Kecak dari Sakral Jadi Profan
Tari Kecak dewasa ini menjadi tontonan pariwisata di Bali. Zaman dahulu, tari ini adalah tari sakral.
Sinar matahari senja menyeruak dari balik awan di atas Pura Uluwatu. “Cak cak cak cak...” terdengar bunyi dari pelataran candi. Suara itu datang dari pertunjukan tari Kecak, yang dilakukan dengan latar laut lepas dan langit jingga.
Kecak sangat populer di Uluwatu. Wisatawan yang datang tidak ragu merogoh kantong dalam-dalam untuk membeli tiket pertunjukan. Menyaksikan pertunjukan Kecak seolah keniscayaan buat mereka apabila berkunjung ke Bali Selatan.
Popularitas Kecak di Uluwatu bukan datang tiba-tiba. Ia telah dipupuk sejak era kolonial.
“Kecak telah hadir sebagai sajian wisata sejak tahun 1930-an,” kata R.M Soedarsono dalam Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Baca juga: Tarian yang Mempesona
Kecak awalnya disebut dengan pertunjukan “Cak”. Nama tersebut berangkat dari bunyi suara yang dilakukan penari sebagai pengganti gamelan.
Seniman berkebangsaan Jerman, Walter Spies, berperan dalam perkembangan Kecak. Saat datang ke Desa Bedulu, Bali, ia menganjurkan beberapa seniman di sana untuk mengeluarkan Kecak dari bentuk sakral. Tujuan dari sarannya: agar wisatawan mancanegara dapat menikmati tari Kecak.
“Walter Spies diundang oleh Ida Cokorde Gede Sukawati untuk membantu masyarakat Bali memilah kesenian upacara dan kesenian yang dapat ditampilkan di depan umum,” kata I Wayan Dibia dalam laman YouTube BPNB Bali.
Sebelum Walter Spies datang, sebenarnya Kecak sudah ada di dalam pertunjukan Sanghyang, terutama Sanghyang Jaran dan Sanghyang Dedari. Sanghyang diiringi gamelan suara dengan pengisi suara yang disebut Cak.
“Kecak sudah ada di dalam pertunjukan Sanghyang namun tidak memakai lakon,” ungkap I Wayan Dibia.
Pemilihan kecak didasarkan pada pengamatan Spies yang menganggap koor pria pengiring tari Kecak benar-benar memiliki kesan sakral dan magis. Untuk membuat kesenian tersebut menjadi lebih hidup dan diterima masyarakat, Spies memasukkan lakon (tema) cerita.
“Pertunjukan pertama dilakukan di Desa Bedulu dengan bintang tamu I Wayan Limbak berperan sebagai Kumbakarna,” tulis RM Soedarsono.
Lakon dalam pertunjukan itu adalah Karebut Kumbakarna (Gugurnya Kumbakarna). Durasinya tergolong pendek, hanya sekitar 15 menit. Oleh Walter Spies, pertunjukan kecak itu dijadikan sebagai salah satu bagian filmnya. Itu adalah cikal-bakal pertunjukan Kecak Ramayana yang sekarang banyak dinikmati.
Pada pertunjukan-pertunjukan selanjutnya, seringkali lakon yang dibawakan oleh tari Kecak seputar cerita Ramayana. Ketika cerita tersebut dimainkan, biasanya muncul Hanoman sebagai salah satu tokohnya. Kelincahan dan karakteristik Hanoman sukses mencuri perhatian penonton. Oleh sebab itu, banyak wisatawan mancanegara mengenalnya sebagai Monkey Dance.
Baca juga: Tari Kecak Mencoba Terus Menari Kala Pandemi
Kendati Kecak ditampilkan pertama kali di Bedulu, pengembangannya justru terjadi di Desa Bona.
“Tahun 1960, Bona menjadi rajanya Kecak,” kata I Wayan Dibia.
Busana yang digunakan dalam tari Kecak saat itu masih sangat sederhana. Pemain pria hanya mengenakan selembar kain untuk menutupi bagian bawah tubuh. Busana adat lengkap hanya digunakan penari yang memerankan tokoh tertentu seperti Dewi Sita dan Trijata.
Pada 1965, sendratari Ramayana mulai muncul di Bali. Eksistensinya mempengaruhi pertunjukan Kecak. Bila awalnya lakon pada pertunjukan Kecak hanya ditampilkan secara episodik (tidak utuh), sendratari Ramayana memulai dengan lakon yang ditampilkan naratif (lengkap).
Pada tahun 1970-an istilah “Kecak” sering dirangkai dengan kesenian Janger. Alhasil ada dua kecak: Kecak untuk Janger dan Kecak untuk pertunjukan Ramayana. Akan tetapi beberapa penduduk Bali masih sering menyebut pertunjukan “Cak” untuk Kecak dengan lakon Ramayana.
Baca juga: Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda
Pada masa itu pula tari Sanghyang seringkali dimasukkan pada bagian akhir pertunjukan Kecak. Hal menarik pada pertunjukan akhir yakni ketika dua penari kerasukan setelah menampilkan tari Sanghyang Dedari. Lalu, ada pula penari menginjak-injak api membara tanpa alas kaki padan Sanghyang Jaran.
“Adegan ini dilakukan agar wisatawan mancanegara lebih mudah tertarik,” kata RM Soedarsono.
Kendati sarat aspek entertain, aspek filosofis Kecak tetap ada. Di Desa Teges, Gianyar, misalnya, Kecak merupakan simbol dari kebersamaan yang ditunjang oleh kesediaan berbagi penduduk desa. Hal itu diketahui dari penelitian yang dilakukan Sardono W. Kusumo ke desa tersebut.
“Dalam deskripsi Sardono hal ini diungkapkan dengan serba-ilustratif. Para penari kecak di Teges mempunyai kebiasaan mempertimbangkan kemampuan teman menarinya selagi mereka menari bersama. Jadi, seorang penari akan mengukur dengan cermat seberapa jauh dia dapat mengerahkan dan menunjukkan kemampuannya agar memancing dan merangsang kemampuan dan kegairahan sesama penari, dan seberapa jauh pula dia harus mengekang diri dan kemampuannya, agar tidak melumpuhkan daya kreatif mereka,” tulis sosiolog Ignas Kleden dalam Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar