Nyanyi Sunyi Ianfu
Buku-buku dan film dokumenter ini mengungkap kisah pilu para mantan ianfu, yaitu para perempuan yang dipaksa menjadi budak nafsu tentara Jepang.
TIGA setengah tahun penjajahan Jepang, namun lukanya bertahan puluhan tahun dan belum sepenuhnya hilang. Para mantan ianfu membisu dan memendam pengalaman pahitnya sendiri. Akibatnya, kisah pilu mereka relatif terlambat diangkat ke permukaan. Baru pada 1990-an, mereka bersuara dan berbagi kisah pedih yang terekam dalam buku-buku dan dokumenter berikut ini.
Buku
Fifty Years of Silence (1994) karya Jan Ruff-O’Herne
Masa remajanya hilang ketika Jepang menduduki Indonesia. Dia ditahan di kamp Ambarawa, kemudian diambil dan dipaksa menjadi budak seks dalam sebuah rumah bordil. Selama 15 tahun, Jan tak pernah memberi tahu siapa pun. Baru pada 1992, setelah menyaksikan mantan ianfu dalam Perang Korea menuntut keadilan, dia memutuskan angkat bicara. Bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2011.
Baca juga: Ianfu, Perempuan dalam Cengkeraman Jepang
Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942–1945 (1997) karya A Budi Hartono dan Dadang Juliantoro
Buku ini didasarkan pada dokumen pengaduan 20 ianfu ke LBH Yogyakarta. Sumber utama buku ini adalah kesaksian Mardiyem, ianfu di Telawang, Kalimantan Selatan. Sisanya, membahas praktik kekerasan pendudukan Jepang, perbedaan praktik pelacuran dengan prostitusi paksa, perekrutan ianfu, analisis dampak kekerasan seksual, sikap pemerintah Indonesia dan Jepang, serta refleksi kebudayaan. Setahun sebelumnya buku ini terbit dalam bentuk buku kecil berjudul Nafsu Bangsa Jepang (1996).
Dampak Kekerasan Seksual pada Jugun Ianfu (1999) karya Lucia Juningsih
Buku ini merangkum hasil penelitian tentang masalah mantan ianfu di Yogyakarta. Hasilnya, sebagian menderita cacat fisik di dada, kaki, kemaluan dan kandungan serta gangguan fisik seperti badan mudah sakit atau lelah. Mereka menderita secara psikis seperti malu, benci, dan sakit hati, serta merasa diri sudah rusak dan tak berharga. Mereka juga mengalami hambatan sosial berupa gunjingan, cemoohan, dan hinaan.
Baca juga: Petisi dari Ianfu Timor Timur Menuntut Pemerintah Jepang
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001) karya Pramoedya Ananta Toer
Sekira 228 gadis dari Jawa Tengah, kebanyakan anak pamong praja yang terpikat janji Jepang untuk sekolah di Tokyo, diangkut kapal laut ke Pulau Buru. Mereka dipaksa jadi budak seks tentara Jepang. Ketika Jepang kalah, mereka memasuki episode penderitaan berikutnya, hingga akhirnya ditemukan tahanan politik 1965–1966.
Momoye, Mereka Memanggilku (2007) karya Eka Hindra dan Koichi Kimura
Karena ingin jadi penyanyi, Mardiyem berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Namun, begitu sampai Banjarmasin, Mardiyem harus melayani kebutuhan seks tentara dan sipil Jepang. Momoye adalah nama panggilannya. Buku ini merupakan hasil penuturan Ibu Mardiyem, salah satu penyintas yang hingga wafatnya pada 21 Desember 2007 menjadi juru bicara mantan ianfu untuk menuntut keadilan.
Baca juga: Aktivisme Penyintas Ianfu
Film
The Indonesian Comfort Women: A Video Testimony (2000) karya Lexy Rambadeta
Sebagaimana judulnya, film ini berisi testimoni sejumlah mantan ianfu Indonesia tentang pengalaman mereka selama menjadi ianfu. Selain itu, tentu upaya penyelesaian masalah ianfu yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat. Untuk memberikan konteks sejarah dan upaya pencarian keadilan, Lexy mewawancarai Koichi Kimura dan Nursyahbani Katjasungkana.
Mardiyem (2001) karya Kana Tomoko
Sebagai perempuan Jepang, Kana merasa punya tanggung jawab untuk merekam kesaksian para ianfu untuk generasi muda. Kana mengikuti Mardiyem ke Banjarmasin untuk menelusuri masa lalunya, hingga Tokyo ketika Mardiyem menjadi saksi dalam Pengadilan Internasional Kejahatan Perang terhadap Perempuan tahun 2000.
Baca juga: Politisi Jepang Sebut Ianfu untuk Disiplinkan Tentara
Omdat Wij Mooi Waren (Because We Were Beautiful) (2010) karya Frank van Osch
Menampilkan kisah mantan ianfu yang dipaksa melakukan kegiatan seksual di rumah bordil militer, perkemahan, atau barak militer Jepang. Film ini dibuat sutradara asal Belanda yang menyertai perjalanan fotografer Jan Banning dan wartawan-cum-antropolog Hilde Janssen untuk mendokumentasikan kesaksian ianfu di Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar