Koko Koswara, Pembaharu Karawitan Sunda
Dari bermain kecapi, Mang Koko mengembangkan karawitan Sunda modern. Mendapat medali emas dan perunggu dalam Festival Pelajar dan Pemuda Sedunia di Moskow.
Dalam Festival Pelajar dan Pemuda Sedunia di Moskow tahun 1957, tampil tiga orang Sunda memainkan karawitan Sunda. Ketiga seniman ini meraih medali emas dan perunggu. Mereka adalah Ety Rumiaty sebagai sinden, Parmis sebagai pemain suling, dan yang paling terkenal, Mang Koko, penyanyi sekaligus pemain kecapi.
Mang Koko bukan pemain kecapi biasa. Ia merupakan pembaharu musik karawitan Sunda yang telah malang melintang sejak zaman revolusi. Karya-karyanya masih dipakai sebagai rujukan pengembangan musik Sunda modern.
Koko Koswara lahir pada 24 November 1917 di Desa Indihiang, Tasikmalaya. Namun untuk keperluan pendaftaran sekolah, tanggal lahirnya tertulis 10 April 1917. Koko mendapat pendidikan Hollandsch Inlandsche II (HIS II) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tasikmalaya. Semasa sekolah inilah Koko mulai mengembangkan permainan kecapi yang digemarinya sejak kanak-kanak.
Setelah tamat, Koko bekerja sebagai pegawai tata usaha di Bale Bale Pemulagan Pasundan, Bagian Pendidikan dan Pengajaran dari Pengurus Pusat Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Pada 1940, Koko memutuskan pindah ke Bandung dan bekerja di Javasche Bank.
Baca juga: Muslim Pertama di Tatar Sunda
Di Bandung, Koko membentuk band yang memainkan musik-musik Barat bernama The Yop Hawaian Band. Meski demikian, ia juga menggarap musik kecapi modern untuk mengisi siaran radio Volr dan Perserikatan - Perserikatan Radio Ketimuran (PPRK).
Kariernya sebagai pegawai selesai ketika Jepang datang pada 1942. Koko kemudian bekerja sebagai pengurus advertensi di harian Cahaya Shimbun yang dipimpin Otto Iskandardinata.
Pasca-Kemerdekaan, Koko bergabung dengan Suara Merdeka Bandung, kemudian pindah ke Tasikmalaya. Pada 1946, Koko membentuk grup Kanca Indihiang yang mengembangkan kesenian Sekar Jenaka, hiburan rakyat yang memadukan permainan musik dan dialog-dialog jenaka.
“Materi lagunya kebanyakan hasil ciptaannya sendiri, sedangkan lirik-lirik lagu yang diangkat umumnya bertemakan kritik sosial dan perjuangan,” tulis Tardy Ruswandi dalam Kawih Sunda Karya Mang Koko.
Lantaran desakan tentara Belanda dan Sekutu, Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung harus diungsikan ke Tasikmalaya. Koko bersama Kanca Indihiangpun kerap mengisi siaran. Mereka juga mengisi siaran RRI Priangan Timur.
“Maka pada tahun ini pulalah dia mulai memperkenalkan bakatnya itu dengan melalui corong RRI dengan lagu-lagunya yang bersifat mengobarkan semangat pemuda kita dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu dan tentara Belanda,” tulis majalah Minggu Pagi, 14 Januari 1960.
Selama masa revolusi, Koko mulai fokus pada modernisasi karawitan Sunda, mulai dari Juru Kawih (penembang, penyanyi) hingga penggubah dan pengarang lagu. Pada 1950, Koko kembali ke Bandung dan bekerja di Jawatan Penerangan Jawa Barat. Bersamaan dengan itu, ia mulai dikenal karena langgam-langgamnya yang khas dengan menambahkan lebih banyak dinamika pada lagu-lagu daerah Sunda. Ia dikenal sebagai pembaharu dan populer dengan nama Mang Koko meskipun kemudian mendapat respon negatif dari seniman-seniman golongan tua.
Baca juga: Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda
Menurut Deni Hermawan dalam Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda, Mang Koko merupakan seniman yang memiliki minat humor yang tinggi, ceria, dan dinamis.
“Tidak heran apabila lagu-lagunya dalam Kanca Indihiang banyak yang bertemakan kritik sosial yang disampaikan dengan humor dan dalam suasana ceria, misalnya lagu: Ronda Malem, Maen Bal, Resepsi, Badminton, Urang Kampung, dsb,” tulis Deni.
Sifat humor dan cerianya juga direpresentasikan Kok dalam lagu anak-anak seperti “Eundeukeundeukan”, “Tokecang”, dan “Ulah Balangah” serta lagu remaja dan dewasa seperti “Mikangen Tengtrem”, “Sempal Guyon” dan “Mih”.
Mang Koko juga mengembangkan seni musiknya di dunia pendidikan. Mula-mula ia mendirikan taman kanak-kanak Taman Murangkalih yang kemudian berganti menjadi Taman Cangkurilaeung, khusus anak SD kelas V dan VI. Kemudian pada 1954, ia mendirikan Rampak Sekar Setia Putra, pelatihan koor untuk pelajar sekolah lanjutan di seluruh Jawa Barat. Pada 1956, Koko membentuk ansambel Ganda Mekar yang sering pentas di Bandung dan mengadakan tur Jawa dan Sumatera.
Kepopuleran Mang Koko membawanya ke Moskow sebagai perwakilan Jawa Barat dalam rangka Festival Pelajar dan Pemuda Sedunia pada 1957. Dalam festival itu ia meraih medali emas dan perunggu untuk pertunjukan seni musik “Cianjuran” dan kecapi suling.
Nama besar Mang Koko menarik perhatian Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menjelang Kongres Lekra I di Solo pada 1959, cabang-cabang Lekra di berbagai daerah mempersiapkan apa saja yang hendak mereka pamerkan dalam pesta kebudayaan itu. Kala itu, Njoto telah menyinggung mengenai kekayaan budaya daerah yang wajib ditampilkan. Cabang Lekra Jawa Baratpun melirik Mang Koko.
Baca juga: Sejarah Penerjemahan Alkitab ke Bahasa Sunda
“Selain intensif mendiskusikan calon Mukadimah dan Peraturan Dasar baru Lekra, mereka membawa serta Mang Koko dan ‘Wayang Bandung’, ‘Genjring Sulap Rakyat’ yang setara dengan ‘Akrobat Tiongkok’,” tulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku.
Sejak 1961, Mang Koko mengajar untuk Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung. Pada 1966 hingga 1972, ia menjadi direktur KOKAR. Ia juga mengajar untuk Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung hingga 1980.
Selama hidup, Mang Koko telah menciptakan kurang lebih 500 lagu Sunda modern. Sekira 66 lagu telah direkam dalam piringan hitam dan kaset dengan iringan gamelan maupun band. Ratusan lagunya telah terhimpun dalam beberapa buku lagu.
Koko Koswara mendapat Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1971. Pembaharu karawitan Sunda itu meninggal dunia pada 4 Oktober 1985.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar