Menggali Balet Nasional Indonesia
Balet sering dipandang kesenian elite dan kebarat-baratan. Sekelompok pebalet awal Indonesia berupaya mengubah pandangan itu.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bikin hajatan seputar balet di pengujung 2019: "Ballet in Batavia" dan "Tribute to Farida Oetoyo". Hajatan pertama berupaya mengeksplorasi akulturasi tari balet dengan tari tradisional Indonesia. Hajatan kedua mengangkat perjalanan hidup maestra (perempuan) balet Indonesia, Farida Oetoyo. Dia mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk perkembangan balet.
Meski berbeda tajuk, kedua pertunjukan itu mempunyai pertautan. Sama-sama ikhtiar menelisik sejarah balet di Indonesia dan mengulik tentang apa yang disebut balet Indonesia. Tujuannya mengokohkan posisi balet di Indonesia dan membuat balet juga bagian dari kekayaan bangsa.
"Kami mengharapkan ini sebagai titik tolak agar genre tari balet dapat terus berkembang bahkan memperkaya khasanah tari di Indonesia juga bagi para pelakunya," kata Yola Yulfianti, Ketua Komite Tari DKJ.
Kelahiran Balet
Tari balet berasal dari Italia. Ia muncul pada masa Renaisans (penggalian kembali peradaban Yunani-Romawi Kuno), abad 15—16 M. Para penarinya lelaki. Perempuan belum boleh gabung. Penari balet tampil dalam parade, sandiwara bertopeng, dan demonstrasi berkuda. Acara itu menghabiskan biaya besar. Seringkali jadi ajang pamer para bangsawan dan keluarga kerajaan kepada para jelata.
Balet lalu masuk ke Prancis. Raja Louis XIV (1638—1715) mewadahi perkembangan balet dalam Acadèmie Royale de Danse. Akademi ini memiliki kurikulum dan aturan ketat berdasarkan standar bangsawan dan keluarga kerajaan. Dana operasionalnya berasal dari kantong Louis XIV.
Baca juga: Sentuhan Mewah ala Prancis
Louis XIV sangat menggandrungi tarian. Dia juga seorang penari dan mampu menari balet. Berkat akademi bikinan Louis XIV, teknik balet mekar dengan lekas. Akademi itu mengukuhkan lima posisi dasar dalam balet.
"Karena diresmikan di Prancis, istilah-istilah balet dibuat dalam bahasa Prancis dan berlaku secara universal di semua negara sampai sekarang," catat Farida Oetoyo dalam Saya Farida.
Peran lain Louis XIV ialah menggabungkan akademi musik ke dalam akademi balet. Penggabungan ini memberi bentuk baru bagi balet. Musik menjadi bagian tak terpisahkan dari pertunjukan balet. Masa ini pertunjukan balet mulai mengambil tempat di gedung opera atau teater. Balet ini disebut balet klasik.
Memasuki abad ke-18, penari balet tidak lagi hanya fokus pada gerakan. "Melainkan juga harus dapat mengekspresikan karakter dan menampilkan narasi cerita, yang disebut sebagai ballet d’action," catat Yola Yulfianti dkk. dalam "Kilas Balik tentang Balet". Masa ini balet juga mulai meresap ke wilayah Rusia dan perempuan mengambil peranan dalam balet.
Baca juga: Sendratari Kristiani
Balet di Rusia tumbuh selaras dengan sifat dan karakteristik kebudayaan setempat. Balet ini juga menarik diri dari tontonan kaum elite. Balet di Rusia menjadi tontonan semua orang. "Di Rusia, balet merupakan kesenian yang paling dihargai," ungkap Farida.
Orang Rusia sangat menyukai balet, membangun akademi khusus balet, dan berhasil menciptakan aliran balet sendiri. Salah satu aliran itu Vaganova. Namanya ternisbat pada pengembang pertama aliran itu, seorang balerina rancak bernama Agrippina Yakolevna Vaganova (1879—1951). Dia mampu bergerak dengan elastis dan meloncat tinggi secara ciamik.
Ciri khas aliran Vaganova ialah penggabungan unsur-unsur terbaik dari teknik balet klasik Prancis dan Italia dengan etika, pendidikan, dan disiplin ketat ala Rusia. Metode pelatihannya menekankan pada keselarasan dan koordinasi pada setiap bagian tubuh, pengembangan kekuatan punggung bawah, ketahanan lengan, dan fleksibilitas calon penari.
Setiap calon penari balet harus menggunakan leotard (baju senam ketat) agar para guru dapat mengetahui bentuk tubuh dan tulang mereka. Dua hal itu berpengaruh besar terhadap masa depan calon penari balet.
Tumbuh di Hindia
Aliran Vaganova kemudian menyebar ke belahan Eropa, termasuk Belanda. Dari Belanda, aliran itu merembes ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Inilah patok mula lini masa pertumbuhan balet di tanah Hindia.
Kedatangan Anna Pavlova, balerina kesohor Rusia, ke Hindia Belanda pada 21 Februari 1929 memperkuat popularisasi balet di kalangan penduduk Hindia. Rombongannya melakukan tur keliling ke kota-kota besar Hindia. "Untuk mengisi hiburan bersantai, baik sebagai ekspresi seni maupun pengisian hiburan teater dan sirkus," kata Julianti Parani, arsiparis tari sekaligus penari.
Baca juga: Fonny Kusumadewi dari Balet Jadi Atlet Wushu
Almarhum Jimmy Tan atau James Danandjaja, guru besar antropologi Universitas Indonesia sekaligus mantan lelaki pebalet, menyatakan jejak Anna Pavlova diikuti oleh rombongan balet lainnya dari Rusia. Misalnya kelompok Dandrè-Levitoff Russian Ballet. Mereka tur dari Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, hingga Bali pada rentang 1934.
"Setelah itu, Batavia (kemudian Jakarta) keranjingan seni tari balet yang menjalar juga ke kota-kota besar lainnya di Indonesia," kisah James dalam "Sejarah Perkembangan Balet di Indonesia, Suatu Usaha Penyusunan Permulaan", makalah pada Pekan Balet II DKJ, Senin 28 November 1983.
Menanggapi minat beberapa orang Eropa di Hindia terhadap balet, orang-orang Belanda lalu mendirikan sekolah balet. Nama Puck Meyer, Ny. Lastdrager, dan Ludwig Werner tercatat sebagai guru-guru balet pertamanya.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Murid-murid pertama sekolah balet di Hindia berasal dari anak-anak keturunan Eropa, Tionghoa, bangsawan, dan pejabat pemerintah. "Yang sudah makan pendidikan cara Eropa dan sudah diperkenalkan kepada kebudayaan Barat yang sering dianggap sebagai suluh itu," ungkap Edi Sedyawati dalam "Citra Balet Indonesia", makalah pada Pekan Balet II DKJ.
Anak-anak itu tumbuh dewasa. Dan pada masa awal kemerdekaan, mereka meneruskan pewarisan balet kepada anak-anak Indonesia. Sebab guru-guru balet pertama kembali ke negeri mereka masing-masing setelah Indonesia merdeka.
Jejaring Pebalet Indonesia
Murid-murid pertama didikan guru-guru Belanda itu mulai kerap menampilkan pertunjukan balet di beberapa gedung kesenian. Salah satunya Elsie San Fang Tjiok, kelahiran 1935. Dia cukup kesohor sebagai balerina Indonesia pada awal dekade 1950-an. Lulusan The Royal Academy of Music, London, ini saban tampil pasti memukau orang.
"Beberapa waktu kemudian, sebagian daripada tarian tersebut dibuat gambarnya oleh PFN (Perusahaan Film Negara). Sehingga dengan jalan demikian, makin banyaklah orang yang turut mengetahuinya," catat Minggu Pagi, 4 Juli 1954, dalam "Tari Balet Bagaimana di Indonesia".
Baca juga: Tarian Perang Pangeran Sambernyawa
Selain menggelar pertunjukan balet, Elsie juga membuka sekolah balet bernama The Jakarta School of Ballet di lantai dua gedung bioskop Metropole, Jakarta, pada 1957. Dia menyerahkan nyawa sekolah itu kepada Julianti Parani, kala itu masih penari muda dan menempuh kuliah Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, pada 1959.
Elsie memilih kembali ke negeri leluhurnya setelah terbit Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1959 tentang perjanjian dwikewarganegaraan antara Indonesia dan Tiongkok. Julianti mengajak seorang murid Elsie lainnya di sekolah itu untuk meneruskan hayat The Jakarta School of Ballet. Murid itu bernama Farida Oetoyo.
Farida saat itu berusia 20 tahun. Dia mempunyai postur sempurna untuk menjadi seorang balerina. Dia juga telah menjalani pendidikan balet di Singapura, Australia, dan Belanda. Dia bahkan ikut dalam rombongan Ballet Company der Lage Landen, sebuah rombongan balet profesional yang menggelar pertunjukan di antero Belanda pada 1957—1958.
Baca juga: Tarian Penanda Singgasana Sultan
Farida pulang ke Indonesia pada 1958 dan sempat berguru ke Elsie. Dia sempat mengkritik keras pertunjukan balet di Indonesia. "Balet di Indonesia masih sangat muda umurnya… Masih sangat mengecewakan nilainya," tulis Farida dalam "Ballet di Indonesia" termuat di Pos Indonesia, 25 Januari 1959.
Grup Balet Pertama
Bersama Julianti, Farida mengupayakan perbaikan pertunjukan balet dengan menggelar sebuah model pertunjukan balet yang berkelas. Pertunjukan itu melibatkan pebalet lainnya yang dianggap mumpuni. Jejaring pebalet tumbuh berkat sekolah balet dan garis keguruan yang sama. Dari dua hal itulah Julianti dan Farida terhubung dengan pebalet James Danandjaja, Leska Ong, Loes Pandelaki, dan Wim Roemers.
Mereka sepakat membentuk sebuah ballet company bernama The Little Ballet Group pada 14 Agustus 1959. Kecuali Leska Ong, usia pebalet itu relatif muda. Masih 20-an tahun. Mereka kaya dengan hasrat dan idealisme untuk mengembangkan apa yang disebut balet nasional dengan menciptakan kostum dan koreografi buatan sendiri. Leska Ong, sebagai pebalet senior, menjadi pemimpinnya. Dia tampil di hadapan pers untuk mengumumkan kelahiran sebuah balet nasional Indonesia.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Pertunjukan pertama mereka berlangsung di Jakarta pada 24—25 Agustus 1959. Mundur tiga hari dari jadwal semula lantaran campur tangan tentara dengan dalih negara dalam keadaan bahaya (SOB). Meski dilarang, mereka tetap menggelar pertunjukan itu. Hasilnya memuaskan.
"Pers memberitakan secara positif dan lengkap pertunjukan balet nasional. Rata-rata menulis 'The Little Ballet Group Memulai Sejarah Baru dalam Seni Ballet di Indonesia'," catat Farida. Tetapi grup ini tak mampu meneruskan kiprahnya lagi. Ia hanya bertahan setahun.
"Kehancurannya adalah akibat adanya pengaruh ekstern yang mengadu domba," kata James Danandjaja dalam "Sebuah Rombongan Tari Balet Telah Lahir" termuat di Kompas, 23 Oktober 1998.
Masing-masing pebalet nasional mempunyai persepsi sendiri tentang balet nasional. Mereka berusaha mengembangkannya dengan cara dan egonya sendiri. Sebagian lagi meneruskan pendidikan balet ke luar negeri.
Gambaran tentang balet nasional pun mengabur. Masih perlu waktu panjang untuk merumuskan balet nasional. Tapi ikhtiar The Little Ballet Group telah membuka banyak kemungkinan tentang balet nasional pada dekade-dekade berikutnya. Itu dilakukan oleh pebalet-pebalet yang sama dengan cara yang berbeda dan lebih rendah hati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar