Edutainment Kasih Paham Sejarah dengan Reenactment
Kendati sudah eksis sejak Peradaban Romawi, reenactment seiring waktu bertransformasi menjadi sebuah hobi dan sarana edutainment. Beda dari cosplay.
SANG dwiwarna sudah dikibarkan para pemuda dan rakyat jelata lepas pembacaan teks proklamasi. Tetapi belum lama menyesapi alam kemerdekaan, mereka digegerkan oleh kedatangan sebarisan prajurit bersenjata lengkap dengan mengusung bendera “Union Jack”.
Dor! Dor! Dor! Bum! Letusan senjata dan ledakan pun menggema di halaman Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok), Jakarta. Di tengah situasi chaos, pasukan pejuang republik bermodalkan bedil-bedil rampasan serdadu Jepang menjawab tantangan itu. Nyawa mereka pertaruhkan karena tak rela pasukan Inggris sebagai kepanjangan tangan Sekutu itu menyokong kembalinya Belanda yang hendak’ balik menjajah bekas koloninya.
Tetapi peristiwa itu bukan kejadian nyata yang terulang kembali, melainkan satu adegan dalam gelaran sosiodrama “Romansa Negeri” pada 16 Agustus 2023. Agenda Munasprok dalam memperingati HUT RI ke-78 itu dilakoni para reenactor (pereka ulang sejarah) lengkap dengan “impresian” atau seragam disertai atribut dan properti yang otentik sesuai masanya.
Baca juga: Reka Ulang Meluruskan Peristiwa Insiden Bendera di Surabaya
Sosiodrama itu sendiri hanya satu dari aneka kegiatan edutainment yang dihasilkan dari hobi reka ulang sejarah atau historical reenactment jika meminjam lidah orang Inggris. Hobi tersebut jadi cara belajar sejarah yang anti-mainstream karena sifatnya interaktif.
Namun kendati dalam kegiatannya sama-sama memainkan sebuah peran dengan atribut hingga properti lengkap dari ujung kaki sampai ujung kepala, hobi ini punya perbedaan signifikan dengan hobi costume play alias cosplay. Dionisius Chayo Utomo dari Komunitas Reenactor Bangor menguraikan ada empat kata kunci yang jadi pembeda secara signifikan.
Pertama, kegiatannya berupa edutainment atau mengandung nilai yang mendidik dan menghibur. Kedua, visualisasi lewat kegiatan sesi foto, produksi film pendek indie, maupun reka ulang secara live lewat sosiodrama dan teatrikal. Ketiga, semua visualisasi yang ditampilkan bukanlah kejadian fiktif atau dongeng, melainkan peristiwa nyata di masa lalu. Keempat, visualisasi peristiwa nyata itu “kudu” mengikuti sebuah skenario yang didapat dari riset catatan sejarah dengan metode “4W1H” (what, who, where, why, how).
“Empat kata kunci ini yang akan membedakan reenactment dengan kegiatan lain yang menggunakan pakaian dan atribut. Jadi kita harus ‘4W1H’, kita ambil dari catatan sejarah karena kita enggak boleh sembarangan ngarang-ngarang atau interpretasi maunya begini-begitu. Kita harus based on catatan sejarah ,” terang Dion di program “Jejak Dokumentasi Podcast: Serunya Belajar Sejarah lewat Reenactment” di Youtube Historia.id, Jumat (25/8/2023).
Baca juga: Rapat Raksasa Ikada yang Direka Ulang
Kristalisasi Jasmerah lewat Edutainment
Di hadapan puluhan ribu penonton yang menyesaki sebuah amphiteater, Cassius (diperankan David Hemmings) yang mewakili Kaisar Commodus (Joaquin Phoenix), naik ke podium untuk membawakan satu narasi sejarah jelang sebuah pertarungan gladiator. Narasi yang ia gaungkan untuk mendongkrak antusiasme penonton itu tak lain narasi kejayaan Romawi Kuno, yakni Perang Punisia Kedua (218-201 SM) antara legiun Republik Romawi pimpinan Scipio Africanus melawan pasukan barbar Kartago yang dipimpin Hannibal.
“Kita kembali ke masa kuno, untuk membawakan Anda semua sebuah penciptaan ulang kejatuhan kedua Kartago! Di daratan tandus Zama, berdiri dengan tegap pasukan barbarnya Hannibal. Mereka pasukan bayaran yang brutal dari berbagai negeri, tak mengenal ampun, destruktif, dan merupakan pasukan penakluk. Dengan senang hati kaisar Anda mempersembahkan pasukan barbar!” seru Cassius.
Ejekan hadirin yang menggema lantas tertuju pada Maximus (Russell Crowe) dan kawanan gladiator di tengah arena, yang harus bertarung sampai mati sekaligus juga harus memainkan sebuah peran. Cassius kemudian memperkenalkan pasukan lain yang memainkan peran berbeda untuk jadi lawan para gladiator itu.
“Dengan senang hati, saya bawakan untuk Anda semua, Legiun Scipio Africanus!” pekik Cassius yang disusul kedatangan pasukan berzirah keemasan yang menyerbu dengan sejumlah kereta perang.
Baca juga: Brutal dan Primitifnya Sejarah Roma dalam Romulus
Terlepas itu sekadr sebuah potongan adegan dari film Gladiator (2000), itu menggambarkan fakta bahwa reka ulang sejarah sudah eksis seiring kejayaan Peradaban Romawi. Catatan paling awal menyebutkan, historical reenactment sudah dilakoni diktator Gaius Julius Caesar yang berkuasa pada 49-44 SM.
“Sejarah pendahulu reenactment bermula dari masa kuno. Pada tahun 46 SM, Julius Caesar membangun danau buatan di (pusat rezim) Campus Martius dan menggelar adegan sebuah pertempuran yang melibatkan 22 kapal dan 6.000 partisipan,” tulis arkeolog Pfahlbau Museum Unteruhldingen, Prof. Gunter Schöbel, dalam “Experimental Archaeology” yang termaktub dalam buku The Routledge Handbook of Reenactment Studies: Key Terms in the Field.
Hiburan serupa terus bertahan dari zaman ke zaman. Howard Giles dalam A Brief History of Re-enactment mencatat, di Abad Pertengahan (abad 5-15 Masehi) pun reka ulang sejarah peristiwa-peristiwa historis tertentu seringkali ditampilkan para bangsawan Eropa dalam gelaran-gelaran turnamen para ksatria.
“Di Inggris adegan-adegan militer yang meniru dan me-reka ulang menjadi populer di abad ke-17. Bahkan pada 1645 Lord James Dunn menggelar reka ulang di London dan di pusat-pusat parlemen, membawakan adegan Perang Saudara Inggris (1642-1651) ketika konfliknya masih berlangsung,” ungkap Giles.
Baca juga: Kolberg, Film Perang di Tengah Perang
Reenactment bertema peperangan, lanjut Giles, mulai merambah sampai ke Amerika Serikat di abad ke-19. Dalam Reuni Agung 1913 yang dibuat dalam rangka peringatan 50 tahun Pertempuran Gettysburg, sejumlah pertempuran dari masa Perang Saudara Amerika (1861-1865) direka ulang langsung oleh 50 ribu veteran pasukan Konfederasi dan pasukan Serikat.
Reka ulang sejarah sebagai hobi, baik para reenactor-nya bernaung di bawah sebuah komunitas atau secara individu, baru mulai menjamur di Amerika di akhir 1980-an. Di Indonesia, hobi ini mulai marak awal 2000-an. Komunitas-komunitas non-profit di kota-kota besar di Pulau Jawa lahir, mulai dari Indonesian Reenactors (IDR, Jakarta), Roodebrug Soerabaia (Surabaya), Reenactor Ngalam (Malang), Historie van Bandoeng (HvB, Bandung), Djokjakarta 1945, Bogor Historical Community (BHC), Semarang Historical Community (SHC), Front Bekassi, Magelang Kembali, hingga Komunitas Reenactor Bangor (Jabodetabek).
“Kebanyakan di Pulau Jawa ya. Medan ada (Medan Reenactors), Bali juga ada (Bali Reenactors). Di luar Pulau Jawa sebenarnya bukan enggak ada reenactor ya. Event (sosiodrama “Romansa Negeri”) di Jakarta tanggal 16 Agustus itu ada teman ikut dari Kalimantan. Tapi ya memang kebanyakan komunitas yang aktif sebagian di kota-kota besar di Jawa itu. Awalnya tema-tema Perang Dunia II tapi kemudian bermunculan tema-tema perjuangan,” sambung Dion yang aktif di hobi reenactment sejak 2013.
Para anggota komunitas reenacment berasal dari beragam usia dan status, dari pelajar hingga aparat kepolisian. Pada hakikatnya, komunitas-komunitas itu terbuka bagi siapa saja yang peduli dan punya kemauan belajar sejarah.
“Kesukaan kita (terhadap sejarah) beda-beda. Tapi yang membuat kita bisa kumpul dari berbagai macam (kalangan) ini sebenarnya refleksi dari kisah juang kita juga. Di tahun 1945-1949 itu kan juga macam-macam faksi, beda politik dan ideologi. Yang menyatukan ini sejarah juang. Ketika ada event seperti 16 Agustus itu, kita bisa kumpul bareng karena sama-sama suka pada sejarah juang dan kecintaan kita kepada NKRI,” lanjutnya.
Berbeda dari para newbie yang, menurut Dion, kebanyakan baru membawa modal keingintahuan kuat setelah melihat visualisasi para reenactor, para reenactor yang sudah lama menggelutinya dan sampai saat ini tetap mempertahankan hobi tersebut, itu karena di antara mereka punya ikatan sejarah secara personal.
“Jadi mungkin ada yang bapaknya dulu anggota RPKAD (kini Kopassus). Atau kakeknya dulu Tentara Pelajar. Jadi mereka mewarisi nilai-nilai semangat itu dan ketemu komunitas yang relate ke sana. Atau ada yang dulu kakeknya KNIL (Tentara Hindia Belanda). Ada juga yang memang suka dengan sejarah bangunan tua, (atau) dengan sejarah perkeretaapian,” urai Dion.
Namun demi memperluas hobi tersebut, Komunitas Reenactor Bangor mempersilakan para newbie untuk banyak bertanya dan diskusi. Bahkan, meminjamkan segala tetek-bengek seragam dan atribut untuk bisa ikut kegiatan-kegiatannya. Sebab, hobi ini relatif mahal buat mereka yang ingin berimpresi secara totalitas.
“Ini bukan komunitas ketika Anda bergabung, sudah harus punya lengkap (impresian) satu set. Karena mendapatkan pernak-pernik begini mereka mau cari info dari mana? Makanya kita memotivasi dulu untuk menyapa, tanya-tanya, membangun komunikasi dengan teman-teman yang aktif (reenactor-an). Nanti juga pelan-pelan ‘keracunan’ kok, hahahaha…” ujarnya bercanda.
Dengan “keracunan”, para newbie diharapkan bisa lebih antusias untuk memiliki sendiri koleksi atribut-atribut untuk “pentas”. Caranya bebas, bisa dengan membeli koleksi-koleksi reproduksi hingga relic alias asli yang pernah dipakai pelaku di masa lalu dari luar negeri ataupun dalam negeri, atau bahkan bisa bikin sendiri.
Baca juga: Seragam Jerman Nazi Buatan Hugo Boss
Dion sendiri termasuk pelaku reenactment di kategori terakhir. Kendati juga punya koleksi klewang relic yang diperoleh dari sesama reenactor, Dion punya properti yang dibuatnya sendiri berupa dummy replika senapan otomatis Thompson yang dibawanya. Cost-nya jelas lebih murah dibanding dengan membeli versi airsoft gun jenis gas powered maupun elektrik.
“Kita waktu bikin tentu riset, bikin centi per centi, ngukur dimensinya dengan blueprint-blueprint yang ada (di jagat maya). Sedikit edukasi, ini jadinya mainan. Bahannya pakai kayu dan pipa PVC. Bikin satu dummy seperti ini 2-3 minggu cukup kalau enggak intens. Kalau intens, seminggu jadi. Biayanya mungkin sekitar Rp400 ribu,” ujar penyuka fotografi tersebut.
Dummy senapan yang digenggamnya itu tampak sangat otentik dan detail, namun tentu tidak berfungsi sebagaimana airsoft gun yang memang punya fungsi senapan.
“Memang sebaiknya paling ideal reenactor itu, karena ini bentuknya menyerupai senjata api, mekanismenya tidak bergerak. Dummy begini sudah cukup merepresentasikan untuk visualnya, enggak perlu berfungsi. Kalau bentuk dan ukuran makin mirip, ada kepuasan tersendiri. Kalau airsoft gun kan memang fungsinya yang dicari untuk war games,” ujarnya lagi.
Baca juga: Seragam Batik Tempur
Namun, Dion menekankan, hobi reka ulang sejarah bukan sekadar keotentikan berdandan. Ketika sudah gear up atau mengenakan segala atribut lengkap, apa yang divisualkan dengan tujuan edutainment itu harus berdasarkan riset sejarah.
“Ketika kita bertutur tentang sejarah juang bangsa kita, bisa melalui tulisan lewat artikel, majalah, menerbitkan buku. Ini bertutur sejarah secara tulisan. Ada juga bertutur lisan dengan bertemu pelaku sejarah atau veteran. Nah yang kita lakukan di historical reenactment adalah bertutur sejarah secara visual tapi enggak boleh serampangan atau suka-suka interpretasi. Kalau sejarawan pasti harus riset dan observasi juga. Kita sama poinnya. Mau sejarah juang 1945-1949 atau era pergerakan 1908, itu sama base-nya: riset,” jelas Dion.
Riset tersendiri juga jadi modal bagi kegiatan living history yang bisa dibilang next level-nya reka ulang sejarah. Living history atau menampilkan visual “hidup dalam sejarah” lazim dilakoni untuk menggambarkan sejumlah peristiwa atau era yang catatan atau dokumentasi sejarahnya kurang detail. Sekiranya mirip dengan dramatisasi film-film bertema sejarah.
“Era pergerakan (dokumentasi) secara visualnya minim sekali. Beda dengan era Perang Kemerdekaan yang visualnya lebih banyak. Nah ini yang harus kita riset melalui buku-buku bacaan untuk membayangkan, semisal pemuda-pemuda yang mendirikan Boedi Oetomo mau enggak mau kita interpretasi sesuai masanya. Di sinilah kita ‘bermain’, tapi bukan suka-suka. Jadi kalau reenactment harus mengikuti catatan sejarah; nah yang era pergerakan, kita interpretasi. Makanya mungkin lebih pas disebut living history,” tutur Dion.
Baca juga: Tank Gaek di Teatrikal Pertempuran Ambarawa
Baik reenactment maupun living history, keduanya sama-sama hobi positif untuk kehidupan berbangsa sesuai pesan “Jas Merah” Bung Karno. Dengan memahami sejarah, kita akan mengetahui siapa diri kita sebenarnya sehingga tahu ke mana tujuan kita dan bagaimana cara melangkahnya untuk mencapai tujuan itu.
“Hobi ini bisa kita arahkan buat propaganda positif juga untuk bagaimana kita membangun character building anak bangsa dengan mengenalkan sejarah. Karena memang kekhawatiran kita bahwa generasi saat ini lebih kenal artis atau tokoh-tokoh game daripada pahlawan. Kita pingin coba ajak, yuk ingat pesan Sukarno, ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’. Jangan kita tercabut dari akar kita sebagai anak bangsa,” tandas Dion.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar