Mengokohkan Balet Nasional Indonesia
Pencarian balet Indonesia sempat gagal. Menemukan momentumnya pada 1980-an ketika orang mulai tertarik dengan balet.
The Little Ballet Group, grup balet pertama Indonesia, berhasil menggelar pertunjukan perdananya pada 24 Agustus 1959. Grup ini terdiri dari pebalet Indonesia: Farida Oetoyo, Julianti Parani, Jimmy Tan, Louise Pandelaki, dan Wim Roemers. Hampir semuanya berusia 20-an tahun. Kecuali seorang bernama Nyonya Leska Ong.
Nyonya Leska menjadi pemimpin The Little Ballet Group. Di hadapan kuli tinta, dia menyatakan pembentukan grup ini sebagai upaya memperkenalkan balet nasional. Tiap negara punya identitas baletnya masing-masing. Italia, Prancis, Rusia, Belanda, Inggris, dan Swedia. Begitu pula kelak dengan Indonesia.
"Dari rombongan kecil yang enam orang diharapkan kelak menjadi besar dan benar-benar menjadi Balet Nasional yang mempunyai kesadaran nasional yang kuat," ungkap Farida Oetoyo dalam otobiografinya, Saya Farida.
Tapi harapan Leska, Farida, dan kawannya-kawannya ambyar. The Little Ballet Group hanya bertahan setahun. Macam-macam penyebab grup itu bubar. Dari perbedaan persepsi tentang balet nasional, ego, kelemahan finansial, sampai kesibukan masing-masing anggota.
Balet Indonesia Pertama
Setelah The Little Ballet Group bubar, anggotanya menempuh jalan masing-masing. Wim pindah ke Belanda. Farida belajar balet di Rusia. Jimmy (kelak menjadi James Danandjaja, guru besar antropologi Universitas Indonesia) meneruskan pendidikan formalnya. Sisanya melanjutkan mengelola sekolah balet. Salah satunya Julianti Parani.
Julianti mengelola sekolah balet Nritya Sundara, kelanjutan dari sekolah The Jakarta School of Ballet milik Elsie Tjiok San Fang, pebalet keturunan Tionghoa. Waktu itu Julianti belum punya ijazah balet sebagaimana pengajar balet di negeri Barat. Tapi dedikasi dan hasratnya mengembangkan balet tetap besar.
Baca juga: Menggali Balet Nasional Indonesia
Di sesela mengelola sekolah balet, Julianti berupaya mewujudkan gagasannya tentang balet nasional. Dia berpikir kemungkinan menggunakan elemen-elemen Indonesia pada kostum, tema, dan musiknya.
"Ketika saya ke Cina ada balet Cina. Kenapa di Indonesia tidak bisa? Lalu saya mencari sumber-sumber dari Indonesia," kata Julianti dalam "Cita-Cita Balet Indonesia" termuat dalam Miss Fari Pointe to Remember.
Hasil pengendapan gagasan Julianti maujud dalam pentas Sangkuriang pada 1960. Ikhtiar Julianti mengguratkan namanya sebagai pelopor. "Upaya awal untuk menampilkan citra Indonesia dalam suatu karya tari balet," terang Edi Sedyawati, penari sekaligus guru besar arkeologi Universitas Indonesia dalam "Citra Balet Indonesia" makalah pada Pekan Balet II Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Senin 28 November 1983.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Julianti mencoba lagi kemungkinan tema cerita Indonesia lainnya untuk balet. Selama rentang 1961–1965, dia berhasil menampilkan empat pertunjukan balet dengan tema Indonesia: Petruk, Kesan Langgar, Capung Kecimpung, dan Variasi Sriwijaya. Dia kemudian kepincut dengan tari Betawi dan berniat mengembangkannya bersama tari balet.
Karya Julianti berikutnya tidak lagi bersandar dan terikat pada balet. Dia lebih banyak mencipta tari Betawi baru. Misalnya dalam pementasan berlakon Plesiran, Sarung Cukin, Garong-Garong, dan Pendekar Perempuan. "Itulah pilihan yang akhirnya bisa diambil oleh seorang pencipta tari: untuk tidak terikat pada satu gaya tari secara ketat," tulis Edi Sedyawati.
Ketika Julianti asyik dengan kebetawiannya, Farida Oetoyo kembali ke Indonesia dan bergaul dengan seniman dari beragam cabang seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada awal 1970. Ada dari musik, tari tradisi, teater, seni rupa, dan sastra. Di tempat inilah mereka belajar saling membuka diri dan rendah hati terhadap bidang seni di luar minatnya.
Minang Bertemu Balet
Farida mempelajari tari Minang dari Huriah Adam, penari asal Sumatra Barat. Dia juga mengunjungi Sumatra Barat untuk menggali tari-tarian Minang. Dari petualangan ini, dia menilai tari Minang sangat dinamis karena lompatan dan putarannya. Ini berbeda dari tari Jawa dan Bali.
"(Tari Jawa dan Bali, red.) lebih dominan bergerak di bawah dan sangat berat menapak di bumi. Sebaliknya tari balet cenderung melayang dan bergerak ringan ke atas," kata Farida dalam "Hidup Mati di Panggung Tari" termuat dalam Farida Oetoyo Menari di atas Ilalang.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Imajinasi Farida terhadap kemempelaian tari Minang dan balet pun berputar cepat. "Balet yang cenderung bergerak ringan ke atas dan melayang, bisa dipadukan dengan tari-tarian Minang secara lebih mudah," ungkap Farida.
Sepulang ke Jakarta, Farida mengkreasi pementasan bertajuk Fariasi Minang dan Carmina Burana pada 23–25 Februari 1976. Sebuah upaya untuk mengawinkan balet klasik, tari tradisi, dan tari kontemporer.
Farida memperoleh wawasan dan kemampuan mengolah tari kontemporer setelah berguru kepada tiga empu tari kontemporer kesohor: Merce Cunningham, Martha Graham, dan Ivan Nicolai di Amerika Serikat serentang 1973–1974. Sekelarnya belajar di sini, dia kian menyadari kekayaan kesenian Indonesia. Lebih daripada apa yang Barat punya.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Dalam Fariasi Minang, Farida meracik ulang atau memperbarui gerakan tari Minang seperti tari lilin dan piring. "Jiwa Minang tidak hilang dalam tarian itu. Tetapi landasan yang dipakai untuk berekspresi adalah balet," catat Kompas, 16 Maret 1976. Gerak tari-tari itu menjadi lebih rumit, sulit, dan kelihatan semakin plastis.
"Setelah mendalami tari-tarian etnik, saya paham betul balet paling bisa diasimilasi dengan tari Minang," kata Farida. Tapi dia tak punya kesempatan lagi untuk menggarap tari Minang dengan balet. Dia justru mencipta kreasi baru dalam Putih-Putih pada 10–11 November 1976 dan Gunung Agung Meletus pada 18–20 Mei 1979.
Balet Kontroversial
Putih-putih merupakan penghayatan Farida pada agama Islam. Dia mengalasi pertunjukannya dengan balet, menjadikan mukena sebagai kostumnya, memasukkan azan yang didengungkan perempuan sebagai salah satu musik pengiringnya, dan mencomot gerakan salat sebagai unsur tariannya. Karuan pertunjukan ini dihajar habis-habisan oleh tokoh Islam dan Majelis Ulama Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Gunung Agung Meletus berusaha menampilkan refleksi atas peristiwa meletusnya Gunung Agung di Bali pada 17 Maret 1963. "Gunung Agung Meletus banyak menggunakan gerak yang pada bentuk maupun ritmenya menimbulkan kesan lembut luwes. Seperti ia mau menuangkan rasa Indonesia di atas dasar teknik baletnya. Kadang-kadang luluh, kadang-kadang pula terasa dipaksakan," catat Edi Sedyawati
Baca juga: Letusan Gunung Agung di Bali
Farida mengaku ingin menciptakan iklim balet Indonesia dari setiap pertunjukannya. Demikian dia mengutarakan harapannya dalam Sinar Harapan, 3 Juni 1979. Melalui upaya pencarian balet Indonesia, dia yakin balet bisa menjadi bagian dari kesenian Indonesia dan lebih diterima khalayak Indonesia.
Farida menolak keras anggapan bahwa balet itu mewah dan hanya untuk golongan atas. "Dalam balet tidak ada kemewahan. Yang ada disiplin dan kerja keras," kata Farida.
Pekan Balet Indonesia
Iklim itu perlahan terbentuk. Sekolah dan kursus balet bermunculan di kota-kota besar Indonesia. Anak kecil dan remaja kian tertarik dengan balet. Orang-orang juga mulai mendambakan sekaligus mempertanyakan balet bercitra rasa Indonesia.
Semua keinginan dan pertanyaan itu coba diwadahi oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam acara tahunan Pekan Balet sejak November 1982. Acara ini berisi diskusi dan pementasan balet bercitra rasa Indonesia dari sekolah, kursus, dan sanggar balet seluruh Indonesia. Sebentuk upaya kolektif untuk mencari balet Indonesia.
Dalam sesi diskusi Pekan Balet itu, James Danandjaja merumuskan lima kriteria balet Indonesia. Harus mengandung gerak tari dari salah satu tari Nusantara; menggunakan tema salah satu kesusastraan Nusantara lisan ataupun tulisan; memakai dekor, model pakaian, seni rias tubuh, wajah, dan rambut salah satu kebudayaan Nusantara; menghadirkan musik salah satu suku Nusantara; dan bernapaskan jiwa salah satu suku Nusantara.
Baca juga: Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara
Rumusan James bikin banyak pertanyaan mengemuka. Antaranya, apa maksud jiwa salah satu suku Nusantara? Segelintir pebalet juga mengkhawatirkan adanya asal tempel unsur Indonesia pada balet. "Karya-karya tampak semrawut asalkan berbau Indonesia, baik musiknya, gerakan atau ceritanya," kata Nanny Lubis, ketua Ikatan Pengajar Pelatih Balet, dalam makalahnya "Sistem Pendidikan Balet di Indonesia".
Sardono W. Kusumo, penari tradisi, mengatakan pencarian balet Indonesia sah-sah saja. Tapi dia lebih menekankan pada disiplin teknik dan sikap terbuka terhadap jenis tari lain. "Tanpa itu kita tak bisa berbuat apa-apa," kata Sardono dikutip Suara Karya, 2 Desember 1982. Dia juga mengingatkan pencarian itu tidak akan pernah berhenti. "Proses membentuk citra Indonesia masih akan terus berjalan."
Ucapan Sardono banyak benarnya. Hingga saat ini, pencarian balet Indonesia terus berlangsung. Kerja itu kini tidak hanya diakrabi oleh pebalet, tetapi juga oleh para penari tradisi dan komponis. Sesuai dengan seruan para seniman terdahulu untuk membuka diri dan rendah hati terhadap jenis kesenian lain dan kemungkinan baru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar