Arnold Mononutu dan Peci Palsu
Arnold Mononutu, salah satu tokoh yang berjasa dalam Perhimpunan Indonesia, memakai peci palsu untuk menunjukkan identitas Indonesia.
Arnold Mononutu atau yang akrab disapa Oom No punya peran penting dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Penguasaan bahasa Inggris, Belanda, dan Prancisnya membuatnya dipercaya menjadi jembatan komunikasi antar-cabang PI. Mononutu menjabat sebagai wakil ketua ketika PI dipimpin Sukiman.
Menurut Sudiyo dalam buku Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda, Mononutu bersama Ahmad Subardjo gigih mencari nama-nama yang menunjukkan identitas keindonesiaan. Selain nama organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia, nama majalah yang sebelumnya Hindia Poetra juga diubah menjadi Indonesia Merdeka.
“Sebenarnya untuk mengubah nama majalah ini telah dilakukan sejak tahun 1924, namun pada kepemimpinan Sukiman juga diulang lagi dan dinyatakan secara resmi,” tulis Sudiyo.
Di Belanda, Mononutu awalnya masih sering dipanggil Wilson. Pasalnya, menurut Abdul Kadir dalam “In Memoriam Oom No (87 Tahun) Pejuang dari Indonesia Timur” yang termuat dalam Arnold Mononutu, Ayam Jantan dari Indonesia Timur, nama asli Mononutu adalah Arnold Izaac Zacharias Wilson. Sementara Mononutu adalah nama marga kakeknya yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
“Ia tukar namanya Arnoldus Izaac Zacharias degan Arnold Mononutu dan sejak ia kembali ke Indonesia lebih terkenal dengan Oom No hingga sekarang ini. Dan kartu namanya berisi: Arnold Mononutu, Pejuang,” tulis Abdul Kadir.
Baca juga: Sultan Baabullah, Pahlawan Nasional dari Ternate
Penggunaan nama Mononutu terkait pula dengan kesadaran identitas keindonesiaan-nya. Sebelumnya, dia dikenal sebagai mahasiswa parlente yang tidak berminat pada politik, suka dansa-dansi dan hidup berkecukupan. Kawan sejawatnya di Belanda, Sunario yang pernah mengunjungi kediaman Mononutu di Den Haag, menyebut bahwa kamarnya “serba lux untuk seorang student.”
Pertemuan dengan mahasiswa-mahasiswa progresif dalam Indiche Vereeninging ternyata mengubah Mononutu. Jika dulu ia merasa dirinya sama seperti orang Belanda, ia lalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa Indonesia yang tengah berjuang menuju kemerdekaan.
Mononutu ternyata juga tak hanya ikut-ikutan dalam PI. Ia termasuk salah satu orang yang keras prinsipnya. Ketika Noto Suroto, seorang seniman anggota PI, bersikap pro Belanda dan memuji Jenderal Van Heutz, Mononutu bertindak sebagai penuntut umumnya. Noto Surotopun akhirnya dipecat dari PI.
Baca juga: Nasionalisme Peci Sukarno
Gara-gara aktivitasnya di PI, ayah Mononutu bahkan sampai mengirim surat ke Belanda yang mengatakan bahwa Mononutu harus mundur dari PI atau uang kiriman untuknya dihentikan. Padahal, dalam sebulan ia mendapat kiriman f300 yang cukup untuk banyak hal. Namun, ia memilih tetap bergabung dengan PI dan tak peduli pada uang kiriman.
Sunario dalam “Mengenang Saudara Arnold Mononutu (Oom No) dan Cita-citanya” yang termuat dalam Arnold Mononutu, Ayam Jantan dari Indonesia Timur punya cerita menarik tentang Mononutu di Den Haag. Tak lama setelah pengurus PI di Belanda dipilih, mereka hendak mengabadikan dengan potret bersama. Tapi sebelum itu, mereka harus memakai peci yang telah disepakati untuk menunjukan identitas keindonesiaan. Padahal, tidak semua orang punya peci saat itu. Mayoritas yang memiliki peci adalah mereka yang berasal dari Sumatra seperti Mohammad Hatta.
Baca juga: Butuh Uang, Sukarno Lelang Peci
Maka mereka mencari akal. Mereka mancari topi vilt, topi dengan pinggiran melingkar, untuk dikorbankan. Pinggiran topi dipotong sedemikian rupa dan dipakai menggantikan peci. Hasilnya, peci palsu pun tampak seperti sungguhan di dalam potret.
“Oom No yang beragama Kristen Protestan pun memakai pici palsu. Inilah asalnya sampai sekarang pici dipakai di Indonesia sebagai kelengkapan pakaian resmi oleh semua menteri, gubernur, duta besar dan lain-lain, meskipun di antara mereka ada yang beragama Kristen, Hindu, dan lain sebagainya,” tulis Sunario.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar