Patola, Cikal Bakal Motif Batik Masa Kini
Motif batik yang berkembang saat ini sebagian berasal dari motif-motif indah dan mewah dari India. Akulturasi dan domestifikasi membuatnya bertahan dari terjangan zaman.
Penggunaan kain bermotif batik sebagai pakaian, umum dilakukan dalam berbagai kegiatan. Motif batik muncul di berbagai gaya busana seperti blouse, kemeja, celana, atau bahkan hanya dibiarkan menjadi lembaran kain yang dililit-lilit.
Salah satu motif batik yang diminati adalah batik Jlamprang asal Pekalongan. Motif ini mirip dengan motif batik Nitik dari Yogyakarta. Motif-motif seperti itu sudah ada sejak masa Jawa Kuno, dikenal dengan nama Patola.
Dalam Indonesische Siermotieven: Indonesian Ornamental Design, arkeolog Van der Hoop menggambarkan desain Jlamprang sebagai sekumpulan lingkaran yang menyentuh satu sama lain. Di dalam lingkaran-lingkaran itu diisi dengan mawar dan motif lain.
Baca juga: Batik ala Bung Karno
“Motif jlmparang sendiri awalnya berasal dari pola patola, ikat ganda tertentu dari India, disebut pula chhabadi bhat atau pola keranjang,” tulis Sandra Sardjono, peneliti dan kurator seni rupa dan tekstil, dalam dalam tesis berjudul “Depiction of Textiles in Ancient Java (8th-15th century)”, dimuat dalam Proceding Simposium Keraton Yogyakarta, 2020.
Motif patola sempat menjadi idaman para pengantin di India Barat. Cerita tradisional di sana mengatakan bahwa motif tersebut menyimbolkan kesucian, keberuntungan, kebahagiaan, dan kemakmuran.
“Salah satu kontribusi terindah dari pengrajin India untuk seni-kain dunia adalah Patola sebuah simfoni sempurna dari keterampilan penenun India barat,” kata guru besar sejarah asal India Sukla Das dalam Fabric Art: Heritage of India.
Baca juga: Mengenang Batik Kenangan
Motif patola diperkirakan muncul sekitar abad kelima, mengacu pada Prasasti Mandasor oleh Kumaragupta dan Bandhuvarman (473-474 M). Dalam prasasti tersebut digambarkan kebanggaan masyarakat di pantai barat India pada keahlian dan profesi mereka. Para penenun sutra menghiasi seluruh negeri dengan pakaian sutra beraneka warna, enak disentuh, menyenangkan dilihat, dan memiliki kualitas tinggi.
Tidak hanya di India, motif patola juga berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Motif ini tidak hanya tertuang pada kain, namun juga pada pahatan-pahatan candi yang dianggap sebagai rumah para dewa.
“Motif patola di Jawa pertama kali ditemukan pada dinding candi di Kompleks Candi Prambanan yang dibangun sekitar abad ke-9 M,” tulis Siti Maziyah, dosen di Departemen Sejarah Universitas Diponogoro, dalam makalahnya di Proceding Simposium Keraton Yogyakarta, 2020, “Dari Motif ‘Koin’ Dan Paţola Menjadi Kawung Dan Nitik: Akulturasi Kain Impor Menjadi Kain Tradisional Di Keraton Yogyakarta”.
Beberapa arca yang ditemukan dari Kerajaan Singasari pada abad ke-13 menunjukkan adanya motif patola. Arca-arca tersebut antara lain arca Prajnaparamita dan arca Durgamahisasuramardhini. Keduanya adalah sosok dewi dengan kedudukan cukup tinggi. Dewi Prajnaparamita adalah dewi kebijaksanaan transendental dan penuh kedamaian dalam aliran Buddha Mahayana, sedangkan Dewi Durgamahisasuramardhini dikenal dengan dewi cantik dan pemberani pasangan dari Dewa Siwa.
Penggunaan motif patola pada kedua arca tersebut menandakan bahwa motif ini adalah motif mewah yang hanya digunakan oleh kalangan-kalangan atas. Dalam arca Prajnaparamita, motif patola terlihat pada kain bawahan yang digunakan. Sedangkan di arca Dewi Durgamahisasuramardhini, motif tersebut muncul sebagai atasan dan kain bawahan. Dalam arca tersebut Dewi Durgamahisasuramardhini digambarkan menggunakan sejenis baju tanpa lengan dengan panjang se-atas pusar dan menggunakan kain berlapis semata kaki.
Baca juga: Jejak Islam di Batik Besurek
Dalam naskah kesusastraan Jawa, motif patola juga disebut. Setidaknya ada enam naskah, sebagaimana dicatat Siti Maziyah, yakni: Tantri Kamandaka (abad ke-14), Kidung Harsa Wijaya (abad ke-15), Wanban Wideya (abad ke-16), Wanban Wideha (abad ke-16), Korawasmara (abad ke-17), dan Malat (abad ke-18).
Pada abad ke-18, kain motif patola adalah salah satu kain impor mewah yang diminati bangsawan Jawa dan Sumatra namun sulit sulit didapatkan. Oleh sebab itu, beberapa tempat di Jawa mulai memproduksi kain dengan motif tersebut. Namun bila kain motif patola di India dibuat dengan teknik tenun, di Pekalongan dan Yogyakarta kain patola dibuat dengan cara dibatik. Namanya pun berubah, di Pekalongan dikenal dengan batik Jlamprang dengan warna-warna cerah, dan di Yogyakarta dikenal dengan motif batik Nitik, warnanya coklat.
Motif batik yang mirip patola dalam karya batik di Jawa merupakan alkulturasi dari India, Cina, dan tentu Jawa sendiri. Penggunaannya juga sudah tidak lagi dikhususkan untuk kalangan-kalangan atas.
“Akhirnya motif ini menjadi milik diri bangsa Jawa dengan nama motif yang menggunakan istilah lokal Jawa, memberikan makna dan arti filosofi,” tulis Siti Maziyah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar