Dua Legenda Ludruk Indonesia
Cak Gondo Durasim dan Cak Bowo menggunakan ludruk untuk menyebarkan nasionalisme dan semangat revolusi.
Nama Cak Gondo Durasim sudah melegenda di dunia kesenian ludruk. Ia memimpin Ludruk Genteng yang justru lebih terkenal dengan nama Ludruk Gondo Durasim. Ludruk ini melakukan pembaruan terhadap kesenian ludruk dan melakukan pertunjukan-pertunjukan revolusioner selama masa kolonial.
Cak Gondo adalah seniman ludruk kelahiran Jombang, di mana diyakini juga merupakan tempat kelahiran kesenian ludruk itu. James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi, Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia menyebut pada akhir abad ke-20, Cak Gondo telah mengorganisir sebuah rombongan ludruk yang jumlah anggotanya tak terbatas.
Rombongan ludruk ini kemudian memainkan pertunjukan utuh dengan cerita, karakter dan tokoh yang beragam. Mereka juga tidak menggunakan lagi peran dan nama yang sama dalam semua pertunjukan.
Baca juga: Ludruk Marhaen di Kiri Panggung
“Sebuah deskripsi mengenai ludruk yang diterbitkan pada tahun 1930 melaporkan bahwa Durasim baru saja mengorganisir sebuah 'jenis ludruk baru', yang tampil di hadapan kelompok studi nasionalis, Persatuan Bangsa Indonesia atau Perhimpunan Indonesia,” tulis Peacock.
Menurut laporan yang dikutip Peacock, Cak Gondo pernah dianugerahi penghargaan oleh dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, sebagai pelopor dalam memanfaatkan pertunjukan rakyat demi nasionalisme. Ludruk yang dipimpin Cak Gondo telah menjadi media yang membuat ide-ide nasionalisme bisa diterima pikiran rakyat.
Dr. Soetomo juga mensponsori ludruk Cak Gondo tampil di Gedung Nasional Indonesia. Namun, pada 1936, mereka tidak lagi bisa tampil karena dilarang oleh Belanda.
Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, ludruk digunakan untuk menyebarkan propaganda Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Meskipun dalam kontrol Jepang yang ketat, Cak Gondo Durasim justru menciptakan kidungan yang legendaris: “Pegupon omahe doro, melok Nipon tambah soro.” Artinya, “pegupon rumah burung dara, ikut Nipon tambah sengsara.”
“Sebagai akibatnya, menurut satu cerita, dia disiksa oleh tentara Jepang dan kemudian meninggal dunia pada tahun 1944,” sebut Peacock.
Baca juga: Celetuk Dagelan Ludruk
Semangat Cak Gondo Durasim dilanjutkan oleh Wibowo atau Cak Gondo bersama Ludruk Marhaen. Cak Bowo lahir ketika Cak Gondo Durasim tengah jaya memimpin ludruknya.
Menurut obituari di Harian Rakyat, 10 Mei 1964, Cak Bowo adalah anak seorang Digulis. Ia dibesarkan dan banyak belajar perjuangan revolusioner para perintis kemerdekaan di tanah pembuangan.
“Saya belajar melawak dan untuk pertama kali naik panggung, ketika saya masih mengikuti ayah di Digul yang dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda di sana. Waktu itu saya masih berumur 5 sampai 6 tahun dan Moestadjab yang menjadi bintang film itulah yang pertama kali mengajar saya naik ke atas panggung,” kata Cak Bowo seperti dikutip Harian Rakjat.
Setelah Indonesia merdeka, Cak Bowo turut serta dalam perjuangan melawan Belanda di Surabaya. Ia bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan aktif di bagian Penerangan dan Propaganda DPP Pesindo.
Baca juga: Digulis Jadi Artis
Pada 18 Juni 1949, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin. Ludruk asal Surabaya ini sebenarnya telah dibentuk pada 1945 namun sempat tidak aktif pada 1948. Ludruk ini juga merupakan sayap kebudayaan Pesindo. Cak Bowo bergabung dan menjadi ikon Ludruk Marhaen.
Ludruk Marhaen menjadi salah satu ludruk paling terkenal pada masanya. Rombongan ini memulai tradisi baru di dunia ludruk yakni drama tragedi dengan semangat revolusi. Meski demikian, mereka tetap mempertahankan gaya satir yang khas ludruk.
“Nama Bowo dengan Ludruk Marhaen tidak bisa dipisahkan, sudah menjadi satu. Setiap pertunjukan Ludruk Marhaen tanpa Bowo seperti minum kopi tanpa rokoknya,” tulis Harian Rakjat.
Harian Rakjat menyebut nama Cak Bowo kala itu patut disejajarkan dengan Cak Gondo Durasim sebagai pelawak ludruk kenamaan abad ke-20.
Baca juga: Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak
Sementara itu, Ludruk Marhaen sering mendapat undangan pentas di Istana Negara. Sukarno sendiri yang menginginkannya. Pasalnya, Ludruk Marhaen juga kerap mempropagandakan ide-ide politik Sukarno. Ludruk Marhaen juga dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) meski tidak secara resmi menjadi bagian dari partai itu.
Perjalanan panggung Cak Bowo terhenti pada 4 Mei 1964. Ia mengalami kecelakaan bersama rombongannya dengan menumpang bus hadiah presiden ketika menuju Lumajang untuk pementasan. Cak Bowo meninggal dunia dalam kejadian itu sedangkan empat anggota rombongannya luka berat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar