Ki Narto Sabdo Sang Pembaru Kesenian Tradisi Jawa
Namanya tidak asing di jagat karawitan. Berbagai gending karyanya mewarnai hampir di setiap sudut tempat berlatar kebudayaan Jawa.
Bung Karno merupakan pecinta seni ulung sekaligus seniman. Salah satu kesenian yang paling disukainya adalah tari. Ia suka menari, bahkan Bung Karno menciptakan tari Lenso. Bung Karno juga kerap mengundang banyak penari untuk pentas di Istana. Salah satu tari yang kerap diundang untuk tampi di Istana adalah tari Bambangan Cakil.
“Dahulu Presiden Sukarno sering mengundang pethilan (versi singkat red.) tari Bambangan Cakil oleh Bu Suwarni dan Pak Sucipto. Pak Karno menghendaki yang gendangi Pak Narto Sabdo diiringi oleh karawitan RRI Jakarta,” kata Dhanang Respati, dosen Program Studi Sejarah Universitas Diponogoro, dalam wawancara daring dengan Historia.
Pak Narto yang dimaksud Dhanang adalah Ki Narto Sabdo, seniman serba bisa. Ia banyak dikenal sebagai pencipta gending-gending Jawa dan lakon-lakon wayang kulit. Perjalanan karier Ki Narto Sabdo tidak terlepas dari peran Ki Sastro Sabdo, pendiri wayang orang Ngesti Pandowo.
Baca juga: Potret Keakraban Bung Karno dan Tokoh Dunia
Pada 1945, Sunarto –belum bergelar Ki Narto Sabdo– merupakan pemain kendang di kelompok kethoprak Sriwandowo. Kelompok itu sangat terkenal karena memiliki banyak penonton. Para penonton kabarnya terpukau dengan permainan kendang Sunarto.
Kabar kemahiran Sunarto memainkan kendang sampai ke telinga Ki Sastro Sabdo, yang kemudian sengaja menonton pergelaran Sriwandowo untuk membuktikan isu tersebut. Esok paginya ia mengirim anggota Ngesti Pandowo untuk menemui Sunarto.
Sunarto lalu menemui Ki Sastro Sabdo diantar Mardanus, anggota Ngesti Pandowo. Oleh Sastro Sabdo ia ditawari bergabung dengan Ngesti Pandowo. Awalnya Sunarto ragu. Ia merasa masih memiliki banyak utang kepada pimpinan kethoprak tersebut. Namun permasalahannya itu lalu diatasi Sastro Sabdo dengan menutupi utang Sunarto agar Sunarto dapat pindah ke Ngesti Pandowo. Sunarto pun bergabung dengan Ngesti Pandowo.
Baca juga: Koko Koswara, Pembaharu Karawitan Sunda
Sunarto mau bergabung dengan Ngesti Pandowo bukan hanya karena utangnya sudah dilunasi. Alasan lainnya, ia menganggap wayang orang memiliki status sosial lebih tinggi dibanding kethoprak. Itu antara lain dilihat dari jumlah penonton yang lebih antusias menyaksikan wayang orang dan adanya para priyayi yang ikut menonton.
Di masa-masa awal Sunarto bergabung dengan Ngesti Pandowo, beberapa anggota wayang orang tersebut meragukan kemampuannya. “Mereka memandang bahwa Sunarto berasal dari kelompok kesenian kethoprak yang statusnya lebih rendah dibanding dengan wayang orang, khususnya Ngesti Pandowo,” ungkap Sujarno, dkk. dalam Wayang Orang Ngesti Pandowo (2001-2015): Kajian tentang Manajemen Seni Pertunjukan.
Untuk membuktikan kemampuan Sunarto, Ki Sastro Sabdo meminta Sunarto untuk memainkan kendang iringan tari. Tari yang dibawakan adalah tari Gambyong, digunakan sebagai pelengkap pertunjukan wayang orang Ngesti Pandowo. Sunarto berhasil menabuh kendang sangat baik sehingga suasana terasa lebih hidup dan penonton antusias. Bukan hanya saat mengiringi tari, Sunarto juga mahir memainkan kendang untuk iringan selain tari. Musik-musik yang ia ciptakan lebih dinamis dan dianggap modern pada zamannya. Ini kemudian membuat anggota Ngesti Pandowo menyambut Sunarto sebagai bagian dari seniman di perkumpulan wayang orang tersebut.
Baca juga: Maestro Gamelan di Kiri Jalan
Sebelum menetap di Semarang, wayang orang Ngesti Pandowo pentas berpindah dari kota ke kota. Di setiap tempat yang disinggahi Ngesti Pandowo, Ki Sastro Sabdo menyarankan Sunarto untuk berlatih dengan guru seni yang mumpuni di tempat tersebut. Belajar dari satu guru ke guru lain membuat Sunarto semakin kaya referensi musiknya. Dari karawitan gaya Banyumasan, Semarangan, Yogyakarta, Surakarta, hingga Pasundan dan Bali dikuasai semua oleh Sunarto.
Kemampuan-kemampuan tersebut membuat Sunarto dapat meramu komposisi karawitan untuk wayang orang menjadi lebih variatif. Hasilnya, penonton tidak mudah bosan. Oleh sebab itu, Ki Sastro Sabdo mengangkat Sunarto menjadi pimpinan karawitan Ngesti Pandowo. Dari sinilah namanya diganti menjadi Ki Narto Sabdo.
“Pak Sastro Sabdo memberi hadiah untuk Pak Narto dengan nama Narto Sabdo karena dianggap berjasa untuk Ngesti. Bahkan Pak Narto dianggap sebagai pendahulu Ngesti Pandowo tapi bukan berarti pendiri,” sambung Dhanang.
Baca juga: Musik Gamelan di Luar Angkasa
Setelah menjadi pemimpin karawitan Ngesti Pandowo, Ki Narto Sabdo tidak hanya bergelut di bidang karawitan. Ia juga bertindak sebagai dalang. Sebagai dalang wayang orang, Ki Narto Sabdo harus menguasai berbagai komponen wayang orang seperti menari, sulukan (vokal lagu untuk dalang), dan keprakan (bunyi keprak yang dilakukan dalang untuk mengiringi wayang).
“Dalam melaksanakan tugasnya ini Narto Sabdo menirukan atau mencontoh dari para pendahulunya seperti manarinya meniru Kasido, sulukan meniru Ki Pujosumarto, sementara kepraknya memakai model wayang kulit,” kata Haryono Rinardi, sosiolog sejarah Universitas Diponogoro, dalam penelitian berjudul Perkumpulan Wayang Orang Ngesti Pandawa (1937 – 2001) Studi Tentang Menejemen Seni Pertunjukan.
Dhanang juga berpendapat mengenai jasa-jasa Ki Narto Sabdo pada Ngesti Pandowo di bidang pedalangan.
“Menurut cerita yang saya dengar, Pak Narto berkontribusi untuk lakon-lakon baru yang dibawakan Ngesti, jadi Pak Narto ikut membuat naskah-naskah balungan, membuat cerita, dan naskah balungan yang dibuat oleh Pak Narto saat ini masih dipentaskan oleh Ngesti,” kata Dhanang.
Ki Narto Sabdo juga produktif mengkreasikan tari. Antara lain Lumbung Desa, Blandhong, Bayangan Kembar, Sampur Ijo, dan Panca Tunggal. Pada karya-karya tersebut ia menciptakan gerak tari dan musik pengiringnya untuk pelengkap pementasan wayang orang Ngesti Pandowo.
Keahlian Ki Narto Sabdo mendapat tempat tersendiri di benak Presiden Sukarno. Ki Narto menjadi tukang kendang andalan si “Bung Besar” yang kerap diundang pentas ke Istana dengan iringan karawitan RRI Jakarta –memiliki kelompok karawitan yang saat ini masih aktif dan eksis. Dari sinilah Ki Narto Sabdo dianggap berkontribusi untuk perkembangan karawitan RRI Jakarta.
“Karena Pak Narto sering berinteraksi dengan seniman RRI Jakarta, maka pimpinan karawitan RRI Jakarta, Pak Sukiman namanya, merasa berhutang budi karena merasa karawitan RRI Jakarta menjadi bagus, gitu loh, penyajiannya karena srawung dengan Pak Narto. Kemudian Pak Sukiman ingin berbalas budi dengan Pak Narto Sabdo. Lalu muncul pemikiran dan masukan dari orang lain bahwa Pak Narto Sabdo saat itu sedang mempersiapkan diri menjadi dalang dan sudah mulai mendalang, lalu ditawari untuk pentas direkam oleh RRI Jakarta,” kata Dhanang.
Baca juga: Denting Alunan Gamelan Raffles
Karier Ki Narto Sabdo sebagai dalang wayang kulit dimulai pada tahun 1958, ketika dirinya mendapat panggilan dari kepala Studio RRI untuk mendalang di Gedung PTIK. Lakon yang dimainkan adalah “Kresna Duta”. Mulai dari situ, permintaan-permintaan mendalang di Solo, Semarang, dan Yogyakarta berdatangan.
Sebagai seniman dengan kreativitas tinggi, Ki Narto Sabdo terus bereksplorasi. Ia lalu melahirkan karya-karya gubahannya seperti “Dasa Griwa”, “Mustakaweni”, “Ismaya Maneges”, “Gatutkaca Sungging”, “Gatutkaca Wisuda”, “Arjuna Cinoba”, “Kresna Apus”, dan “Begawan Sendang Garba”.
“Meskipun sibuk sebagai dalang di luar kegiatan Ngesti Pandowo, namun Pak Narto masih memikirkan Ngesti. Biasanya Pak Narto mayang sesudah selesai pementasan Ngesti Pandowo. Jadi saat sore ada dalang lain, lalu malamnya digantikan oleh Pak Narto,” kata Dhanang.
Baca juga: Mantra Sakti Sang Dalang Wayang
Namun, ada yang masih dirasa kurang oleh Ki Narto Sabdo, yakni memiliki kelompok karawitan sendiri. Maka pada 1968, karawitan Condhong Raos didirikannya.
“Saat itu Pak Narto belum memiliki kelompok karawitan. Karawitan Condong raos didirikan 1 April 1968. Pendirian karawitan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pak Narto sendiri untuk mengiringi pedalangannya sesuai dengan selera Pak Narto. Pada awalnya anggotanya terdiri dari beberapa anggota pengrawit RRI Jombang, RRI Surakarta, RRI Semarang, dan Ngesti Pandowo. Unsur utamanya dari anggota karawitan Ngripto Raras, Boyolali,” kata Dhanang.
Kreativitas Ki Narto Sabdo juga dituangkannya ke dalam Ngesti Pandowo. Saat ia memimpin perkumpulan tersebut, teknik pementasan Ngesti Pandowo memiliki inovasi baru seperti trik bioskop, teknik berubah wujud, kelir waring, kapalan, dan parto dewa. Trik bioskop adalah pementasan menggunakan proyektor yang membuat seolah-olah tokohnya dapat terbang sungguhan. Kelir waring digunakan ketika penampilan adegan horor, setan-setan terlihat muncul dan berjalan menembus pohon-pohon besar. Berbagai teknik ini menginspirasi kelompok-kelompok wayang orang di luar Ngesti Pandowo.
Baca juga: Alunan Gamelan Memikat Komponis Amerika
Di bawah kepemimpinan Ki Narto Sabdo, kelompok karawitan Ngesti Pandowo juga mampu menciptakan lagu-lagu yang sangat populer di kalangan masyarakat seperti “Gugur Gunung”, “Aja Lamis”, “Lesung Jumengglung”, “Kelinci Ucul”, “Praon”, “Aja Dipleroki”, “Mbok jo mesem”, dan masih banyak lagi.
Sayangnya masa kepemimpinan Ki Narto Sabdo tidak berlangsung lama. Tidak sampai tiga tahun memimpin Ngesti Pandowo, Ki Narto wafat pada tahun 1985.
Meskipun Ki Narto Sabdo sudah “berpulang”, bunyi gending karya-karyanya masih terdengar indah di telinga hingga kini. Gending-gending karawitan Jawa yang kini disajikan di tempat-tempat dengan latar belakang kebudayaan Jawa, entah hotel ataupun bandara, mayoritas merupakan ciptaan Ki Narto Sabdo.
“Kebudayaan itu adalah angan-angan manusia yang menghasilkan keindahan,” kata Ki Narto Sabdo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar