Maestro Gamelan di Kiri Jalan
Pontjopangrawit bisa melagukan Internasionale dengan gamelan. Hilang pasca tragedi 1965.
Pada tahun 1893, Slamet Soekari lahir di Surakarta. Karena berasal dari keluarga miskin, Soekari tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sejak umur 12 tahun ia telah menjadi abdi dalem karawitan dan hidupnya bergantung pada keraton Surakarta.
Setelah menempa ilmu karawitan bertahun-tahun, sekitar tahun 1912, Slamet dianugerahi gelar pangkat jabatan menengah, Raden dan nama baru Pontjopangrawit. Pangrawit adalah jabatan bagi ‘nayaga terkemuka yang bersangkutan dengan karawitan’. Sedangkan nama Pontjo dipilihnya sendiri.
Pontjopangrawit kemudian bergabung dengan lembaga Pananta Dibya yang berdiri tahun 1914. Lembaga ini bertujuan untuk memperbaiki dan menyusun kembali praktik-praktik serta upacara seni pagelaran keraton. Selain itu, lembaga ini juga aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hubungan Pontjopangrawit dengan politik kelak membawanya ke kamp Digul hingga pusaran tragedi 1965.
Diasingkan ke Digul
Ketika pada 1915-1925 Belanda berangsur-angsur mengambil alih tanah kerajaan, sentimen anti-Belanda pun semakin timbul. Pananta Dibya kemudian menjadi wadah pemikiran dan kegiatan radikal. Tidak sedikit anggotanya juga bergabung dengan organisasi kaum komunis dan nasionalis.
Gerakan antikolonial semakin masif dan pada 1926-1927 terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ribuan orang ditahan dan sebagian dikirim ke kamp Tanah Merah, Digul Atas. Meski tidak terlibat langsung dengan pemberontakan PKI, Pontjopangrawit turut ditangkap.
“Bagaimanapun juga ia tidak terlibat langsung dalam aksi perlawanan ini. Tapi ia ikut ambil bagian dalam rapat-rapat, di mana ia selalu dengan terang-terangan menyatakan pandangannya yang sangat antikolonial, dan ini tentu saja menjadi catatan penguasa,” sebut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul Dibalik Sosok Seorang Pejuang.
Baca juga: Gamelan Rantang dari Pengasingan
Pontjopangrawit ditangkap pada 1926 dan dikirim ke kamp Tanah Merah pada Maret 1927. Di pengasingan inilah, ia membuat gamelan dari perkakas seadanya seperti kaleng-kaleng susu dan rantang yang kemudian dikenal sebagai Gamelan Digul.
Gamelan Digul menjadi hiburan bagi para tahanan di tengah kondisi kamp yang buruk. Gamelan ini sekaligus menjadi simbol hubungan Australia dan Indonesia ketika revolusi. Gamelan Digul kini berada di Universitas Monash, Australia.
Pontjopangrawit dibebaskan dan pulang ke Surakarta pada 1932. Tak lama, ia kembali menjadi abdi dalem keraton. Dia mendapat gaji yang cukup dari keraton. Kedudukan yang terhormat juga membantunya memperbaiki reputasi.
Namun, Soedarto, anak tunggal Pontjopangrawit pergi dari rumah karena tidak tahan dengan ejekan sebagai "anak komunis". Soedarto hidup miskin di luar rumah dan tak pernah berdamai dengan Pontjopangrawit.
Seorang Maestro
Sementara itu, Pontjopangrawit semakin terkemuka. Ia menguasai ratusan gendhing gamelan serta mendapat kesempatan bergaul dengan ahli-ahli karawitan terkemuka dan pembaharu. Pada 1933, Pontjopangrawit mempelopori pengangkatan genre siteran yang berasal dari desa.
Di luar keraton, Pontjopangrawit membuka sanggar karawitan bersama rekan-rekannya. Namun, karena masih dicap sebagai eks-Digulis, kelompoknya tak pernah diundang ke radio-radio Belanda seperti kelompok karawitan lainnya.
Pada 1930-an, Pontjopangrawit pernah membantu mengembangkan repetoar dan teknik pergelaran orkes gamelan Thai baru. Gamelan dilaras menurut sistem nada tradisional Thai. Orkes gamelan itu, oleh Raja Thailand dihadiahkan kepada S.P. Paku Buwana X pada kunjungan ke Surakarta.
Meski mengabdi pada kraton, Pontjopangrawit tetap kritis terhadap konsevatisme keraton dan kurangnya dukungan keraton terhadap perjuangan antikolonial. Bersama beberapa abdi dalem lainnya, pada 1948, Pontjopangrawit meninggalkan pengadiannya pada keraton.
Pada awal 1950-an, Pontjopangrawit mendapat kehormatan dari Presiden Soekarno bersama kaum perintis kemerdekaan lainnya atas perjuangan sepanjang 1910-an sampai 1920-an, saat diasingkan ke Digul Atas, serta dukungan aktif selama revolusi 1945-1949.
Baca juga: Denting Alunan Gamelan Raffles
Pada 27 Agustus 1950 Koservatori Karawitan (Kokar) Indonesia didirikan di Surakarta. Pontjopangrawit menjadi pengajar penuh sampai mengundurkan diri pada 1963. Ia lalu melanjutan mengajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI).
“Konon dikatakan bahwa ia bisa memainkan gambang di belakang punggungnya (seperti pianis ahli Nicholas Slonimsky yang bisa memainkan piano dengan cara seperti itu),” papar Kartomi.
Selain itu, menurut beberapa bekas muridnya, saat mengajar, Pontjopangrawit duduk di depan murid-murid, mengajar rebab dan gender secara terbalik, sehingga memudahkan para murid menirunya.
Hardja Susilo, etnomusikolog dan pengajar gamelan di Universitas Hawaii dalam Enculturation and Cross-Cultural Experiences in Teaching Indonesian Gamelan menyebut permainan gamelan Pontjopangrawit termasuk yang paling kompleks dan sulit pola melodinya.
“Beberapa pertunjukan, seperti permainan rebab Ki Pontjopangrawit, terlalu rumit untuk ditranskripsikan. Ada terlalu banyak detail, yang tidak bisa diwakili oleh sistem notasi. Ketika kami memasukkan data ke dalam melograf Charles Seeger, sebuah mesin yang dapat menyalin peristiwa melodi tunggal dengan sangat terperinci, kami menghadapi masalah yang berbeda. Karena mesin itu sangat sensitif, ia memberikan terlalu banyak detail dalam transkripsi. Ini menunjukkan segala macam mikroton yang menghambat upaya kami untuk menemukan pola melodi,” jelas Susilo.
Hilang Pasca 1965
Pontjopangrawit tiba-tiba hilang pada akhir 1965, pasca peristiwa G30S. “Tampaknya ia terperangkap dalam kejadian-kejadian menggemparkan yang menyusul usaha kudeta atas Presiden Soekarno pada 30 September tahun itu,” sebut Kartomi.
Belum jelas bagaimana posisi Pontjopangrawit dalam PKI maupun Lekra. Menurut Hersri Setiawan, mengutip Kartomi, “oleh pimpinan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Jawa Tengah, bahwa selama tahun 1960-an sampai 1965 Pontjopangrawit adalah ‘orang Lekra yang tidak aktif dan tidak diaktifkan.”
Sementara itu Tri Ramidjo, eks tapol yang pernah tinggal berdekatan dengan rumah Pontjopangrawit di Surakarta, berdekatan pula dengan rumah Kiai Haji Muchlas, ayah M.H. Lukman (Wakil Ketua CC PKI) menggambarkan hubungan Pontjopangrawit dengan lagu-lagu kiri.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
“Di rumah Oom Pontjo Pangrawit ini penuh dengan alat musik gamelan, ada gambang, bonang, saron dan entah apalagi namanya aku tak tahu. Semuanya adalah buatan Oom Pontjo. Beliau pintar sekali menabuh gamelan dan bahkan dengan kaleng-kaleng susu yang dibuatnya gamelan itu bisa melagukan lagu Darah Rakyat, Internasionale, lagu 1 Mei, Mariana Proletar, de Rode Vandel, dll. Aku sudah lupa lagu de Rode Vandel, tapi yang lain aku masih ingat notnya,” kata Ramidjo dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah.
Kapan dan bagaimana Pontjopangrawit meninggal tidak diketahui. Menurut Kartomi, kemungkinan Pontjopangrawit meninggal pada 10 November 1965. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Pontjopangrawit tidak nampak mengajar lagi sejak Hari Pahlawan 1965.
Sedangkan menurut Hersri, nama Pontjopangrawit juga tak pernah ada di tahanan. Namun menurut versi pemerintah, melalui batu nisan di makam Desa Gurawan, pinggiran Surakarta, ditulis bahwa Pontjopangrawit meninggal pada 11 Oktober 1971. Pihak keluarga menyangsikan itu.
“Semua eks tapol Digul lainnya yang terkenal di daerah Surakarta dikumpulkan, ditahan dan dibunuh di penjara segera sesudah kejadian yang dinamakan kudeta 30 September 1965. Bagaimana mungkin Bapak Pontjopangrawit tidak ditangkap dan dibunuh bersama mereka itu?” kata keluarga Pontjopangrawit seperti dikutip Kartomi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar