Menyingkap yang Tabu Tempo Dulu
Mulai dari skandal perzinahan, prostitusi, pergundikan, obat kuat, hingga praktik homoseksual. Dimasa kolonial Hindia Belanda, isu-isu seksualitas tersebut menjadi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kolonial.
ZAMAN sekarang, perempuan berparas campuran atau sering disebut “Indo” sangat digandrungi. Tengok saja di televisi, begitu banyak artis Indonesia berdarah campuran. Entah itu pemain sinetron, pemain film, atau penyanyi. Dengan mata berwarna dan kulit lebih putih, stereotipe kecantikan melekat sebagai anugrah pada mereka yang berparas Indo. Tapi, itu konsep kekinian. Pada masa kolonial Hindia Belanda, perempuan Indo justru kerap mengalami diskriminasi gender dan rasial.
“Di masa Hindia Belanda, orang Indo bukan yang dianggap seperti sekarang. Kalau sekarang kan bisa jadi bintang film atau pemain sinetron. Orang Indo ini kan memang keturunan Eropa dan pribumi, tapi justru mereka secara status di luar struktur yang ada. Kalau kita lihat dari segi hukum (kolonial), mereka tidak masuk kategori orang Eropa dan orang pribumi, apalagi timur asing,” terang sejarawan Universitas Indonesia (UI) Achmad Sunjayadi dalam diskusi bukunya, (Bukan) Tabu di Nusantara, di komunitas Temu Sejarah, kemarin (24/10) secara daring.
Fenomena keluarga campuran Indo-Belanda di Hindia Belanda mulai marak pada abad ke-19 dan ke-20. Sebelum itu, pada periode VOC dikenal istilah “Mestis” atau mestizo yang merujuk pada orang Indo-Eropa. Mereka yang berdarah Indo punya ciri kasat mata seperti warna kulit berwarna tanah, atau seperti buah zaitun yang matang, mirip juga seperti kuningnya jahe tua. Bagi perempuan, sering pula disebut "si koelit langsep". Kebanyakan anak-anak Indo berayahkan Belanda totok dan ibu pribumi yang lahir dari praktik per-nyai-an atau pergundikan.
Baca juga: Fifi Young, Indo Nan Jelita
Menurut Sunjayadi, jika para pria kulit putih mau mengakui anak laki-laki mereka yang berdarah campuran sebagai anak sehingga secara resmi dalam masyarakat kolonial dapat digolongkan ke dalam golongan kulit putih, maka sebaliknya untuk anak perempuan berdarah campuran. Mereka dianggap sebagai personifikasi yang belum tuntas dalam praktik kolonial Belanda. Tubuh mereka yang berdarah campuran dijadikan sebagai lambang jurang perbedaan budaya yang sangat lebar. Para gadis Indo, terutama yang miskin, dipandang sebagai bahaya yang lekat dengan sosok hibrid penguasa kolonial.
Sementara itu di sisi lain, masyarakat pribumi juga memandang rendah para nyai dan anak-anak mereka yang berdarah campuran. Fenomena ini menggejala sekira abad ke-20, terutama dikalangan priyai Jawa. Anak-anak Indo berkulit langsep tersebut dianggap termasuk golongan sosial rendah seperti ibu mereka. Para perempuan gundik dicap sebagai perempuan rendah dan kotor. Mereka dianggap tak tahu malu lantaran menantang aturan kesopanan Jawa, tanpa budaya, serta hanya digerakkan oleh nafsu berahi. Mereka hanya menciptakan keluarga prostitusi dan ditakdirkan tenggelam dalam sia-sia tanpa meninggalkan jejak dalam catatan resmi sejarah Jawa.
Para perempuan yang mengemban status nyai kerap mendapat rundungan sosial dianggap amoral dan hanya menjual kehormatan demi kehidupan mewah. Itulah yang menyebabkan stigma negatif melekat pada sosok nyai di tengah masyarakat kolonial. Namun, stigma itu tinggal sejarah seiring berakhirnya periode kolonial. Keturunan Indo kemudian menjadi sorotan karena memiliki percampuran genetik yang berpengaruh terhadap penampilan fisik. Mereka memiliki warna kulit coklat keemasan mendekati putih, mata cerah, dan rambut ikal berombak. Bagi perempuan Indo, kecantikan mereka mendekati sempurna, yang bahkan dianggap lebih menarik daripada perempuan Belanda totok.
Baca juga: Cantik Putih Masih Berkuasa
Perkara keturunan Indo hanyalah salah satu bahasan dalam riset Sunjayadi dalam (Bukan) Tabu di Nusantara. Dalam buku setebal 202 halaman ini, pengajar di Prodi Sastra Belanda dan Departemen Sejarah UI ini secara deskriptif memaparkan berbagai mosaik kisah di masa kolonial Hindia Belanda yang secara umum menyangkut persoalan seksualitas yang acap dianggap tabu. Mulai dari skandal perzinahan di kalangan petinggi kolonial, prostitusi di Hindia Belanda, praktik pergundikan di kalangan nyai, kehidupan seksual di perkebunan kolonial, iklan obat kuat untuk pria, hingga polisi susila yang bertugas memberantas praktik homoseksual. Begitupun dengan sosok-sosok kontroversial seperti Oey Tambah Sia "Si playboy Batavia" sampai Nurnaningsih yang kelak dikenal sebagai bom seks Indonesia.
“Sesuatu yang tabu memang menarik bagi sebagian orang. Kalau di sejarah, yang berkaitan dengan hal tabu itu adalah seksualitas. Itu sesuatu yang benar-benar kita rasanya ingin tahu, tapi bagaimana mendapatkan informasinya sulit, karena memang ditutup-tutupi. Semakin ditutupi orang semakin penasaran. Ya sudah, saya buka saja,” ungkap Sunjayadi menerangkan alasannya menulis buku ini.
Kisah-kisah tercecer itu dikumpulkan Sunjayadi di sela-sela penelitiannya sebagai dosen dan peneliti sejarah. Beberapa kasus bersumber dari catatan-catatan arsip kolonial dan suratkabar sezaman, maupun penelitian dari para sejarawan terdahulu. Selain informatif dari aspek kesejarahan, berbagai hal tabu yang diulas Sunjayadi ternyata masih ditemukan pada masa kini. Ia berkelindan dengan persoalan ekonomi, budaya, bahkan dijadikan komoditas politik.
Baca juga: Skandal Putri Gubernur Jenderal VOC
Sebagai contoh, pada 1930-an pemerintah kolonial membentuk polisi moral atau polisi susila seiring dengan meningkatnya praktik homoseksual. Unit kepolisian ini ditugaskan untuk menjaga kesusilaan umum dan menegakkan moral masyarakat. Razia besar-besaran yang dilakukan polisi susila ini, dalam berita suratkabar sezaman, terjadi pada 1938-1939. Sebanyak 200 pria terjaring, kebanyakan warga Eropa dan termasuk di dalamnya sejumlah pejabat tinggi.
“Kalau kita lihat sekarang, bukan polisi ya, tapi mungkin masyarakat yang tanpa seragam menjadi semacam kelompok yang mencoba untuk 'menghakimi'. Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, di masa kolonial ada dan yang disasar adalah mereka yang terkait dengan homoseksualitas,” jelas Sunjayadi.
Baca juga: Razia Homoseksual Zaman Kolonial
Tambahkan komentar
Belum ada komentar