Alex Kawilarang Diserang Pasukan Lintah
Menjelajahi medan gerilya dengan kaki telanjang, tak takut menghadapi pasukan Belanda. Tapi, lain cerita kalau ketemu binatang melata penghisap darah ini di hutan belantara.
Sejak Desember 1948, Letkol Alex Evert Kawilarang resmi menjabat sebagai komandan Sub Teritorium VII Sumatra Utara. Untuk mencegah friksi di antara sesama komandan brigade, ia membagi teritorialnya ke dalam berbagai sektor. Sektor I/Tapanuli Selatan dipimpin Mayor Bedjo, Sektor II/Tapanuli Utara dipimpin Mayor Liberty Malau, Sektor III/Dairi-Tanah Karo dipimpin Mayor Selamat Ginting, dan Sektor IV/Sibolga dipimpin Kapten O. Sarumpaet.
Menurut ajudannya, Letnan Kontan Pri Bangun, Kawilarang adalah sosok komandan yang sederhana. Semasa perang gerilya, Kawilarang tak pernah mengeluhkan perbekalan yang serba minim: makanan ala kadarnya, pakaian pengganti hanya sepasang, tanpa sepatu, dan ke manapun berjalan kaki. Sudah jadi kebiasaan Kawilarang pula melakukan perjalanan berjarak puluhan kilometer dari satu sektor ke sektor lain di Tapanuli dan Tanah Karo. Markas staf komando teritorium sendiri berbasis di Sibolga.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi
Dalam perjalanan kaki itu ransel Kawilarang berisikan sepasang pakaian, catatan harian, dan barang-barang lainnya yang selalu dipanggul. Bayangkan saja, berjalan kaki selama berhari-hari tanpa memakai sepatu, kaki bakalan lecet dan bengkak.
“Saya mula-mula melihat cara kerja beliau, terutama dalam kesanggupannya berjalan kaki ke mana-mana tanpa memakai sepatu, tapi akhirnya setelah mengetahui caranya itu saya pun biasa juga,” ujar Kontan Bangun dalam biografinya yang disusun Tridah Bangun, Pelopor Industri Kabel Indonesia.
Sekali waktu, Kontan Bangun menyertai Kawilarang dalam perjalanan dari satu kampung ke kampung lain di kawasan gerilya Tapanuli Utara. Mereka harus melalui hutan. Di tengah perjalanan, hujan turun. Seluruh pakaian jadi basah kuyup, tapi kaki terus melangkah tanpa sepatu.
Baca juga: Kisah Taruna Sim, Nas, dan Alex
Tibalah mereka di sebuah sungai yang berbatu-batuan. Kawilarang dan ajudannya rehat sejenak untuk beristirahat di atas batu besar. Rupanya mereka berdua merasa geli-geli di badan, seperti ada sesuatu. Ketika baju dan celana dibuka, puluhan pacat menghinggapi sekujur badan. Bukan main pucatnya muka Kawilarang.
“Biar saya bertempur di medan laga melawan Belanda, daripada berhadapan dengan binatang-binatang pacat ini,” gerutu Kawilarang kepada Kontan Bangun.
Kawilarang yang jago main lempar pisau itu ternyata sangat ngeri terhadap pacat alias lintah. Dan yang ditakutinya itu berpuluh-puluh jumlahnya sedang mengisap darahnya.
Baca juga: Alex Kawilarang Anak Mami
Kendati demikian, Kontan Bangun memuji kepemimpinan komandannya itu yang selalu memberikan teladan. Walaupun Kawilarang berasal dari keluarga elite Manado, lulusan Akademi Militer Belanda, dia dapat menyesuaikan diri di tengah rakyat yang hidup prihatin dalam perang kemerdekaan. Itulah yang terjadi ketika Kawilarang meninjau ke Sektor III (Dairi dan Tanah Karo) yang dipimpin Mayor Selamat Ginting.
Pada 8 Januari 1949, Kawilarang mengadakan inspeksi kilat ke daerah operasi Batalion II dan Sektor III di Karo Utara. Kunjungan Kawilarang ke daerah operasi batalion dan kompi-kompi biasanya tanpa iring-iringan pengawal. Ke mana saja bergerak, ia hanya meminta seorang penunjuk jalan. Selain itu, dia tak pernah merelakan ranselnya dipikul orang lain.
“Kesederhanaan Letkol A.E. Kawilarang menimbulkan kesan yang baik di hati prajurit dan rakyat pada daerah-daerah yang dikunjunginya,” kenang Kontan Bangun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar