Paradoks Centhini
Berbagai hikayat dan tradisi masa silam, menunjukkan toleransi terhadap keberagaman seksualitas tapi di sisi lain cenderung respresif terhadap perempuan.
DALAM sejarah Nusantara pra-kolonial, seksualitas bukan sesuatu yang tabu. Pun keragaman seksualitas. Banyak dokumen sejarah dan tradisi masa lampau menggambarkan keragaman ini dengan gamblang. Salah satunya dalam salah satu karya sastra Jawa terkemuka Serat Centhini.
Serat Centhini, atau lebih lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga, ditulis pada 1814 sampai 1823 oleh sebuah tim yang dipimpin Adipati Anom Amangkunagara III, putera mahkota Kerajaan Surakarta, yang kemudian jadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana V (1820-1823). Anggota tim penulis itu terdiri atas Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II, dan Kiai Ngabehi Sastradipura.
Centhini ibarat ensiklopedia Jawa yang lengkap. Termasuk menyinggung tema seksualitas, juga keragaman dan berbagai eksplorasinya, yang diungkap secara verbal tanpa tedeng aling-aling, paradoksal dengan etika sosial Jawa yang dikenal puritan dan ortodoks.
Dalam salah satu bagian Serat ini dikisahkan tentang petualangan “liar” Cebolang, laki-laki muda dengan paras elok rupawan. Ia mengembara bersama empat orang kawannya. Pengembaraan itu dipenuhi beragam rupa eksplorasi seksual, bersama perempuan maupun laki-laki. Di antaranya saat Cebolang dan kawan-kawannya singgah di Ponorogo. Selesai mendandani para warok yang akan tampil, Cebolang merayu mereka: “Ayo, ajari aku bagaimana caranya menjadi perempuan, bagaimana menjadi pria, apa kelebihannya? Coba katakan!” Para warok itu kemudian “menyanggupi” tantangan Cebolang.
Kali lain dikisahkan Cebolang dan kawan-kawannya bertemu Adipati Daha. Sang Adipati meminta Cebolang dan anggota rombongannya mengadakan sebuah pertunjukan kesenian. Nurwitri, salah seorang anggota rombongan yang memiliki fisik yang halus mirip perempuan, membuat Adipati tergila-gila. Usai pertunjukan Adipati mengundang Nurwitri untuk tidur dengannya. Setelah beberapa malam dia mengalihkan perhatiannya pada Cebolang, yang ternyata jauh lebih berpengalaman bermain-main dengan kenikmatan.
Suatu malam, Adipati bertanya, “Mana yang lebih nikmat, menunggangi atau ditunggangi? Bedanya gimana?”
“Lebih nikmat ditunggangi, tiada bandingnya,” ujar Cebolang sembari menjelaskan bagaimana kenikmatan akan direngkuh.
Dan mereka pun bertukar posisi.
Menurut Ben Anderson dalam bukunya Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik Indonesia, bentuk eksplisit hubungan seks sesama laki-laki dalam Centhini tak dimaksudkan untuk dilihat sebagai hubungan sodomi per-se tapi juga sebagai sebuah simbol keinginan orang Jawa atas suatu bentuk tatanan masyarakat yang ideal.
Pun hubungan antara sesama perempuan, meski tak secara eksplisit, dibahas sepintas lalu dalam Centhini sebagai sebuah kewajaran. Dikisahkan dalam salah satu pengembaraannya, Cebolang menyamar menjadi seorang perempuan cantik dan mengganti nama menjadi Siti Suwadi. Cebolang diterima Nyai Demang Ngawi, seorang janda muda yang telah lama ditinggal pergi sang Demang, suaminya.
Nyai Demang menyarankan agar Cebolang beserta rombongannya beristirahat sejenak. Dengan baik hati Sang Nyai menawarkan agar Siti Suwadi alias Cebolang beristirahat di kamar pribadinya, sementara anggota rombongannya menginap di kamar lain. Nyai kemudian menceritakan bahwa sesungguhnya dia masih perawan. Dan selama ini dia tak pernah bersetubuh dengan laki-laki. “Aku belajar hanya untuk menyukai perempuan,” kata si Nyai Demang. Dan Cebolang pun jadi lelaki yang pertama.
Tentu saja Centhini tak mengabaikan peran perempuan. Ada penggambaran tokoh perempuan cantik, Kasanah, yang jadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Dia berjuang hingga menjadi raja. Menariknya, sejak itu, dia mengubah identitas gendernya; menggunakan atribut laki-laki –sekalipun ia menyebut dirinya bukan laki-laki maupun perempuan, masuk dalam lingkaran Nur-Nya, jati diri yang tunggal, sehingga tak lagi berjenis kelamin.
Sosok Kasanah seperti simbol patung Ardhanary, juga disebut Adhanarishvara, dewa abad ke-14 SM yang menggambarkan penyatuan dua tubuh menjadi satu, maskulinitas (dewa Syiwa) dan femininitas (dewi Parwati), yang lalu disebut androginitas. Patung Ardhanary tersimpan di Museum Medan Merdeka.
Dalam “Dari Tjentini Sampai GAYa Nusantara”, pengantar untuk buku Dede Oetomo, Memberi Suara pada Yang Bisu, Benedict Anderson juga mengatakan bahwa di beberapa masyarakat di Indonesia orang-orang yang dianggap luar biasa adalah mereka yang bisa mengombinasikan unsur-unsur perempuan dan laki-laki. Sebab manusia-manusia inilah yang akan bisa berhubungan langsung dengan dunia gaib.
Ironisnya, terkait dengan heteroseksualitas, Serat Centhini –seperti umumnya serat lainnya– justru cenderung represif terhadap perempuan. Dalam salah satu bagian serat ini dikisahkan Nyi Hartati menjelaskan hakikat perempuan kepada anaknya, Rancangkapti. Ia mengkiaskan dengan lima jari tangan.
Jempol berarti “Pol ing tyas,” istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Apa saja yang menjadi kehendak suami harus dituruti. Penuduh (telunjuk), berarti jangan sekali-sekali berani mematahkan tudhung kakung (petunjuk suami). Penunggul (jari tengah) berarti selalu “mengunggulkan” suami. Jari manis, berarti tetap manis air mukanya dalam melayani suami. Jejenthik (kelingking), berarti istri harus selalu athak ithikam (trampil dan banyak akal) serta sigap namun penuh kelembutan dalam melayani suami.
Di bagian lain, seorang murid bertanya kepada gurunya tentang “wirasat” manusia, karena ia belum menikah. Sang guru memuji keingintahuannya. Menurut sang guru, para dewa telah menyuruh menuliskan hal ini agar kaum laki-laki memahami bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dari perempuan, yang memang berfungsi “mengabdi”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar