Kraspoekol dan Kontradiksi Dirk dalam Perbudakan
Kisah eks pejabat VOC yang menjadi penyeru anti-perbudakan namun pensiun sebagai pemilik budak.
MENGENAKAN kebaya bermotif bunga lengkap dengan kain dan sepatu hak, seorang nyonya indo bernama Kraspoekol menatap murka pada Tjampakka budak perempuannya. Seraya duduk di kursi kayunya, tangan kiri Kraspoekol menunjuk ke lantai seolah memerintahkan sang budak untuk berlutut.
Adegan itu merupakan pendeskripsian sebuah ilustrasi di naskah tonil tahun 1800 bertajuk Kraspoekol; of de Slaaverny. Een tafereel der zeden van Neerlands Indiën (Kraspoekol; atau Perbudakan. Sebuah drama moralitas berlatarbelakang Hindia Timur). Naskah itu merupakan karya Dirk van Hoogendorp yang diadaptasi dari novel ayahnya, Willem van Hoogendorp, yang terbit pada 1780, Kraspoekol, of de Droevige Gevolgen van Eene te Verre Gaande Strengheid, Jegens de Slaaven.
“Wahai pemilik, penyelamatku, Nyonyaku! Aku akan selalu mengabdi padamu selamanya, selamanya; melayanimu dan menjagamu dengan segenap jiwa dan raga. Engkau yang telah membebaskanku dari rasa malu,” ucap Tjampakka seraya meminta ampun pada Kraspoekol dalam suatu dialog tonil itu.
Baca juga: Untung Surapati Kunjungi New York
Naskah itu, seperti diungkapkan Valika Smeulders dan Lisa Lambrechts dalam “Dirk: From Abolitionist to Slaveholder” yang termaktub di katalog Slavery: The Story of Joao, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Dirk, Lohkay, memang menggambarkan penindasan dalam perbudakan di Jawa, Hindia Timur (kini Indonesia). Dari dialog itu pula Smeulders dan Lambrechts menggarisbawahi kisah hidup Dirk yang kontradiktif, bermula anti-perbudakan tapi berakhir sebagai pemilik budak.
“Mungkin dalam persepsi Van Hoogendorp, kemerdekaan orang-orang kulit berwarna tidaklah perlu karena mereka setara dengan orang-orang bebas lainnya. Dia mengharapkan semua orang yang ia merdekakan tetap setia padanya seperti yang dikatakan karakter Tjampakka di naskah Kraspoekol. Tentu pejuang kemerdekaan seperti Tula punya gagasan berbeda tentang kebebasan dan kesetaraan yang tentu lebih fair di masyarakat pasca-perbudakan,” tulis Smeulders dan Lambrechts.
Keunikan kisah Dirk itu jadi satu dari 10 cerita yang turut digambarkan dalam pameran tentang perbudakan, “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery”. Pameran yang diprakarsai Rijksmuseum dan pemerintah Belanda berkolaborasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu digelar untuk umum di lobi tamu markas PBB di New York, Amerika Serikat, 27 Februari-30 Maret 2023.
“Mengakui dampak perbudakan dalam sejarah dunia sangatlah penting. Kami sangat berterimakasih kepada PBB yang menarik perhatian akan pentingnya subyek ini melalui pameran,” ungkap direktur Rijksmuseum, Taco Dibbits, di laman resmi Rijksmuseum.
Dirk Meneruskan Jejak Ayah
Lahir di Heenvliet pada 3 Oktober 1761, Dirk tumbuh di lingkungan perkebunan keluarga besarnya di Sion (kini Rijswijk). Selain karena ayahnya yang bersimpati pada gerakan anti-perbudakan, Dirk memimpikan dunia yang bebas terinspirasi dari belenggu perbudakan sejak berteman dengan dua bocah sebayanya yang berdarah campuran Eropa-Afrika, Guan Anthony Sideron dan Willem Frederik Cupido. Kedua kawannya tinggal dekat dengan kediaman keluarga Van Hoogendorp.
“Keluarga Van Hoogendorp punya hubungan dekat dengan para pejabat Republik Belanda di Den Haag. Kemungkinan besar Dirk akrab dengan dua anak keturunan Afrika itu dari acara-acara negara yang diadakan di kotanya. Keduanya menjadi pelayan di pemerintahan. Mereka bukan budak karena perbudakan kolonial adalah hal yang ilegal di Republik Belanda (1579-1795),” sambung Smeulders dan Lambrechts.
Sideron dan Cupido diketahui ikut menemani Dirk dan beberapa kerabatnya mengungsi ke Inggris kala terjadi pergolakan dan Republik Belanda digantikan para tokoh pro-Kaisar Prancis Napoléon Bonaparte yang mendirikan Republik Batavia pada 1795. Sejak saat itu Dirk makin membulatkan tekadnya mengikuti jejak ayahnya, Willem, yang anti-perbudakan.
Baca juga: Kala Napoléon Dianggap Putra Nabi
Willem, imbuh Smeulders dan Lambrechts, merupakan pakar hukum yang berkarier di kantor Kongsi Dagang Hindia Timur, VOC, di Batavia (kini Jakarta) selama 1774-1784. Willem yang juga punya perhatian pada seni dan sastra, turut jadi salah satu pendiri Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen pada 1778 –pada 1950, institusi itu berganti nama jadi Lembaga Kebudajaan Indonesia.
Namun lantaran Willem masih butuh bayaran besar di VOC demi menutupi utang-utangnya, ia hanya berani menyuarakan tentang perlakuan orang-orang Eropa terhadap budak-budaknya melalui novel-novelnya. Novelnya Kraspoekol ditulis pada 1780, enam dekade mendahului novel satir karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang lantas menggemparkan Belanda dan Eropa, Max Havelaar (1860).
Sepulang Willem ke Belanda pada 1784, Dirk yang sebelumnya merampungkan pendidikan kadet Prusia bersama adiknya, Gijsbert Karel van Hogendorp, berkelana ke Jawa menggantikan ayahnya jadi pegawai VOC. Baru satu tahun di Jawa, Dirk melepas masa lajang dengan menikahi gadis indo yang juga putri salah satu pejabat VOC, Margaretha Elisabeth Bartlo.
Walau hidup dari VOC, pemikiran anti-perbudakan Dirk yang sempat “tertidur” bangkit lagi seiring gema kebebasan dan kesetaraan digaungkan Revolusi Prancis. Negerinya pun sedang bergolak dan Republik Belanda berganti bentuk menjadi Republik Batavia pada 1795.
Baca juga: Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João
Lewat tulisan bertajuk “Proeve over den Slaavenhandel en de Slaaverny in Neerlands Indie” yang terbit pada 1796, Dirk terdorong untuk mengusung reformasi dan perubahan tentang pemerintahan kolonial. Dia tak peduli sudah menjadi pejabat tinggi VOC di Surabaya. Bagi Dirk, masyarakat kolonial yang ideal harus berdasarkan prinsip kebebasan dan kesetaraan. Tidak ada tempat bagi perbudakan maupun perdagangan budak, katanya.
“Menariknya, sebagai kepala VOC di Surabaya, Dirk menentang sistem perbudakan tapi di sisi lain memiliki 153 budak. Di lain pihak pemikiran politiknya akan alam yang bebas dari perbudakan membuat kalangan elite konservatif VOC menjebloskannya ke bui dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan wewenang, perdagangan ilegal, serta eksploitasi dan represi terhadap penduduk lokal,” sambung Smeulders dan Lambrechts.
Dirk baru dibebaskan pada 1798. Ia lalu memilih pulang ke Belanda tanpa istrinya. Demi membersihkan nama dan reputasinya, Dirk menulis banyak pembelaan. Tuduhan-tuduhan di Batavia, katanya, bualan belaka karena elite VOC tak terima akan kritiknya. Dari beberapa tulisan yang dibukukan, Dirk menghimpunnya jadi naskah Kraspoekol yang ia kombinasikan dari adaptasi novel ayahnya.
Kraspoekol merupakan lema yang berasal dari bahasa Melayu: “keras pukul”, untuk menggambarkan seorang nyonya bernama Kraspoekol kasar kepada budak-budaknya. Untuk membedakan dari novel ayahnya, Dirk menciptakan karakter bernama Wedano yang merupakan adik ipar Kraspoekol.
Baca juga: Kisah Chastelein dan Budak yang Dimerdekakan
Wedano diciptakan sebagai cerminan sosok Dirk sendiri yang punya sifat lembut kepada kaum bumiputera dan para budak. Karakter Wedano dikagumi Tjampakka yang merupakan budak milik Kraspoekol. Itulah sebabnya mengapa Kraspoekol begitu murka pada Tjampakka dan menghardiknya.
Karakter baru lain yang juga diciptakan Dirk di naskahnya adalah tokoh Champignon. Berlainan 180 derajat dengan karakter Wedano, Champignon merupakan pejabat senior VOC yang arogan dan acap bertindak kejam kepada para budak. Tokoh Champignon dibuat Dirk berdasarkan karakter seorang elite konservatif VOC yang memusuhi Dirk semasa di Jawa, S.C. Nederburgh.
Mengutip suratkabar Haagsche Courant, 20 Maret 1801, demi bisa mementaskan naskahnya di Den Haag pada akhir Maret 1810 Dirk bekerjasama dengan perusahaan teater Nationaale Bataafsche Toneellisten. Dirk mempercayakan naskahnya dipentaskan kelompok tonil pimpinan sutradara Belanda berdarah Inggris, Ward Bingley.
Sayangnya pementasan itu gagal terwujud. Meski negerinya sudah pro-Prancis, kalangan elite pemerintahannya masih didominasi kaum konservatif. Pementasan itupun disabotase hingga diboikot. Di beberapa media massa, kaum konservatif mencoba melakukan pembunuhan karakter pada Dirk dengan mengungkit “dosa-dosanya” selama jadi pegawai VOC di Jawa.
Baca juga: Daendels Napoleon Kecil di Tanah Jawa
Situasi baru berubah bagi Dirk ketika Republik Batavia berganti Kerajaan Belanda pada 1806, meski masih di bawah kekuasaan Napoleon. Sang kaisar menitahkan adiknya, Louis Bonaparte, menempati takhtanya dengan mengambil gelar Raja Lodewijk I.
Di sistem kerajaan yang progresif itu, lanjut Smeulders dan Lambrechts, Dirk dengan permainan politiknya sampai diberi jabatan diplomat di St. Petersburg dan pada 1813 ditunjuk jadi gubernur di Hamburg. Tetapi ketika negerinya bergolak lagi dan Pangeran Oranje merebut takhta pada 1815 seiring situasi pelik Napoleon sejak Perang Koalisi Ke-6 (1813-1814), Dirk beralih kesetiaan pada Pangeran Orange yang menjadi Raja Willem I.
“Sejurus Napoleon tumbang, Van Hoogendorp kembali ke Belanda untuk mengabdi pada Raja Willem I, di mana sang raja bisa kembali juga berkat bantuan adik Dirk, Gijsbert Karel. Tapi ketika Napoleon kembali, Dirk lagi-lagi mencoba balik ke pihak Prancis. Saat Napoleon menemui kekalahan terakhirnya di Pertempuran Waterloo (18 Juni 1815), Dirk yang merasa takkan lagi disambut hangat di Belanda, memilih pindah ke Brasil,” tambah Smeulders dan Lambrechts.
Dengan sisa hartanya, Dirk menyewa lahan di sekitar Pegunungan Corcovado dekat kota Rio de Janeiro. Perkebunannya ia namai Perkebunan Novo Sion. Pada 1922, bekas lahan itu dibangun landmark ikonik Rio berupa patung Cristo Redentor (Kristus Penebus).
Lahan itu kemudian ditanami komoditas kopi dan jeruk. Para pekerjanya berasal dari tiga golongan. Pertama, golongan budak yang disewa dari tuan tanah perkebunan lain. Kedua, buruh perkebunan yang berasal dari orang-orang bebas yang diupah. Ketiga, budak-budak yang dibeli sendiri oleh Dirk.
Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname
Mayoritaa golongan budak dipekerjakan untuk keperluan domestik Dirk. Dari koki di dapur sampai tukang kebun di taman halaman muka wisma Dirk. Salah satunya bernama Cezar, yang tinggal bersama istrinya.
“Saat berada di rumahnya, ia (Dirk) mengenalkan saya kepada para budak kulit hitamnya yang ia beli: ia bahkan memaksa sang perempuan (istri Cezar) mengenakan perhiasan di hidungnya, seperti perempuan di Jawa yang sepertinya ia belum lepas dari nostalgia di masa lalunya,” tulis Maria Graham, salah satu tamu yang pernah bertandang ke perkebunan tersebut dalam catatan hariannya, Journal of a Voyage to Brazil, and Residence There, During Part of the Years 1821-1823.
Tamu Dirk lainnya, Jacques Arago, juga mendeskripsikan kehidupan budak Dirk dalam catatannya, Voyage autour du monde (Voyage around the World). Katanya, budak perempuan asal Angola bernama Zinga dipekerjakan Dirk sebagai asisten rumah tangga (ART). Berkelindan dengan kata-kata Tjampakka di naskah Kraspoekol, Zinga tak pernah dibebaskan statusnya sebagai budak demi menemani Dirk sampai akhir hayat sang tuan tanah pada 29 Oktober 1822.
“Ini budak kulit hitam saya, Zinga yang berani, satu-satunya yang menemani di hidup saya yang kesepian,” tandas Arago menirukan kata-kata Dirk.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar