Klewang Pangeran Diponegoro di Gudang Museum Belanda
Keris, tongkat, hingga tombak Diponegoro sudah kembali ke tanah air. Namun klewangnya masih tertinggal di Belanda.
PASCA-kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1930), banyak benda peninggalannya diangkut ke Belanda untuk dijadikan “trofi”. Mulai dari pelana dan tali kekang kuda, keris Kiai Nogo Siluman, tongkat Kiai Cokro, tombak Kiai Rondhan, hingga klewang.
Klewang, sebilah senjata tajam (sajam) jenis sabel melengkung, lebih kondang dalam sejarah perjalanan kolonialisme Belanda di Nusantara sebagai senjata jarak dekat yang digunakan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan pasukan khususnya, Marsose. Jika keris, tongkat, dan tombak Diponegoro sudah dikembalikan ke Indonesia, klewangnya masih tersimpan di Belanda.
Kabar itu diungkapkan peneliti Museum Bronbeek, John Klein Nagelvoort dan Pauljac Verhoeven, belum lama ini. Kepada NRC, Selasa (28/11/2023), Nagelvoort berkisah bahwa klewang Diponegoro itu sempat jadi koleksi benda pamer di Istana Het Loo di Apeldoorn sebelum berakhir di gudang Museum Bronbeek di Arnhem. Masih jadi pertanyaan, kenapa pihak Indonesia belum memintanya.
“Sederhana. Mereka (pihak Indonesia) tidak mengetahui bahwa benda ini eksis,” ujar Nagelvoort.
Berbeda dari keris Nogo Siluman atau tongkat Kiai Cokro, menurut Nagelvoort klewang itu jelas bukan benda untuk ritual atau upacara. Klewang itu senjata untuk perang karena terdapat beberapa tanda lekukan dan lecet hasil benturan fisik.
“Terdapat jejak-jejak proses penempaan. Anda bisa melihat dari bentuknya bahwa senjata ini bukanlah sajam Eropa. Bilahnya melengkung seperti beberapa sajam khas Jawa, gobang, yang kami miliki juga dalam koleksi kami. Sajam seperti itu merupakan senjata yang dipakai perang, bukan senjata upacara,” imbuhnya.
Gobang, menurut Bambang Hasrinuksmo dalam Ensiklopedi Budaya Nasional: Keris dan Senjata Tradisional, merupakan sajam yang mirip golok. Bedanya hanya ukurannya lebih panjang.
“(Gobang) jenis pedang sabet yang berat bobotnya karena bilahnya tebal. Bagian punggungnya cembung pada ujungnya, sedang bagian depannya lurus. Yang tajam hanya sisi depannya saja,” tulis Bambang.
Baca juga: Kembara Pusaka Diponegoro
Dari hasil penelaahan Nagelvoort, senjata itu rupanya hasil modifikasi. Dari semula sajam tradisional mirip gobang, menjadi klewang khas perwira KNIL.
“Pangkal sabelnya tidak tampak seperti senjata lokal (Jawa). Gagangnya khas pedang Angkatan Laut Belanda. Dan sarungnya juga buatan Belanda. Sarungnya dibuat khusus untuk senjata ini. Jadi kita melihat sebuah senjata yang dimodifikasi: setengah Jawa, setengah Belanda,” sambung Nagelvoort.
Batal Dijual, Berakhir di Gudang
Bersama Nagelvoort, Verhoeven mengaku juga sudah mengorek dokumen maupun arsip soal klewang itu. Salah satu arsip yang ditemukan adalah surat Letkol Joseph Ledel kepada atasannya, Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Pasukan Ledel mengejar Diponegoro pada Juni 1829 di Gentan.
“Di antara sumber-sumber (arsip) soal momen ketika Diponegoro kehilangan benda-bendanya, salah satunya terjadi pada 26 Juni 1829 kala terjadi pertempuran antara Pangeran (Diponegoro) dengan pasukan Belanda pimpinan Ledel,” urai Verhoeven.
Dua hari kemudian, Ledel mengirim surat kepada De Kock yang isinya menyatakan panji, sejumlah kuda, dokumen-dokumen, dan sabel Diponegoro telah jatuh ke tangan Belanda. Surat yang dikirimkan teriring benda-benda itu turut dibawa ke hadapan Jenderal De Kock.
“De Kock pasti bangga sekali saat merasa telah memenangkan Perang Jawa. Seperti para pendahulunya berabad-abad silam, ia simpan senjata milik lawannya sebagai memen kemenangan. Mungkin juga sebagai pertanda rasa hormatnya pada Diponegoro,” timpal Nagelvoort.
Baca juga: Alkisah Tongkat Pangeran Diponegoro
Namun, Nagelvoort dan Verhoeven belum menemukan arsip lain atau catatan yang mengisahkan lebih detail soal mulai kapan klewang Diponegoro itu diangkut ke Belanda. Pengangkutan ke Belanda sekadar perkiraan bahwa senjata itu beserta benda-benda Diponegoro lainnya ikut diangkut Jenderal De Kock kala “mudik” ke Belanda pada 1835.
Klewang itu kemudian tetap dalam kepemilikan keluarga De Kock turun-temurun. Baru pada 1950-an seorang keturunannya mencoba melego klewang itu ke Museum Bronbeek. Akan tetapi upaya penjualan batal karena pihak museum tak punya anggaran untuk menebusnya. Lalu pada awal 1970-an, klewang itu dipinjamkan pihak keluarga untuk kemudian dipamerkan pihak museum di Istana Het Loo.
“Klewang itu dipamerkan di Istana Het Loo bersama sebuah lukisan karya De Kock berukuran besar. Setelah itu klewang itu dipinjamkan lagi oleh salah satu keturunannya kepada Museum van de Kanselarij pada 1974. Dan 12 tahun kemudian, status pinjaman itu beralih menjadi donasi. Inilah senjata yang kita lihat sekarang. Di Het Loo klewangnya tertulis ‘klewang De Kock’ tapi itu senjata yang sama dengan klewang Diponegoro,” lanjut Verhoeven.
Setelah itu, klewang Diponegoro tersebut bersemayam di gudang Museum Bronbeek hingga “terlupakan”. Ia baru ditemukan kembali belum lama ini saat Nagelvoort mengubek-ubek beberapa sudut gudang museum. Masih menjadi pertanyaan, apakah pemerintah Indonesia akan menuntut warisan Diponegoro yang masih tertinggal ini?
“Klaim (pengembalian) mungkin akan datang dari pemerintah Belanda dan benda ini bukan milik orang sembarangan, melainkan figur sejarah. Bagi masyarakat Indonesia, senjata miliknya dipercaya mengandung jiwanya, pusaka Diponegoro. (Tetapi) saya penasaran bagaimana komite (pengembalian) akan menganggapnya: apakah benda jarahan atau bukan,” tukas Verhoeven.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar