Memaknai Ulang Tari Jawa
Perkembangan zaman membuat tarian Jawa beradaptasi agar tetap bertahan.
Bagi masyarakat Jawa, terutama di kalangan bangsawan dan kerabat keraton, tari bukan hanya salah satu bentuk ekspresi kebudayaan, melainkan juga sebuah cara pewarisan pengetahuan dan nilai-nilai. Tari dengan segala aspeknya adalah pengejawantahan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkembang sepanjang peradaban.
Saat belajar tari, komunikasi antara penari yang sudah mahir dan yang pemula, antara yang status sosialnya tinggi maupun lebih rendah terjadi. Dalam interaksi itu, terjadi pewarisan nilai saling menghormati dan tenggang rasa. Bagaimana yang senior dan junior bisa saling belajar skill dan cara bersikap, itu ada dalam praktik menari di Jawa.
“Tarian pun pada dasarnya juga mengandung makna tertentu yang mesti dipahami oleh seorang penari,” ujar Anastasia Melati, seniman tari Yogyakarta, dalam diskusi bertema “Membingkai Ulang Tari Jawa” di Griya Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Jakarta Pusat,18 April 2017.
Dalam diskusi itu, Anastasia memaparkan bagaimana nilai-nilai kejawaan mengejawantah dalam seni tari. Dia juga menyoroti pergeseran nilai-nilai itu dalam perjalanan sejarah masyarakat Jawa. Pemaparan itu ia sarikan dari penelitiannya tentang beberapa tarian Jawa.
Anastasia menerangkan, pengejawantahan nilai bisa dilihat misalnya dalam tari bedhaya yang berkembang di Yogyakarta. Meskipun berkembang semasa Islam telah mapan di Jawa, khususnya Mataram, tari bedhaya memiliki nilai sakral yang berakar dari tradisi Hindu. Itu terlihat misalnya dari jumlah penari yang harus sembilan orang.
“Itu merupakan simbolisasi sembilan mata angin dan dewa-dewa Hindu yang menjaganya. Kesakralan juga terlihat dari penari yang harus dalam keadaan suci saat menari. Mereka tidak boleh berlatih atau menari dalam keadaan haid,” terang Anastasia. Nilai sakral itu tetap berlaku hingga kini.
Namun, Anastasia juga mencatat adanya pergeseran dalam perkembangan tari bedhaya. Kini tari bedhaya tidak seeksklusif dulu, karena bisa dipelajari oleh orang-orang di luar kalangan kraton. “Sejak masa Hamengku Buwana VII, tari bedhaya mulai keluar dari kraton. Siapa pun yang mau, bisa mempelajarinya,” ujarnya.
Keluarnya bedhaya dari keraton berangkat dari keinginan para tokoh seni tari dan karawitan yang menjadi abdi dalem keraton untuk memajukan seni tari dan karawitan. Setelah mendapat restu Hamengku Buwono VII, mereka mendirikan perkumpulan Krida Beksa Wirama (KBW) pada 17 Agustus 1918. Hamengku Buwono VIII lalu memberi bantuan moril maupun materiil. “Pada tahun 1922 itu pula KBW menerima sebagai murid putri dan putra Sri Paku Alam VII,” tulis Moeljono dalam RWY Larassumbogo, Karya dan Pengabdiannya.
Bagi orang Jawa, tari juga merupakan wadah ekspresi kesetaraan gender. Itu terlihat dalam tarian yang berkembang di luar Mataram, seperti di Banyumas dengan tari ronggeng-nya dan Jawa Timur lewat tari remo-nya. Anastasia menyebut bahwa di Banyumas wanita penari ronggeng selalu menempati posisi istimewa dalam masyarakat. “Penari ronggeng adalah sakti atau pusaka bagi suatu desa. Penari ronggeng adalah orang terpilih. Bahkan, di Banyumas menari bersama ronggeng bisa menunjukkan prestis dan status sosial seseorang. Karena orang yang pertama kali diajak menari oleh penari ronggeng adalah orang terpandang,” ujar Anastasia.
Nilai kesetaraan gender juga bisa dilihat dalam tari remo yang berkembang di Jawa Timur. Seperti halnya bedhaya dan ronggeng, remo juga ditarikan oleh perempuan. Bedanya, gerak tari remo sangat maskulin, sehingga meruntuhkan segala stereotipe atas perempuan. “Remo ini menggambarkan praktik perempuan mempertahankan kuasanya melalui tarian,” kata Anastasia.
Kini, sebagian orang luput dalam memahami nilai-nilai dalam tarian Jawa. Hal itu, kata Anastasia, sudah terjadi sejak agama-agama Abrahamik masuk ke Indonesia. Ronggeng, misalnya, selalu diasosiasikan sebagai tarian yang mempertontonkan sensualitas. “Padahal ronggeng awalnya adalah sebuah ekspresi syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah. Ronggeng memang mengajak orang yang menontonnya gembira dan merasakan kenikmatan sebagai wujud syukur. Ketika agama-agama Abrahamik masuk, hal semacam itu bergeser menjadi negatif,” ujarnya.
Meski kondisi seperti ini perlu disikapi, tari pada dasarnya selalu berkembang mengikuti zaman. Karena itu, nilai-nilai dan praktiknya bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar