Batik dalam Catatan Thomas Stamford Raffles
Thomas Stamford Raffles disebut sebagai orang Eropa pertama yang menulis tentang batik. Penelitian tentang batik kemudian menarik minat banyak orang Eropa.
HARI Batik Nasional diperingati setiap 2 Oktober. Tanggal ini diambil dari penetapan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan budaya tak benda oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 2 Oktober 2009. Sebelumnya, pada 4 September 2008 batik telah masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia, yang ditetapkan oleh badan PBB bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan itu.
Mengutip laman Kemdikbud, batik dianggap memenuhi tiga dari lima domain berdasarkan Konvensi Internasional Perlindungan Warisan Budaya Takbenda Manusia tahun 2003. Tiga poin itu di antaranya tradisi dan ekspresi lisan, kebiasaan sosial dan adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan, serta kemahiran kerajinan tradisional. Setelah dilakukan pengujian tertutup di Paris pada 11–14 Mei 2009, melalui sidang Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage UNESCO, batik resmi menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia ketiga setelah keris dan wayang.
Keindahan batik turut menarik perhatian Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa (menjabat 1811–1816). Pria kelahiran Jamaika, 6 Juli 1781 itu dikenal memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap keadaan penduduk, adat istiadat, geografi hingga keanekaragaman flora dan fauna di wilayah koloni. Oleh karena itu, selama bertugas di Jawa, ia menulis catatan yang kemudian dibukukan berjudul The History of Java.
Baca juga: Raffles dan Dua Abad The History of Java
Raffles menulis mengenai batik dan menggambarkan proses pembuatannya dengan cukup rinci. Ia menyebut kain batik dibedakan menjadi batik lalur puti atau batik warna putih, batik lalur ireng atau batik warna hitam, dan batik lalur bang atau batik warna merah. Kain yang digunakan untuk membatik umumnya dikanji terlebih dahulu agar pola yang dilukiskan di kain tersebut tidak luntur. Setelah dijemur dan dihaluskan, baru kain itu dapat diberi pola atau dibatik. “Cara membatik menggunakan lilin panas yang cair, ditaruh dalam mangkuk kecil dari tembaga atau perak yang disebut canting,” tulis Raffles.
Tak hanya mencatat proses membatik, Raffles juga menjabarkan alat-alat yang digunakan untuk membatik. Salah satunya canting yang memilik berat satu ons dan memiliki corong kecil sepanjang dua inci, di mana cairan lilinnya mengalir keluar. Tabung kecil ini didekatkan dengan pipa kecil sepanjang lima inci yang dipegang di tangan dan mempunyai bentuk mirip pensil. Alat ini digunakan untuk menggambar pola.
Setelah garis pola terbentuk, bagian kain yang akan dibiarkan tetap putih atau akan diwarnai berbeda harus ditutup dengan cairan lilin dan kain, kemudian dicelup dalam zat pewarna. Proses pencelupan kain dilakukan dua kali untuk memperkuat warna. Lapisan lilin yang tertinggal akan meleleh saat kain direbus dalam air panas dan warnanya tidak berubah. Jika kain tersebut hanya diwarnai satu macam selain putih, maka prosesnya sudah selesai. Namun, bila warna lain hendak ditambahkan, maka bagian yang telah diberi warna akan ditutupi cairan lilin, lalu kain itu dicelup kembali dan direbus dalam air panas seperti proses sebelumnya.
Raffles menulis bahwa untuk memperkuat warna kemerahan atau merah tua pada kain, maka kain direndam dalam minyak selama lima hari, lalu dicuci dengan air panas dan proses pembuatan batik dapat dimulai. “Kain batik biasa membutuhkan waktu 10 hari, sedangkan kain batik yang lebih halus dan lebih rumit polanya dibuat dalam waktu 15–17 hari,” tulisnya.
Biasanya jenis kain sangat kasar yang umum digunakan untuk korden maupun tirai, dibentuk dalam beberapa variasi, dengan diwarnai atau digambari pola kasar pada saat proses tenun dimulai. Gumpalan kain yang tidak ingin diberi warna diikat kuat-kuat agar zat pewarna tidak menembusnya. Setelah diikat dengan kuat, baru kain dicelupkan ke dalam zat pewarna, dan polanya akan terbentuk setelah kain selesai ditenun. Kain jenis ini umumnya disebut geber.
Sementara itu, sejenis kain sutra kasar disebut chindi, diwarnai dengan cara yang sama. Sedangkan proses pewarnaan pada kain kapas disebut jong’grong. Ada beraneka pola yang dapat dibuat di atas kain kapas maupun sutra, terutama pada kain batik yang tidak kurang dari 100 jenis nama. Kain batik yang biasa digunakan oleh raja disebut batik parang rusa, dan batik sawat, yang berbeda dengan jenis batik lain dari keindahan pola dan warnanya.
Baca juga: Denting Alunan Gamelan Raffles
Terkait proses pewarnaan, Raffles menyebut ada beberapa bahan alam yang digunakan untuk menghasilkan warna-warna tertentu. Terung dan batang pohon aren digunakan untuk menciptakan warna biru. Warna hitam dihasilkan dari batang pohon ting’i dan kulit buah mangga. Sementara warna hitam yang tidak terlalu pekat berasal dari batang padi atau merang. Untuk memeroleh warna hijau, pertama harus dibuat warna biru muda, lalu dipekatkan dengan cairan tegrang (sejenis pohon) yang menghasilkan efek hijau. Tegrang sendiri menghasilkan warna kuning, dan warna kuning tersebut dibuat semakin kuat dengan batang nangka dan plem dodol.
Warna kemerahan dan merah darah yang indah serta awet dihasilkan dari akar wongkudu. Prosesnya kain pertama direbus dalam minyak wijen atau kemiri, selanjutnya dibasuh dengan cairan merang yang telah dibakar, lalu dijemur dan direndam dalam cairan akar wongkudu ditambah batang jirak atau buah kepundung. “Untuk menghasilkan warna merah, akar wongkudu disikat dan dicampur air, kemudian direbus hingga airnya tinggal sepertiga bagian yang siap digunakan,” sebut Raffles. “Warna merah mawar atau merah muda dihasilkan dari kasomba kling. Di beberapa daerah pantai, orang Melayu membuat sutra berwarna merah menyala yang indah dari sejenis gumlak tembalu atau embalu, yang tidak dikenal orang Jawa,” tambahnya. Warna-warna yang menghiasi kain batik ini, selain warna biru dan merah darah, biasanya cepat memudar.
Baca juga: Patola, Cikal Bakal Motif Batik Masa Kini
Menurut Fiona Kerlogue dalam Batik: Traces Through Time, catatan Raffles ini merupakan catatan paling awal mengenai proses pembuatan batik yang dipublikasikan di Eropa. “Tak hanya menulis tentang proses pembuatan batik, Raffles juga membahas mengenai peran pakaian dan batik dalam menentukan status sosial seseorang,” tulis Kerlogue.
Raffles menulis bahwa jenis pakaian tertentu ditetapkan untuk setiap pangkat yang berbeda; dan ada beberapa pola batik yang dilarang digunakan kecuali untuk keluarga kerajaan. Menurut Kerlogue, Raffles mungkin merujuk pada maklumat yang dikeluarkan di Surakarta pada 1769 dan diperjelas pada 1784 dan 1790, yang menetapkan beberapa pola batik hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan, di antaranya sawat, parang rusak, rujak senté, serta tumpal. Selain itu, kawung merupakan pola batik lain yang diperuntukkan bagi beberapa kerabat kerajaan.
“Catatan Raffles mengungkapkan dua perspektif yang menjadi kunci cara pandang terhadap pakaian pada saat itu, yang pertama kain dan gaya busana asing dicari dan menunjukkan hubungan dengan dunia di luar Jawa, akan tetapi batik buatan lokal adalah kain yang lebih disukai untuk kain rok tradisional dan dapat mengekspresikan status seseorang dalam masyarakat melalui kualitas dan desainnya,” sebut Kerlogue.
Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda
Seiring berjalannya waktu, batik kian marak digunakan oleh masyarakat. Penelitian mengenai batik juga semakin menarik minat orang Eropa. Menurut Inger McCabe Elliott dalam Batik: Fabled Cloth of Java, setelah Thomas Stamford Raffles disebut sebagai orang Eropa pertama yang menulis tentang batik, lebih dari lima puluh tahun kemudian, E. van Rijckovorsel, seorang Belanda, meneliti tentang batik dan mengumpulkannya hingga kemudian batik-batik tersebut disumbangkan ke Museum Rotterdam.
“Pada 1883, batik ditampilkan dalam sebuah pameran kolonial di Amsterdam, dan lima belas tahun kemudian, sebuah pameran di Den Haag semakin memacu ketertarikan. Pameran ini diberi judul ‘Tenaga Kerja Wanita Kolonial (Koloniale Frauenarbeit)’,” tulis Elliott.
Selain itu, sebuah monograf oleh G.R. Rouffaer dan Dr. H.H. Juynboll muncul pada 1900. Enam tahun kemudian pemerintah kolonial Belanda menugaskan S.M. Pleyte dan J.E. Jasper untuk melakukan studi lebih lanjut tentang seni rakyat, termasuk batik. Keempat orang ini yang kemudian memberikan landasan bagi semua penelitian batik Jawa selanjutnya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar