Cantik Putih Masih Berkuasa
Wacana kecantikan ideal berubah dari masa ke masa, tergantung siapa yang berkuasa. Tapi cantik putih selalu didamba
PEREMPUAN berkebaya dan rambut bersanggul itu tersenyum lepas. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Meski hanya karikatur, perempuan itu membawa pesan terselubung: kecantikan.
Kecantikan bisa diwujudkan dengan menggunakan produk yang dipakainya. Konon, produk itu bisa menghaluskan kulit. Pesan itulah yang hendak disampaikan iklan bedak Purol yang dimuat Majalah Wanita terbitan 1957.
Perempuan berkebaya dalam iklan produk kecantikan.
Penggambaran sosok perempuan berkebaya yang berafiliasi dengan nilai budaya Jawa atau Indonesia, muncul dalam iklan sejak pra-kemerdekaan. Iklan-iklan semasa kolonial acap menampilkan sosok perempuan berkebaya. Namun, mereka jarang ditemukan dalam iklan produk kecantikan. Mereka lebih banyak muncul dalam iklan lampu, Post Telegram Telefon, atau mentega.
Iklan produk sabun mandi di Pandji Poestaka tahun 1940 mewakili sedikit kemunculan perempuan berkebaya dalam promosi produk kecantikan. Dalam iklan itu, Mia menyarankan Roos, yang sama-sama berkebaya, untuk memakai produk tersebut. Namun, iklan itu memampang wajah aktris Hollywood Jean Arthur sebagai patron kecantikannya, bukan perempuan bumi putera. Pesannya, cantik itu seperti Jean yang ber-ras Kaukasia.
Pasca-kemerdekaan, wacana kecantikan berubah. Bila sebelumnya wacana kecantikan diidentikkan dengan perempuan dari ras kaukasia, sosok perempuan berkebaya kemudian menggantikan. Perempuan berkebaya muncul dalam iklan berbagai produk kecantikan sebagai bagian dari pembentukan wacana kecantikan baru. Iklan bedak Purol di Wanita pada 1957, iklan perempuan berkebaya Sunsilk, dan keputusan Lux mengganti modelnya menjadi perempuan Indonesia pada akhir dekade 1950-an menandai perubahan itu.
“Ketika kita mulai merdeka, gagasan tentang perempuan cantik berubah menajdi Indonesian white beauty. Ketika pemerintahan berganti, penguasa berganti, gagasan kecantikannya juga berganti. Tapi tetap saja yang dianggap cantik yang kulitnya putih,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen kajian perempuan Universitas Hawaii, kepada Historia.
Lebih jauh Ayu menjelaskan, selain usaha untuk menumbuhkan wacana kecantikan baru, era Sukarno yang anti-Barat juga berpengaruh pada wacana kecantikan yang berkembang di masa tersebut. Cantik versi Indonesia adalah perempuan Indonesia berkulit terang, biasanya disebutkan berkulit kuning langsat. Namun Ayu mengkritik wacana kecantikan yang digaungkan merujuk pada perempuan Jawa, bukan perempuan Ambon atau Papua yang kebanyakan berkulit lebih gelap.
Pembentukan gagasan kecantikan tersebut masuk melalui afek atau emosi. Iklan produk kecantikan memancing afek dan perasaan suka pemirsa melalaui narasi dan model yang ditampilkan. “Menilai sesuatu itu cantik bukan sekadar melihat perempuan berkulit putih. Kecantikan itu bukan sesuatu yang kita lihat tapi yang kita rasakan. Jadi iklan-iklan itu membangun emosi dan kesuakaan pemirsanya,” kata Ayu.
Memasuki zaman Soeharto, patron kecantikan kembali berubah. Kedekatan hubungan dengan Barat kembali membaik, khususnya di bidang ekonomi. Film-film Hollywood, majalah gaya busana, dan produk-produk Barat masuk ke Indonesia. Iklan-iklan pun menampilkan produk kecantikan yang menawarkan perawatan kelas dunia.
Model-model dalam produk kecantikan ikut berubah menjadi perempuan Indonesia dengan wajah agak bule dan tentu yang berkulit terang. Ira Wibowo, misalnya, aktris keturunan Jawa-Jerman ini menjadi model sebuah sabun mandi pada 1986.
Ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1997, penjualan produk pemutih kulit tak pernah mati. Para produsen menyiasatinya dengan membuat produk pemutih kemasan kecil dan beberapa produk perawatan kecantikan kemasan saset. Terobosan itu membuat kepentingan mereka yang berkantong cekak tapi ingin membeli produk yang konon bisa mempercantik diri bisa terakomodir.
Sementara, larisnya produk kecantikan tersebut menjadi penanda masih kokohnya wacana bahwa cantik adalah putih. Wacana kecantikan ideal yang dikampanyekan terus-menerus sejak era kolonial membuatnya sulit ditumbangkan. Meski dewasa ini beberapa produk memasang model berkulit gelap, wacana cantik putih masih mendominasi. “Kalau hitam tidak pernah dibilang cantik, tapi dibilang manis. Kalau putih dia digambarkan cantik,” kata Ayu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar