Kisah dalam Seporsi Opor Lebaran
Opor identik dengan ayam, tapi dahulu berbagai jenis hewan bisa dijadikan opor. Ada campur baur pengaruh dalam sajian opor.
Ketumbar, jintan, jahe, kemiri dan beberapa bumbu lainnya dihaluskan. Selanjutnya ditumis hingga harum bersama daun salam, daun jeruk, lengkuas, dan batang serai. Jika sudah wangi, masukan ayam kampung, aduk merata hingga berubah warna. Menyusul kemudian santan cair dan santan kental dituang secara terpisah.
Berbagai rempah dan bumbu masakan itu yang menciptakan sepanci opor ayam untuk sajian Lebaran. Sebagaimana ditulis Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, dkk. dalam Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa, opor biasa disajikan terutama pada saat tradisi Syawalan bersama ketupat.
“Di Yogyakarta khususnya, pada saat Lebaran (1 Syawal) biasanya diselenggarakan tradisi Syawalan sebagai ungkapan syukur karena telah selamat menjalankan ibadah puasa dan juga untuk menyongsong hari raya Idulfitri,” tulis Murdijati.
Tradisi Syawalan diselenggarakan baik oleh keraton, kalangan bangsawan, maupun masyarakat di pedesaan. Setelah selesai salat id, seluruh anggota keluarga akan bermaaf-maafan dan dilanjutkan makan ketupat opor bersama.
Baca juga: Makanan Kesukaan Sultan Yogyakarta
Menjelang siang, biasanya akan ada acara silaturahmi, yang muda berkunjung ke yang tua untuk memohon maaf. Saling kunjung ini juga selalu ditemui hidangan yang mirip, yakni opor ayam, sambal goreng daging printil, abon, irisan telur dadar, bubuk kedelai, serta kerupuk udang. Sebagai suguhan para tamu biasanya tersaji pula tapai ketan dan emping, serta kue-kue yang banyak dijual menjelang Lebaran.
Opor ayam begitu identik dengan Lebaran, sehingga sulit rasanya membayangkan Lebaran tanpa opor ayam, khususnya di wilayah Yogyakarta. Namun, rupanya dalam satu panci sajian yang kuahnya berpadu wangi rempah, santan, dan beragam bumbu itu teraduk pula keragaman budaya yang pernah melintasi Nusantara.
Kuah Opor untuk Hormati Warga Lokal
Menurut Murdijati Gardjito, dkk. dalam Masakan Tradisional Indonesia Seri 3, dahulu di Semarang, kuah opor ayam kerap dijadikan pengganti kuah lontong Cap Go Meh khas Semarang. Pasalnya sajian asli lontong Cap Go Meh menggunakan kuah daging babi.
Lontong Cap Go Meh merupakan akulturasi budaya makan Tionghoa dan Jawa. Hidangan ini konon sudah ada sejak sekira abad ke-14 M. Kisahnya, Laksamana Cheng Ho tiba di Pantai Utara Jawa yang kental dengan makanan tradisional, salah satunya lontong. Sebagai hidangan penutup, Cap Go Meh, anak buah Laksamana Cheng Ho mencarikan makanan penutup berupa lontong. Makanya makanan ini dikenal dengan nama lontong Cap Go Meh.
Baca juga: Kuliner Tionghoa di Nusantara
Penyajiannya di Indonesia kemudian terus dikaitkan dengan rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek, tepatnya pada hari ke-15. “Untuk menghormati warga lokal yang mayoritas muslim, maka kuahnya diganti dengan kuah opor ayam yang kental,” jelas Murdijati.
Kuah opor ayam yang biasanya dikenal terdiri dari dua jenis, opor putih dan opor kuning. Menurut Murdijati, opor putih lebih banyak digemari oleh kalangan perempuan Tionghoa. Sementara yang kuning biasanya dimasak oleh penduduk asli Indonesia dengan menambahkan kunyit supaya terlihat lebih cantik, tidak pucat, serta lebih menyehatkan badan.
“Kunyit juga dipercaya sebagai penyeimbang santan. Warna kuning pada kunyit juga dihubungkan dengan warna emas yang berkonotasi kemakmuran,” jelasnya.
Tak Hanya Ayam
Adapun lauk yang biasa dimasak opor rupanya bukan hanya ayam. Di daerah Sleman Barat, Yogyakarta misalnya, hidangan opor ayam bisa juga diganti dengan hidangan khas lainnya, yakni opor bebek. Lalu di daerah Delanggu, Jawa Tengah, masakan ini juga dapat dipesan.
“Terutama di daerah persawahan atau pertanian yang lahan sawahnya subur dan banyak peternak bebek. Cara pembuatan opor bebek tak berbeda dengan memasak opor ayam,” tulis Wahjudi Pantja Sunjata, peneliti tradisi di Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, dalam Kuliner Jawa dalam Serat Centhini.
Menu opor yang lebih variatif tercatat dalam Serat Centhini. Naskah ini menunjukkan bahwa yang biasa dimasak opor tak melulu ayam, tapi bisa bebek maupun ikan.
Baca juga: Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu
Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Dia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura, dan Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta.
Karya tulis ini, selain berkisah tentang mistisisme Islam dalam balutan tembang, juga kerap menyebut jenis masakan yang dinikmati para tokohnya. Makanan pada Serat Centhini tidak hanya dihidangkan pada saat makan utama saja, tetapi juga pada setiap perayaan tertentu. Serat Centhini juga menyebutkan berbagai sajian yang diberikan kepada tamu. Opor adalah salah satu yang kerap dihidangkan dan disantap oleh para tokoh cerita.
Misalnya, saat Seh Amongraga, Jamal, Jamil pergi meninggalkan Padepokan Karang menuju ke Krajan Wanamarta. Ketika berada di tempat itu, dia dan rombongan dijamu dengan berbagai macam kuliner. Di antaranya ulam, pecel pitik, opor bebek, betutu, dhendheng goreng gepukan, dan sebagainya.
Baca juga: Jejak Eropa dalam Kuliner Nusantara
Kemudian ketika Raden Jayengresmi bersama Getak Gatuk sampai di Bogor. Hidangan makan yang disajikan adalah nasi liwet dengan berbagai masakan berbahan dasar ikan tambra, termasuk opor tambra.
Ada lagi ketika Cebolang berada di rumah Ki Endrasmara di Wanagiri. Ki Endrasmara mempunyai empat istri, yaitu Indradi, Suresmi, Suwati, dan Lutut. Keempat istrinya itu kemudian menyiapkan hidangan beraneka rupa, termasuk opor meri brati. Dalam bahasa Jawa, meri berarti anak bebek ternak. Sementara brati adalah sebutan bagi hewan hasil persilangan antara dua spesies unggas, yakni antara bebek jantan dengan entok betina.
Segala macam jenis opor kemudian menjadi sajian yang dihidangkan dalam sebuah acara kenduri. Naskah itu menyebutkan opor bebek, opor angsa, opor menthog, opor brati, opor landhak, opor trenggiling, opor bajing gendhu.
Campur Baur
Tak sulit untuk mengatakan bahwa cita rasa opor yang khas lahir dari perpaduan kultur yang berwarna. Coba tengok bumbu-bumbu penyusunnya, maka akan terlihat bahwa tak semua berasal dari Nusantara.
Misalnya, jintan. Sir Ghillean Prance dan Mark Nesbitt, ahli botani dari Inggris, dalam The Cultural History of Plants menjelaskan biasanya jintan (Cuminum cyminum) dikatakan berasal dari wilayah Mediterania selatan dan timur. Namun, beberapa menempatkannya lebih jauh ke timur, di Asia Tengah.
Jintan merupakan bahan penting dalam pengobatan tradisional dan bubuk kari India. “Tetapi pada zaman kuno kurang terdokumentasi dengan baik dibandingkan di Timur Tengah dan Mediterania,” catat Prance dan Nesbitt.
Baca juga: Mencicipi Masakan Kuno
Jintan kemudian banyak digunakan dalam masakan Amerika Latin. Meningkatnya popularitas makanan Meksiko dan India diikuti pula naiknya permintaan jintan di dunia. Akhirnya, jintan ditanam secara komersial di banyak tempat seperti Afrika utara, Eropa, Timur Tengah, India, dan China.
Lalu ketumbar. Tanaman ini berasal dari Eropa selatan dan wilayah Mediterania. Daun hijau dan buah keringnya memiliki rasa yang berbeda, tetapi sama-sama khas. Keduanya banyak digunakan dalam masakan Mediterania dan Amerika Latin.
“Biji ketumbar menyusun 40 persen bahan yang terkandung di dalam bubuk kari India, kendati bukan asli India dan tidak diketahui pula kapan sampai di anak benua,” jelas Prance dan Nesbitt.
Adapun santan yang merupakan bahan terpenting dari opor, telah menjadi tulang punggung masakan Asia Tenggara, Afrika, India selama ribuan tahun. Sebagaimana dilansir Smithsonian Magazine, masyarakat Thailand, Filipina, dan Swahili memiliki kata khusus yang berbeda untuk menyebut santan.
“Yang lain, seperti Farsi, Hindi, dan Punjabi, menggunakan [istilah] ‘susu’ untuk menyebut baik yang dari hewan maupun dari tumbuhan,” catat laman itu.
Baca juga: Jaringan Intelektual dan Spiritual dalam Jalur Rempah
Beragam jenis bumbu dan rempah di dalam masakan opor bisa dikaitkan dengan ramainya perdagangan pada masa Jawa Kuno. Khususnya di pelabuhan utara Pulau Jawa. Pada periode kekuasaan kerajaan di Jawa Timur, pelabuhan Jawa menjadi tempat transit.
Karenanya, tak heran kalau di Yogyakarta, ditemukan beragam jenis rempah-rempah dari berbagai tempat. “Itu karena ada perdagangan,” kata arkeolog Tjahjono Prasodjo dalam diskusi daring berjudul “Budaya Rempah-rempah dalam Khazanah Kuliner di Daerah Istimewa Yogyakarta” beberapa waktu lalu.
Sementara kemiri dan lada, yang juga menyusun cita rasa opor, adalah rempah dari Nusantara. Pohon kemiri berasal dari Polinesia, pulau-pulau di laut Selatan, Hawaii, Semenanjung Malaya, dan Filipina, sedangkan lada adalah komoditas perdagangan dari Jawa.
“Ini [lada] perdagangan utama dari Jawa pada periode Jawa Timur,” jelas Tjahjono.
Baca juga: Kisah Rempah dan Kuliner Khas Yogyakarta
Tambahkan komentar
Belum ada komentar