu hal yang dianggap mengganggu lingkungan permukiman.
“Gagasan sentral bukunya lahir dari pengalaman nyata. Teman saya kesal karena tetangganya protes keras terhadap sesuatu yang dibuat teman saya di pekarangannya sendiri. Kami pun membalasnya dengan membuat sesuatu untuk menghalangi view depan rumahnya. Kami membalas dendam dengan cara lain sebagai terapi,” kata Jonasson kepada I News, 21 Mei 2021.
Pengalaman lainnya adalah saat Jonasson menjadi jurnalis, pernah suatu ketika di sebuah stasiun kereta dia harus ke toilet. Jonasson mesti menitipkan kopernya pada seorang lansia karena tak muat dibawa masuk ke toilet. Lansia itulah yang kemudian diracik Jonasson menjadi karakter Allan Karlsson.
Karakter Allan dibuat sebagai sosok yang tak peduli politik. Karakternya cenderung menggambarkan pemerintahan Swedia dan mayoritas masyarakatnya yang bersikap netral terhadap beragam konflik internasional dari Perang Dunia hingga Perang Dingin.
Karakter Allan juga digambarkan menggemari bahan peledak yang intim dengan peperangan, tapi pada akhirnya berusaha memperbaiki segala kekacauan yang ia timbulkan. Ibarat Alfred Nobel sang penemu teknologi peledak –seperti dinamit dan detonator– asal Swedia yang mesti menuliskan wasiat –meminta keluarganya menyumbangkan 94 persen kekayaannya untuk mendirikan Yayasan perdamaian Nobelpriset (Penghargaan Nobel Perdamaian) pada 1895– sebagai bentuk “penebusan” dosanya”.
“Keuntungan (harta) harus diinvestasikan dengan keamanan dan harus dilimpahkan untuk sebuah yayasan yang rutin per tahun didistribusikan dalam bentuk hadiah penghargaan kepada mereka yang berjasa bagi umat manusia…” demikian bunyi potongan surat wasiat Dr. Nobel sebagaimana dikutip Agneta Levinovitz dan Nils Ringertz dalam The Nobel Prize: The First 100 Years.
Baca juga: Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina
Sementara, apa yang dialami Jonasson pada awal 1990-an begitu cepat berubah. Sebagai jurnalis, ia mengalami situasi dunia yang begitu cepat berubah pasca-jatuhnya Tembok Berlin.
“Dulu saya seorang reporter dan kemudian pemimpin departemen di Smalandposten dan Expressen. Saya resign pertengahan 1990-an karena tantangan pekerjaan mulai hilang. Di hari terakhir masa kerja setelah perpisahan, saya naik satu lift dengan asisten manajer dan dia menawari pekerjaan sebagai konsultan media di Polandia, Estonia, dan Latvia. Uni Soviet baru kolaps dan membuka pers yang lebih bebas. Jadi saya hanya menganggur selama 25 detik,” kenang penulis berusia 60 tahun itu kepada Hannoversche Allgemeine Zeitung, 4 Agustus 2016.
Beraneka satir dan humor absurd dalam cerita yang diramu Jonasson ternyata bukan hal irasional dan dilebih-lebihkan. Setidaknya buat dia.
“Tidak ada yang percaya kenyataan itu. Contohnya salah satu tetangga saya yang tak hanya beternak ayam tapi juga membuat arena gokar dan membangun museum tentang Pulau Gotland. Dia punya gelar doktor di bidang bisnis. Dia juga jadi komposer musik klasik dan jadi pengajar judo. Jika saya masukkan ini dalam sebuah karakter di novel, semua orang akan berpikir saya gila,” imbuhnya.
Baca juga: Kematian Stalin dalam Banyolan
Terakhir, satir dan komedi yang dikaitkan dengan banyak kejadian dan tokoh-tokoh dunia diracik Jonasson bukan tanpa alasan. Ia ingin pembacanya mengingat masa lalu dengan humor. Harapannya memang klise, yakni agar pembaca sadar bahwa sejarah kelam yang mengikuti para tokoh itu tak terulang.
“Saya memasukkan itu untuk melawan lupa dan pembaca teringat akan kejadian-kejadian tragis di abad ke-20. Bukunya terjual puluhan juta kopi tapi dunia belum jadi tempat yang lebih baik. Kita masih lupa dengan yang terjadi di era 1930-an. Saya merangkumnya dengan humor walau terjadi pro dan kontra. Walau bagi saya humor mestinya menyelamatkan kita dari dogma dan tirani,” tandas Jonasson yang komik novelnya terjual puluhan juta kopi dan diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa itu.
Deskripsi Film:
Judul: Hundraåringen Som Klev ut Genom Fönstret och Försvann (The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared) | Sutradara: Felix Herngren | Pemain: Robert Gustaffson, Iwar Wiklander, Mia Skäringer, Jens Hultén, David Wiberg, Alan Ford, Georg Nikoloff, Koldo Losada, Bianca Cruzeiro, Algirdas Paulavicius | Produser: Felix Herngren, Hans Ingemansson, Jonas Jonasson | Produksi: Buena Vista International, NICE FLX Pictures, Nordsvensk Filmunderhallning| Distributor: Walt Disney Studios, Motion Pictures, StudioCanal |Genre: Komedi | Durasi: 112 menit | Rilis: 25 Desember 2015, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar