Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri
Sejumlah pelajar dan mahasiswa dikirim ke luar negeri untuk menuntut ilmu pada masa Sukarno. Mimpi membangun negeri pupus setelah mereka tak diizinkan kembali ke tanah air setelah peristiwa G30S 1965.
“INDONESIA adalah tanah airku. Di sana, aku lahir. Apapun akan kulakukan untuk melindungi tempat di mana aku lahir. Tapi mereka mengenyahkanku dari tanahku sendiri,” begitulah kalimat yang tertulis dalam poster film dokumenter berjudul Eksil yang tayang terbatas di sejumlah bioskop sejak 1 Februari 2024. Film ini ditayangkan perdana pada akhir 2022 di Jogja-NETPAC Asian Film Festival.
Film garapan Lola Amaria ini mengangkat kisah para eksil yang tak dapat kembali ke tanah air setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka merupakan pelajar dan mahasiswa yang mendapat beasiswa sekolar ke luar negeri di masa pemerintahan Presiden Sukarno. Film berdurasi 118 menit itu dibuka dengan menggambarkan kehidupan para eksil yang telah berusia lanjut. Banyak di antara mereka yang kini menetap di wilayah Eropa, salah satunya Hartoni Ubes. Pria asal Cimahi, Jawa Barat itu bercerita bahwa ia berangkat ke Ceko usai memeroleh beasiswa pada 1962.
Selain Ubes, Asahan Aidit, Kuslan Budiman, dan Waruno Mahdi juga menempuh pendidikan di luar negeri, tepatnya Uni Soviet (kini Rusia) pada 1960-an. Tak pernah terpikir oleh mereka bahwa kepergiannya ke luar negeri akan belangsung lama. Pasalnya, baik Ubes, Asahan, Kuslan maupun Waruno menganggap kedatangan mereka ke Ceko dan Soviet semata-mata untuk menempuh pendidikan selama beberapa tahun dan setelahnya akan kembali ke Indonesia untuk membangun negaranya. Namun, rencana itu buyar setelah peristiwa G30S.
Kondisi politik yang genting dan tidak stabil di Indonesia turut berdampak kepada mereka yang tengah menempuh studi di luar negeri. Hal ini dikisahkan oleh I Gede Arka, seorang eksil yang menetap di Amsterdam, Belanda. Arka menyebut bahwa ia dan sejumlah mahasiswa Indonesia lainnya dipanggil ke Kedutaan Besar Indonesia pada 1966. Ia diminta menyetujui dua hal saat disodorkan sebuah surat perjanjian untuk ditandatangani. Dua hal itu yakni mengutuk pembunuhan terhadap para jenderal dan mengutuk pemerintahan Sukarno.
“Mengutuk pembunuhan para jenderal, kami setuju. Tetapi, saat diminta untuk mengutuk pemerintahan Sukarno, kami tidak mau,” katanya. Akibatnya, paspor Arka dan sejumlah mahasiswa lainnya dicabut. Mereka pun tak lagi memiliki kewarganegaraan atau stateless.
Perjuangan para eksil bertahan hidup di tengah kerinduan terhadap negara asalnya itu pula yang hendak ditampilkan oleh Lola Amaria. Melalui film ini ia ingin menunjukkan bagaimana para eksil hidup berpindah-pindah dan menetap dalam waktu yang lama di sebuah negara, tetapi masih memiliki harapan kembali ke Indonesia.
Baca juga: Perjalanan ke Barat Mencari Suaka
Puluhan tahun terjebak di luar negeri dan tak bisa pulang ke tanah air membuat para eksil harus bekerja serabutan, bahkan di luar keahlian dan latar keilmuannya, untuk dapat melanjutkan hidup. Seperti dialami Waruno Mahdi, pria yang mengungsi ke Jerman Barat usai meninggalkan Uni Soviet itu sempat bekerja sebagai penjaga malam dan buruh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah sekian lama, ia kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai peneliti.
Tak hanya kehilangan status kewarganegaraan, hidup sebagai eksil juga menyebabkan mereka sulit berkomunikasi dengan keluarga maupun kerabat di Indonesia. Chalik Hamid misalnya, ia pergi ke Albania saat sang istri tengah hamil sebelum peristiwa G30S. Setelah peristiwa kelam itu, istri dan putri Hamid yang masih bayi mendekam di balik jeruji besi, sementara dirinya tak dapat kembali ke tanah air. Bertahun-tahun berlalu, Hamid kemudian mengetahui bahwa sang istri telah menikah lagi dengan kawannya di Indonesia.
“Saya mengerti kondisinya. Mereka hidup dalam keadaan yang sulit […] oleh karena itu saya tidak apa-apa bila ia menikah lagi. Saya justru bersyukur karena kini ada yang melindungi mereka,” kata Hamid.
Hamid dan para eksil lainnya masih memiliki harapan untuk kembali ke tanah air sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, mereka tak berniat menjadi warga negara di tempat mereka kini tinggal. Namun, berpuluh tahun menanti, keinginan itu belum juga terwujud.
“Selama 34 tahun saya hidup tanpa kewarganegaraan. Semula saya sudah mengira ini akan lama, ya paling 10 atau 12 tahun, tetapi saya tidak menyangka akan sampai 32 tahun Soeharto berkuasa. […] Saya memilih untuk tidak berkeluarga di sini karena saya yakin saya bisa pulang ke Indonesia,” ungkap Kuslan Budiman yang kini telah berpulang.
Lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan membawa harapan bagi Kuslan dan kawan-kawannya. Apalagi di masa kepemimpinan Abdurrachman Wahid, yang populer disapa Gus Dur, muncul wacana mencabut Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang berisi pelarangan terkait PKI beserta onderbouw-nya.
Gus Dur memandang diskriminasi terhadap keturunan bekas anggota PKI maupun yang terafiliasi merupakan tindakan melanggar konstitusi, karena semua orang memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Gus Dur juga berniat menuntaskan persoalan eksil. Sayangnya, keinginan itu belum terwujud karena Gus Dur lebih dulu dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden.
Kondisi itu memupuskan harapan para eksil untuk kembali ke tanah air dengan status warga negara Indonesia. Puluhan tahun terkatung-katung di tengah kondisi yang sulit karena tak memiliki kewarganegaraan, sejumlah eksil kemudian memutuskan menjadi warga negara di tempat mereka tinggal. Mereka beralasan keputusan itu diambil untuk keperluan administrasi semata, seperti membuat paspor, sedangkan jiwa dan hatinya masih tetap terikat dengan Indonesia. Oleh karena itu, setelah memiliki paspor banyak di antara eksil yang terbang ke Indonesia untuk bertemu keluarga dan kembali melihat tanah airnya yang telah lama ditinggalkan.
Sayangnya, kepulangan mereka ke Indonesia tak selalu berakhir menyenangkan. Asahan, adik bungsu pemimpin PKI D.N. Aidit misalnya, pria yang menetap di Belanda setelah meninggalkan Uni Soviet itu diminta segera pergi dari Belitung oleh kerabatnya ketika berkunjung ke sana usai lengsernya Soeharto. Kerabatnya khawatir kedatangan Asahan dapat berdampak kepada keluarganya di Belitung.
Selain Asahan, peristiwa tak menyenangkan juga dialami oleh Tom Iljas yang mendapat intimidasi hingga dideportasi tanpa alasan ketika ia berkunjung ke kampung halamannya di Sumatra Barat.
Meski begitu, besarnya rasa cinta para eksil terhadap Indonesia membuat mereka tak henti mencari informasi mengenai kondisi terkini di tanah air. Salah seorang eksil, Sarmadji bahkan mendokumentasikan berbagai informasi dan mengumpulkan banyak arsip dan buku yang berkaitan dengan tokoh-tokoh Indonesia. Pria yang memperoleh beasiswa untuk sekolah pendidikan anak di China pada zaman Orde Lama itu juga menyusun obituari para eksil dan tokoh-tokoh yang ia ketahui. “Kalau kata Pram (Pramoedya Ananta Toer, red.), menyelematkan apa yang bisa diselamatkan,” kata pria yang kini menetap di Amsterdam, Belanda tersebut.
Tokoh-tokoh dalam film dokumenter, yang proses produksinya sejak tahun 2015, ada yang sudah meninggal atau sakit karena usia lanjut, di antaranya adalah Kuslan Budiman, Asahan Aidit, dan Chalik Hamid.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar