Wartawan Jadi Tentara Gurkha Dadakan
Pengalaman Rosihan Anwar yang terkena apes karena kegiatan liputan di masa revolusi
Setelah menempuh perjalanan panjang, Rosihan Anwar dan Soedjatmoko tiba di Yogyakarta. Mereka baru saja selesai meliput Konferensi Malino dari Makassar. Rencananya hasil reportase itu akan disampaikan kepada Presiden Sukarno dan wakilnya Mohammad Hatta.
“Setibanya di Stasiun Tugu, Yogya, saya bergegas ke Hotel Merdeka di Jalan Malioboro, saya jijnjing kopor pakaian dan saya kepit gulungan tikar sembahyang,” tutur Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950. Pada waktu itu Rosihan adalah redaktur yang bernaung di bawah harian Merdeka, media berhaluan nasionalis di masa revolusi.
Menurut Rosihan keadaan di hotel kurang terpelihara karena banyak tamu yang datang silih berganti. Beruntung Rosihan masih mendapat kamar meskipun harus berbagi dengan Charles Tambu, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Inggris Independen. Saat itu, Charles Tambu menghindari kejaran tentara Belanda, mengungsi ke Yogya dan diperbantukan di Kementerian Penerangan.
Baca juga:
Masuk kamar hotel, Rosihan menaruh kopernya di kolong ranjang lalu beranjak mandi. Dia kemudian mempersiapkan diri bertemu Sukarno pada pukul 11.00. Soal protokol tiada masalah. Bung Karno cukup terbuka dan gampang dihubungi. Maklum saja, masih dalam suasana zaman berjuang.
Menjelang pukul 11.00, Rosihan dan Soedjatmoko sudah berada di gedung kepresidenan. Bung Karno dan Bung Hatta menyambut dengan ramah. Mereka menanyakan bagaimana jalannya Konferensi Malino. Soedjatmoko – pemimpin redaksi majalah Het Inzicht terbitan Kementerian Penerangan melaporkan, Konferensi Malino diselenggarakan Hubertus van Mook. Menurut Soedjatmoko, van Mook hendak menyudutkan Republik Indonesia lewat konferensi yang melibatkan orang Indonesia bagian Timur sebagai kaki tangan.
Berita baiknya, tidak semua rakyat Indonesia Timur berpihak kepada Belanda. Malahan dalam Konferensi Malino ada tokoh-tokoh daerah yang mendukung Republik. Hal inilah yang disampaikan Rosihan Anwar. Rosihan menyebutkan delegasi Sulawesi Selatan Tadjuddin Noor adalah seorang Republiken. Begitu pula dengan Raja Suppa Muda, putra Raja Bone Andi Mapanyuki yang diinternir oleh Belanda di Toraja. Raja Suppa Muda bahkan menitipkan dua helai tikar sembahyang dan sarung bugis kepada Rosihan untuk diserahkan kepada Sukarno dan Hatta. Itulah sebagai simbol dukungan rakyat Sulawesi Selatan kepada pemerintah Indonesia.
“Tikar sembahyang, yang saya kepit mulai dari Makassar, saya bawa ke Jakarta, saya taruh di rak kereta api menuju Yogya, sudah sampai di tangan alamatnya,” ujar Rosihan. Di kereta api, Rosihan sempat memakai tikar sembahyang itu sebagai alas tidur.
Baca juga:
Selesai menunaikan tugasnya, Rosihan kembali ke hotel. Alangkah terkejut dirinya menyaksikan koper yang disimpan sudah tidak ada lagi di tempat. Ditanyakan kepada pelayan hotel sia-sia belaka. Kasim Mansur, kawan Rosihan yang juga tinggal di hotel itu ikut mencari namun benda yang dicari tidak ketemu.
“Rupanya bukan saja sekali merdeka, tetap merdeka, tetapi sekali hilang tetap hilang,” demikian Rosihan mengingat peritstiwa apes yang menimpa dirinya.
Semua pakaian Rosihan ada di koper itu. Rosihan pun harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Lagi pula dia tidak punya uang untuk beli pakaian salin. Dengan keadaan demikian, Rosihan pulang ke Jakarta.
Nasib mujur masih menaungi Rosihan. Di Jakarta, Rosihan punya kenalan seorang tentara British Indian Army (BIA) dari unit Gurkha bernama Kapten Nirmal Sen Gupta. Sang perwira Gurkha yang bekerja di stasiun radio Sekutu di Gambir Barat ini mendengar kejadian sial yang dialami Rosihan. Kapten Gupta pun berbaik hati memberikan sepasang pakaian: seragam serdadu Gurkha. Walaupun agak gombrong, apa boleh buat. Tekstil langka dan mahal pada saat itu. Jadilah Rosihan tentara Gurkha dadakan.
Baca juga:
Sejak itu, Rosihan biasa memakai uniform hijau tentara Sekutu. Orang mungkin akan menyangka Rosihan bagian dari tentara Sekutu, padahal dirinya adalah wartawan Republiken di Jakarta.
“Untung, tidak ada yang bertanya mengapa saya berpakaian demikikian,” kenang Rosihan, “Sebab kalau mesti jawab, niscaya kudu mulai dengan kisah sehelai tikar sembahyang.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar