Tari Gambyong dari Jalanan ke Istana Hingga Pernikahan Modern
Penampilan tari dari istana-istana Jawa tidak selalu sakral dan bersifat ritual. Tari Gambyong membuktikan kesenian dari jalan bisa menjadi alat diplomasi.
Alunan gamelan mengiringi gerak sekelompok penari perempuan. Tubuh mereka dibalut kemben berpadu dengan kain batik. Tidak ketinggalan sanggul dan “cunduk mentul” di bagian kepala serta taburan bunga melati di berbagai titik. Kibaran selendang warna-warni mengiringi setiap gerak.
Demikianlah viasualisasi dari tari Gambyong. Dewasa ini, Gambyong banyak dijumpai dalam resepsi pernikahan adat Jawa.
"Sebagai keturunan Jawa yang menggunakan adat Jawa di pernikahan aku, aku mau menyambut tamuku dengan tari Gambyong," ujar Iklima kepada Historia.id melalui percakapan seluler. Iklima adala seorang guru kesenian di SMP 3 Kalibagor, Purwokerto, menerangkan alasannya memilih Gambyong pada acara pernikahannya yang diselenggarakan di Jakarta.
Selain di resepsi pernikahan, Gambyong juga ditampilkan pada acara-acara diplomasi kebudayaan maupun penyambutan tamu. Perjalanan tari Gambyong hingga bisa bertahan dan dikenal sampai kini tidak lepas dari peran Keraton Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Baca juga: Tarian Perang Pangeran Sambernyawa
Gambyong di Istana
Menurut Sri Rochana Widyastutieningrum, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI), dalam Sejarah Tari Gambyong: Dari Rakyat Menuju Istana, istilah Gambyong merupakan singkatan dari kata Gambirsawit dan Boyong, yaitu nama gending yang selalu digunakan untuk mengiringi Tayub.
Namun, versi lain mengatakan berbeda. R.M. Sajid dalam Babad Sala mengatakan, Gambyong adalah nama seorang penari tayub pada masa pemerintahan Pakubuwana IV di Surakarta. Tayub merupakan pertunjukan jalanan berupa tarian dan gamelan yang populer saat itu. Para penari dan pengiring mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Kadang kala ada sekelompok orang sengaja meminta kelompok tayub untuk tampil di suatu perayaan dengan imbalan yang telah ditentukan.
Baca juga: Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda
Tayub merupakan tarian rakyat yang berkembang di Jawa Tengah. Dalam perkembangannya, ia melahirkan tari Taledhek. Pada saat masih jadi kesenian rakyat, Taledhek biasanya dipentaskan keliling (mengamen) oleh sekelompok orang, dikenal sebagai Taledhek barangan.
“Taledhek barangan telah dikenal pada zaman Demak (abad XV). Hal ini disebutkan dalam Serat Sastramiruda, risalah Jawa yang ditulis oleh Kusumadilaga selama masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana X (1893-1939). Dikemukakan, penari-penari taledhek yang berkeliling mempertunjukkan tariannya berasal dari zaman Demak, ketika itu mereka menari diiringi rebana dan kendang dengan diawali volak penari,” tulis Sri Rochana.
Tayub terus menyebar dan berkembang. Kesohoran Gambyong yang amat mahir menarikan tayub membuat namanya dipergunakan untuk menamakan tari yang dimainkannya menjadi Gambyong.
Baca juga: Paradoks Centhini
Serat Centhini yang ditulis Soeradipoera pada 1912 memuat informasi tentang Gambyong lengkap dengan latar pertunjukan tarinya: syukuran kelahiran anak, perayaan pernikahan, atau hanya sebagai hiburan dari kegiatan sehari-hari.
Pada pupuh 26 diceritakan, Cebolang yang diundang oleh Adipati dalam perayaan kelahiran anaknya malentunkan Gambir Sawit lalu diiringi tari Gambyong. Cebolang merupakan seorang pemuda tampan dengan kegiatan sehari-hari berkelana dan berpetualang.
Lalu, pada pupuh 37 dikisahkan Jayengraga tentang tokoh petualang lain yang sedang berada di sebuah pesantren. Usai membaca rawi, dia bersama dua temannya –Gus Suratin dan Gus Senu– menyaksikan pertunjukan Gambyong yang dibawakan oleh dua orang ronggeng. Mereka berdua memang terampil dalam menari karena Gus Suratin merupakan cucu dalang dan Gus Senu anak orang kaya. Mereka menari serta berbincang-bincang dengan para ronggeng. Sang ronggeng bertanya, lebih besar mana payudara mereka.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Kemudian di pupuh 45, ada pertunjukan Gambyong saat pernikahan Ni Ken Rarasati. Pertunjukan tersebut ditampilkan saat Amongraga, seorang tokoh agama, baru saja tiba bersama istrinya diiringi dengan shalawatan. Gambyong pada acara pernikahan juga ditulis pada pupuh 47, ketika anak dari Malarsih menikah.
Pada era Pakubuwana IX, KRMT Wreksadiningrat, abdi dalem Bupati Nayaka di keraton Surakarta, memperhalus tari Gambyong sesuai dengan kaidah keraton. Pembakuan aturan pertunjukan tari Gambyong mulai dibuat di masa ini. Hasilnya, Gambyong ditarikan oleh satu orang waranggana (pesindhen). Selain itu, sudah tidak ditemukan lagi penari Gambyong yang melayani penonton apalagi sampai menggoda dengan cara vulgar.
Pada 1889, Kadipaten Mangkunegaran mengirim tim kesenian ke Amsterdam untuk menampilkan tari Gambyong. Setelah masuk tahun 1900-an, tari Gambyong mulai banyak ditampilkan baik di keraton Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten Mangkunegaran menggunakan tari ini untuk menjamu para tentara Jepang sejak 1942-1945.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Namun, hingga Indonesia merdeka Gambyong tidak terikat pada pakem dan urutan gerak tertentu. Penyusunan gerak baku tari Gambyong baru mulai dilakukan tahun 1950 oleh Nyi Bei Mintararas di Mangkunegaran menggunakan gending Pareanom.
Dalam perkembangannya, Gambyong menjadi salah satu genre tari sendiri dengan banyak cabang. Penamaan sebuah cabang tari Gambyong bertolak dari musik pengiringnya. Gambyong Pangkur, misalnya, dinamakan demikian karena tariannya menggunakan iringan tembang Pangkur. Lalu, Gambyong Pareanom yang menggunakan iringan Pareanom, atau Gambyong Gambir Sawit, yang diiringi tembang Gambir Sawit.
Gambyong yang awalnya hanya diperuntukkan sebagai hiburan, kemudian berubah fungsi menjadi tari penyambutan. Penampilan tari Gambyong di berbagai acara lalu menjadi hal yang biasa, baik saat tari ini sudah menjadi bentuk tari Gambyong maupun masih dalam bentuk Tayub. Ini dapat dilihat dari penggambaran-penggambaran dalam serat Centhini atau di era modern penampilan tari Gambyong tampil di awal acara, termasuk acara pernikahan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar