Kala Budak Dibebaskan
Thailand menghapus perbudakan pada 1 April 1905. Di negeri ini, praktik perbudakan hilang pada akhir abad ke-19.
PADA 1 April 1905, Raja Rama V atau dikenal pula Raja Chulalongkorn mengesahkan penghapusan perbudakan dan kerja paksa yang sudah dipraktikkan sejak masa Raja Ramathibodi II (1518). Ia juga menyatakan bahwa semua orang Siam yang lahir ketika ia berkuasa (1868-1910) adalah orang merdeka. Tanggal 1 April kemudian diperingati sebagai Hari Penghapusan Perbudakan di Thailand.
Pada 1874, ia memberlakukan aturan yang menurunkan harga penebusan budak. Antonio L. Rappa dalam The King and the Making of Modern Thailand menyebut langkah Rama menjadi satu kemajuan untuk penghapusan perbudakan.
Di beberapa negara, semisal Inggris Raya, aturan tentang pembatasan perbudakan dikeluarkan pada 1807 atas usulan William Wilberforce, anggota House of Commons. Inggris akhirnya mengeluarkan undang-undang penghapusan perbudakan pada 1833. Amerika Serikat mengikuti menghapus perbudakan dengan amandemen ke-13 konstitusi AS pada 1865.
Di Indonesia, usaha penghapusan perbudakan dimulai sejak masa VOC. Kala itu, banyak orang-orang kaya memelihara budak, baik orang Eropa, Tionghoa, maupun bumiputra kaya. De Graaff secara khusus menyoroti perilaku orang-orang Belanda pada budak mereka sebagai sebuah kecongkakan yang memuakkan.
Hal itu umum terlihat antara lain saat para perempuan Belanda pergi ke gereja. Mereka pergi dengan rombongan budak laki-laki dan perempuan untuk melayaninya. Ada budak yang bertugas untuk memayungi, membawakan kitab, dan kotak sirih. Mereka dilayani laiknya puteri raja.
Baca juga: Perbudakan di Bawah Koloni VOC
Bila si budak tidak memuaskan majikannya, hukuman penyiksaan sebagai ganjaran lumrah terjadi. Ada budak yang dipukuli, dicambuk, disiram air panas, atau dipaksa bekerja tanpa istirahat hingga putus asa dan memilih bunuh diri. Ada juga budak yang mengamuk dan balik menyerang majikannya. Dengan banyaknya kasus kekerasan antara majikan dan budak sepanjang abad ke-17, penguasa Belanda mulai ikut campur dalam kasus perbudakan pada abad ke-18.
Jika ada budak yang dibunuh oleh majikannya, budak yang memiliki hubungan dengan korban harus dipindahtangankan. Aturan ini barang kali untuk melindungi majikan agar terhindar dari balas dendam. Meski demikian, menurut Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, pada akhirnya penguasa Belanda mulai serius memikirkan nasib budak.
Baca juga: Cerita Kelam Budak dalam Kertas Tua
Pada 1742, seorang Belanda kaya diusir dari seluruh wilayah VOC karena menembak mati seorang budak dan menyiksa tiga orang lain. Hukuman bisa pula berupa pencabutan hak kepemilikan budak karena memperlakukan budak dengan sangat kejam. Pada 1757, aturan yang membatasi kepemilikan budak dikeluarkan. Untuk budak yang dipelihara dalam kastil, batas maksimal adalah 1200 orang sedangkan budak yang boleh dipelihara di Pulau Onrust (sekarang Pulau Kapal di dekat Teluk Jakarta) maksimal 300 orang.
Aturan-aturan tentang perbudakan lebih baru keluar pada 1 Januari 1758. Isinya, larangan membawa budak di bawah umur 14 tahun ke Batavia. Pada 1803, pemerintah Batavia mengeluarkan aturan tentang pemenuhan akomodasi dan pembagian makanan yang adil.
Baca juga: Jalan Panjang Menghapuskan Perbudakan
Ketika Thomas Raffles berkuasa, aturan pembatasan budak usulan Wilberforce masih dipergunakan. Pada 1812, Raffles melakukan pembatasan budak dengan mewajibkan majikan mendaftarkan budak mereka, memberi pajak lebih pada para majikan, dan mengeluarkan larangan mengimpor budak ke Pulau Jawa sejak 1813.
Perdagangan budak akhirnya dilarang di Jawa pada 1860 kendati pasar budak di Batavia baru tutup tahun 1880 ketika impor dan perdagangan budak dihentikan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar