Awal Mula Barang Plastik di Indonesia
Mudah, murah, dan praktis, alasan orang asyik dengan plastik. Sekarang plastik mengancam kehidupan.
Riset International Pollutant Elimination Network (IPEN), jaringan lembaga swadaya masyarakat internasional untuk lingkungan hidup, menyebutkan telur ayam di dua desa di Jawa Timur berbahaya bagi manusia. Telur itu mengandung dioksin, senyawa hasil pembakaran sampah atau limbah plastik. Demikian rilis IPEN seperti diberitakan bbc.com.
Pemerintah pusat, melalui kementerian terkait, menanggapi serius temuan IPEN. Kementerian Kesehatan membentuk tim untuk menyelidiki kandungan telur ayam di Jawa Timur. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menekankan ulang status darurat sampah plastik di Indonesia. Status ini mendukung langkah pembatasan dan pengurangan barang kebutuhan berbahan plastik.
Selama lebih dari 60 tahun, orang Indonesia mengenal dan menggunakan plastik untuk beragam kebutuhan. Selama itu pula sampah dan limbahnya sulit terurai. Hingga keadaan menjadi gawat seperti sekarang. Lingkungan tercemar dan anak-anak rentan terkena stunting. Bagaimana plastik bisa sedemikian karib dengan orang Indonesia selama lebih dari 60 tahun?
Baca juga: Penting Memahami Stunting
Keberagaman rupa barang kebutuhan berbahan plastik berasal dari penemuan Alexander Parkes, ahli kimia berkebangsaan Inggris, pada 1862. Dia menggunakan serat tanaman hijau (selulosa) untuk membuat bahan dasar beragam barang kebutuhan sehari-hari seperti sisir, gagang pisau, dan kancing. Bahan bernama parkesine. Cirinya transparan, mudah dibentuk ketika panas, dan keras ketika dingin.
Penemuan ini kemudian berkembang pesat. Ahli kimia mencampurkan beragam bahan kimia dengan selulosa untuk menambah kelenturan parkesine. Seiring perubahan bahan dasar, nama parkesine pun tidak dipakai lagi.
Muncul nama-nama seperti rayon, bakelite, fiber66, nilon, akrilik, polyetylene, dan polimer. Penggunaannya merentang ke segala lini kebutuhan manusia dari sikat gigi, penampung air minum, sampai pipa air.
Industri Plastik
Plastik masuk ke Indonesia secara bertahap setelah Perang Dunia II. Ia sebelumnya barang asing. “Pada tahun 1940 perkataan plastik hampir tidak dikenal,” catat Permata, 9 Oktober 1954. Orang Indonesia mulai intim bersentuhan dengan plastik pada 1950-an. Seiring berdirinya pabrik pembuatan barang kebutuhan sehari-hari berbahan plastik. Jumlanya mencapai 12 pabrik di Jawa.
“Sejak tahun 1953 banyak didirikan perusahaan industri plastik ini yang menghasilkan alat-alat rumah tangga, sikat gigi/sisir, kancing, mainan anak-anak. Dan barang-barang klontong lainnya, kesemuanya ini bersifat barang-barang konsumsi untuk keperluan sehari-hari,” ungkap tim penulis 20 Tahun Indonesia Merdeka Djilid IV dalam “Industri Plastik”.
Pabrik-pabrik pembuatan barang plastik di Indonesia mengimpor bahan baku plastik dari Belanda dan Amerika Serikat. Distributornya perusahaan minyak Shell dan Bataafsche Petroleum Maatschappij.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Kelancaran distribusi bahan baku mempercepat produksi barang plastik di Indonesia. Pasar menyerap produksi itu dengan cepat. Orang menyukai barang plastik tersebab bentuknya beragam, bobotnya ringan, warnanya menarik, tahan lama, anti-air, praktis, dan murah.
Contohnya untuk membungkus makanan. Orang tak perlu lagi repot mencari dan merangkai daun pembungkus makanan kering. Tak usah khawatir pula kalau akan membawa makanan berkuah. Plastik pembungkus makanan sudah dirancang untuk memudahkan orang membawa makanan. Sementara daun dan kertas pembungkus seringkali menyulitkan orang jika membawa makanan berkuah.
Permintaan terhadap barang plastik selalu tinggi. Pabrik pun terus mengeluarkan inovasi produk plastik lainnya seturut dengan perkembangan plastik di negeri lain. Misalnya ketika Sten Gustaf Thulin, insinyur asal Swedia, membuat kantong plastik berkapasitas besar untuk membawa barang belanjaan pada 1960-an.
Kebanggaan Terhadap Plastik
Kantong plastik buatan Thulin berbahan polyethylene. Ada pegangan di kedua sisinya sehingga disebut t-shirt bag. Anak sekolah sering menggunakan kantong plastik untuk dua tujuan: terhindar dari basah dan kebanggaan.
“Kala itu memiliki sebuah kantong plastik berfungsi sebagai tas sekolah, untuk melindungi buku-buku pelajaran dari air hujan. Sungguh merupakan suatu kebanggaan,” catat Tim Yayasan Bina Pembangunan dalam Barometer Bisnis Plastik di Indonesia.
Cepatnya pasar menyerap kantong plastik mendorong produsen mengiklankan kantong plastik di media massa. Untuk mengerek angka penjualan, produsen mengajukan "kecap nomor satu" tentang segala keunggulan kantong plastik.
“KANTONG PLASTIK. Alat pembungkus yang praktis, ideal, bersih, kuat, tahan air/udara dan murah. Anda akan puas dan kagum, apabila barang dagangan anda dibungkus dengan: KANTONG PLASTIK.”
Baca juga: Mengkritisi Plastik
Itulah bunyi salah satu iklan kantong plastik di Star Weekly, 8 April 1961. Di mingguan Djaja edisi 13 April 1963, produsen kantong plastik bernama Aurora di Bandung bahkan membuat iklan plastik berupa komik empat panel. Iklan itu mengisahkan seorang lelaki membawa beragam barang di tengah banjir dan hujan. Seluruh pakaiannya kuyup, terendam air setinggi leher.
Selepas melewati banjir, lelaki tadi berhenti sejenak dan memeriksa barang-barangnya. Semua kering. “Huraaa! Berkat plastiflex, semua barang-barangku tak ada yang basah,” kata si tokoh komik plastik itu dengan senyum mengembang.
Kegandrungan orang terhadap barang plastik memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru. Orang tak cukup puas dengan kantong plastik polos, tetapi merasa harus punya pula kantong plastik bergambar atau bertulis tertentu. Karena itulah kursus dan jasa pencetakan kantong plastik ikut tumbuh subur.
Masa gemilang penggunaan plastik ditandai juga oleh pembangunan PT Prakarsa Plastics, pabrik pipa air berbahan plastik pertama di Indonesia, pada awal 1962. “Pipa plastik ini —yang diberi nama pralon— membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi pembangunan kota dan industri kimia,” tulis Djaja, 19 Oktober 1963.
Kesadaran Baru
Berlokasi di Jakarta, Soemarno mengharapkan pabrik pipa air berbahan plastik ini mendukung visinya menjadikan Jakarta sebagai kota industri. Soemarno memandang penting penggunaan pipa air berbahan plastik untuk mendukung suplai air bersih di Jakarta.
Pipa air berbahan plastik tahan dingin dan panas. Ia tak seperti pipa logam yang rentan rusak dihantam cuaca dan korosi. Penggantian pipa logam memerlukan biaya tinggi dan waktu lama. Selama penggantian, suplai air kepada warga akan terganggu.
Baca juga: Kelola Sampah untuk Cegah Musnah
Memasuki 1970-an, penggunaan plastik kian tak terbendung. Perusahaan air minum Aqua mulai memperkenalkan kemasan baru produknya yang berbahan plastik.
“Botol plastik sungguh merupakan revolusi. Bila dulu dengan botol beling pemasaran kami hanya bersifat lokal, kini dengan botol plastik kami bisa menembus wilayah-wilayah yang tadinya tak terjangkau,” kata Tirto Utomo, pendiri Aqua, kepada Bondan Winarno dalam “Pada Mulanya Seorang Kawan Diserang Diare”, termuat di Prisma No. 5, Mei 1987.
Masa 1980-an menandai kesadaran baru tentang penggunaan barang plastik. Ini tak lepas dari semaraknya seminar dan diskusi tentang pengelolaan sampah di kota-kota besar Indonesia. Seringkali pengelolaan sampah plastik masuk menjadi sub-tema pembahasan. Isunya seputar bagaimana mendaur ulang plastik, membakar plastik, dan membuat bahan alternatif plastik agar lebih mudah terurai (degradable).
Baca juga: Pemulung Sampah dalam Sejarah
Ketika seminar dan diskusi itu berlangsung, sampah plastik kepalang memenuhi jalanan, kali, selokan, dan tempat pembuangan sampah. Jutaan ton plastik tertimbun di dalam tanah dan mengambang di lautan selama puluhan tahun.
Konsep pengelolaan sampah plastik hadir lebih lambat daripada penggunaan plastik. Kekariban orang dengan plastik selama ini ternyata menjadi bom waktu. Tapi selalu masih ada waktu dan cara untuk menunda bom itu meledak.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar