Tentara Gurkha Teriak Merdeka
Sekelumit kisah tentang para prajurit Gurkha yang ditugaskan di barat Jawa.
Lelaki Nepal itu bernama Basin. Dia anggota British India Army (BIA) dari Batalyon 3/3 Gurkha Rifles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago). Tahun 1945, Basin bersama rekan-rekannya ditugaskan untuk mengamankan jalur sepanjang Cianjur-Bandung dari para gerilyawan Indonesia.
Akhir Maret 1946, Yon 3/3 Gurkha Rifles terlibat dalam pertempuran brutal dengan para gerilyawan Indonesia di tebing Ciranjang dekat Sungai Cisokan. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. Lima tentara Gurkha menjadi tawanan perang termasuk Prajurit Basin.
“Mereka kemudian kami amankan di suatu tempat, tetapi kami perlakukan secara manusiawi,” ujar Raden Makmur (93), eks gerilyawan Indonesia asal Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI).
Baca juga:
Sekitar 5 bulan, kelima tentara Gurkha itu menjadi tawanan pihak Republik. Hingga akhirnya, mereka dipertukarkan dengan para gerilyawan Indonesia yang ditahan oleh militer Inggris. Namun ketika akan dikembalikan kepada pasukannya, Basin menolak dan memilih bergabung dengan pihak Republik.
“Dia kemudian menjadi ajudan Wedana Ciranjang hingga perang selesai pada 1950,” ungkap Makmur.
Setelah perang berakhir, Basin kemudian menikah dengan perempuan setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dia lantas menjadi pengrajin bilik (anyaman bambu untuk dinding rumah tradisonal). Di samping menjadi pengrajin, dia pun berlaku sebagai pedagang juga. Hingga tahun 1970-an, Basin dikenal oleh orang-orang Ciranjang sebagai pedagang bilik keliling.
“Menjelang meninggal pada 1990-an, dia sempat menjadi penjaga sekolah di sebuah SD,” ujar Dayat, salah seorang penduduk Ciranjang yang sempat mengenal Basin.
Penawanan para prajurit Gurkha juga pernah dilakukan oleh pasukan TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min. Ceritanya pada 21 November 1945, selarik pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta.
“Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati.
Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek.
Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti.
“Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut
“Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut.
Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung.
Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas.
“Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 92 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu.
Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni.
“Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni.
Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan.
Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Dalam otobiografi Kawilarang Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan K.H) begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka."
Rupanya empat prajurit itu sudah belajar kebiasaan kaum Republik selama dalam tawanan di Cikampek.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar