Alkisah Tongkat Pangeran Diponegoro
Pusaka “Kiai Cokro” dikisahkan acap menemani Pangeran Diponegoro saat ziarah dan tirakat ke pesisir selatan Jawa.
DARI sekian banyak isu yang jadi faktor di-reshuffle-nya Anies Baswedan selaku menteri pendidikan dan kebudayaan periode 2014-2016 adalah isu penerimaan salah satu pusaka Pangeran Diponegoro yang dipulangkan Belanda pada 2015. Dikatakan jurnalis senior Andy F. Noya dalam program di Metro TV, “Kick Andy: Dosa-Dosa Anies”, Minggu (18/6/2023) Anies dianggap menelikung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Andy menyampaikan isunya, ketika itu tongkat komando Pangeran Diponegoro (Tongkat Kiai Cokro, red.) jadi salah satu artefak yang dirampas Belanda saat penangkapan Pangeran Diponegoro di fase akhir Perang Jawa, pada 28 Maret 1830. Anies, lanjut Andy, dianggap menelikung Presiden Jokowi lantaran terdapat kepercayaan bahwa barangsiapa yang menerima dan memegangnya pertamakali, maka ia punya peluang untuk jadi pemimpin.
Syahdan Anies mengklarifikasi. Info tentang pengembalian itu awalnya datang dari Kedutaan Belanda di Jakarta, tetapi prosesnya akan dirahasiakan.
“As a top secret, tidak bisa diketahui siapapun, kapan waktunya, dll. Semua dijaga confidentiality-nya karena nilai barang ini priceless. Banyak orang yang mencoba memburu barang ini. Jadi mereka menempatkan ini sebagai sebuah operasi khusus. Kemudian (tongkat) Cakra tadi dibawa dari Belanda dan pemerintah Belanda tidak memberi tahu jam penerbangan, siapa yang membawa, enggak ada yang tahu,” terang Anies.
Lantas untuk tetap menutup rapat rahasia itu, agenda pengembaliannya kemudian ditetapkan digelar di sela pameran “Aku Diponegoro” di Galeri Nasional, Jakarta pada 2 Februari 2015. Anies lantas menyampaikan laporan itu kepada Presiden Jokowi yang mulanya direncanakan akan hadir dan menerima pusaka itu.
“Jadi cover-nya (pameran) itu, diatur supaya ada event. Presiden semua dijadwalkan hadir. Kemudian sehari-dua hari sebelumnya presiden ternyata ada acara ke Filipina, sehingga diwakilkan ke Mendikbud. Jadi saya mewakili presiden menerima (tongkat) Cakra. Dan itu biasa ketika presiden tidak hadir ya otomatis menteri yang relevan hadir (mewakili) di situ,” tukas Anies.
Isu ini kemudian viral setelah dimanfaatkan para pendukung salah satu bakal calon presiden dalam kontestasi politik jelang Pemilu 2024.
Di sisi lain, mesti dikritisi pula info yang didapat Andy. Tidak semua benda peninggalan Pangeran Diponegoro adalah rampasan. Berbeda dari keris Kiai Nogo Siluman yang baru dikembalikan Belanda pada 2020, tongkat Kiai Cokro asal-usulnya bukanlah barang rampasan.
Peninggalan Pangeran Diponegoro jadi Persembahan
Setidaknya ada satu arsip yang mengonfirmasi bahwa tongkat itu adalah milik Pangeran Diponegoro. Arsip itu tersimpan di Arsip Nasional Belanda, berupa nota penyerahan pusaka itu dari Pangeran Notoprojo –yang dituliskan Residen Yogyakarta Frans Gerardus Valck tertanggal 4 Desember 1834– kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chrétien Baud.
“Tongkat besi ini bergaya Jawa yang disebut Cakra (Tjokro) dan tongkatnya dinamai demikian. Cakra (Tjokro) punya makna yang berarti Matahari,” kata arsip itu.
Dari arsip itu juga diketahui bagaimana asal-usul benda tersebut. Tongkat yang pucuknya berbentuk cakra setengah lingkaran itu mulanya milik seorang penguasa Kesultanan Demak sekira abad ke-16 –belum ada keterangan lebih jauh siapa pemilik pertama tongkat tersebut.
“Saat terjadi gejolak di Demak, tongkat itu jatuh ke tangan seorang wong cilik dan turun-temurun diwariskan sampai akhirnya 10 tahun sebelum Perang Jawa, tongkat itu dipersembahkan oleh seorang rakyat Jawa biasa kepada Pangeran Diponegoro,” lanjut arsip tersebut.
Baca juga: Perang Jawa Libur Selama Ramadan
Sejarawan Peter Carey juga mengungkapkan dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, tongkat bergagang besi ukir berbentuk cakra itu memang dibuat khusus merujuk senjata Dewa Wisnu dalam mitologi Jawa dan dikaitkan dengan gelar Ratu Adil Jawa “Erucokro” yang disandang Pangeran Diponegoro. Setelah mendapat tongkat itu, Pangeran Diponegoro acap membawanya setiap melakukan perjalanan spiritual.
“Ia (Pangeran Diponegoro) memulai perjalanan ziarah tujuh puluh kilometer ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogya. Dalam perjalanan yang dikenal di Jawa dengan tirakat dan ketika menyepi di Gua Secang (Selarong), ia berjalan seorang diri atau bersama dua pembantu dekatnya. Ia juga membawa tongat ziarah khusus yang telah diberikan kepadanya sekitar 1815 yang konon dibuat pada abad keenam belas untuk seorang raja Demak,” ungkap Carey.
Namun, menurut Pauline Lunsingh Scheurleer dalam Prince Dipanagara’s Pilgrim’s Staff, tongkat itu tak turut jadi barang rampasan ketika Pangeran Diponegoro dijebak dan ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830. Tongkat Kiai Cokro itu dibawa kabur oleh salah satu pengikut, Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mangkudirjo. Di kemudian hari ia dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo.
“Natapraja (Notoprojo, red.) seperti Dipanegara, adalah cucu dari Sultan Hamengkubuwono II. Dari garis neneknya ia masih keturunan Sunan Kalijaga. Saat terjadi Perang Jawa, ia menjadi pengikut Dipanegara tapi membelot ke pihak Belanda pada 21 Juni 1827, membawa serta banyak pengikutnya. Pada 11 Agustus 1829 di akhir perang, ia jadi mediator para pengikut Diponegoro lainnya untuk berpihak pada Belanda, bersamaan dengan tongkat Dipanegara. Tongkat itu sebelumnya dibawa lari seorang pengikut Dipanegara yang kabur usai kalah Perang Jawa,” tulis Scheurleer.
Baca juga: Kembara Pusaka Diponegoro
“Pada 1834 Baud mengadakan tur inspeksi, salah satunya ke Yogyakarta dengan tujuan menegaskan kekuasaan Belanda di Jawa sekaligus memastikan apakah cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dijalankan dengan benar. Selama di sana, Pangeran Natapraja datang menghadap dan mempersembahkan sebuah benda yang dulunya milik Dipanegara: sebuah tongkat dengan besi cakra. Atas perintah Baud, Residen Valck menuliskan nota keterangan informasi Pangeran Natapraja itu. Tetapi alasan mengapa catatan ini dituliskan tertanggal 4 Desember 1834 atau setengah tahun kemudian belum bisa dipastikan alasannya,” tambahnya.
Sekembalinya J.C. Baud ke Belanda pada 1836, pusaka Kiai Cokro itu pun ikut dibawa. Hingga 170 tahun kemudian, pusaka itu disimpan para keturunan Baud sampai akhirnya pada 2014 datang usulan dari pihak Rijksmuseum untuk memulangkannya ke Indonesia secara rahasia, seperti yang diungkapkan Anies di atas.
“Sebagai ahli waris J.C. Baud, kami akan menyerahkan tongkat Kanjeng Kyai Tjokro (Cakra) yang pernah dimiliki Diponegoro ini. Tongkat ini diberikan kepada leluhur kami pada 1834 dan berada dalam kepemilikan keluarga kami sejak itu. Kami berharap bahwa penyerahan tongkat ini jadi momentum yang kecil namun penting secara simbolis dalam memasuki era baru yang diisi dengan saling menghormati, persahabatan, dan persamaan,” ungkap Michiel Baud dalam buklet “A Lost Pusaka Return” yang merupakan bagian dari pameran “Prince Diponegoro in Dutch Perspectives, From 1800 Until Now” yang digelar Erasmus Huis bersama Rijksmuseum medio Februari 2015.
Di kemudian hari terkuak bahwa yang membawa tongkat berdimensi 1,4 meter itu adalah kurator Rijksmuseum Harm Stevens. Dalam catatannya yang dibukukan, Yang Silam Yang Pedas: Indonesia dan Belanda Sejak Tahun 1600, Stevens berangkat ke Jakarta pada 2 Februari 2015 dengan pesawat KLM bersama dua ahli warisnya, kakak-beradik Erica dan Michiel Baud, setelah sebelumnya tongkat itu dikirimkan via kiriman diplomatik pada 27 Januari 2015.
“Barang itu dikirim sebagai pos diplomatik dengan peti bermaterai, juga dengan pesawat terbang ke Kedutaan Belanda di Jakarta. Dengan diam-diam saja karena beberapa orang dalam telah bersepakat agar untuk sementara jangan dulu mendengungkan penemuan ataupun perjalanan ini,” tulis Stevens.
Baru pada 5 Februari diadakan acara khidmat penyerahan kembali tongkat Kiai Cokro itu oleh Erica Baud kepada Mendikbud Anies Baswedan di Galeri Nasional. Acara itu juga dihadiri elit budaya Jakarta dan perwakilan korps diplomatik. Lalu tongkat itu dipajang bersama dua peninggalan Diponegoro yang sebelumnya juga sudah dikembalikan pada 1978, pelana dan tombak pusaka Diponegoro.
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
Tambahkan komentar
Belum ada komentar