Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri
Karawang yang lama dijuluki sebagai lumbung padi Indonesia, berganti wajah jadi kawasan industri pada 1990-an. Membawa perubahan bagi masyarakatnya.
KINI, Karawang dikenal sebagai kawasan industri. Ratusan pabrik beroperasi di sana. Padahal, hingga akhir 1980-an Karawang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat.
“Dulunya adalah masyarakat pertanian, mayoritas penduduknya petani namun berubah,” kata Profesor Aiko Kurosawa dalam diskusi “Historical and Land Use Transformation in Industrial Society” di LIPI, Kamis (15/08/2019).
Bersama antropolog Makoto Iko dan sosiolog Tagayasu Naito, Aiko sejak tahun lalu melakukan studi peralihan kawasan agraris menjadi industri di Desa Sukaluyu, Teluk Jambe, Karawang. Menurut Aiko, di masa kolonial Tegal Jambe termasuk tanah partikelir yang disebut Tegalwaru Landen. Tuan tanah berkuasa di sana baik secara ekonomi maupun administrasi. Para petani penggarap diwajibkan menyerahkan 20 persen hasil panen. Para tuan tanah juga menentukan siapa saja yang boleh berbisnis di wilayahnya.
Baca juga: Membidani Industri Strategis Dalam Negeri
Setelah merdeka, sawah sebagai tanah partikelir dibagikan sebagai hak milik kepada pengggarapnya (petani). Sedangkan tanah kongsi atau tanah yang tidak digarap oleh rakyat, diambilalih pemerintah dan jadi milik Kementerian Perhutanan.
Sawah-sawah yang jadi milik petani itu tetap digarap pemiliknya hingga era Orde Baru. Lantaran arealnya sangat luas, pemerintah menjadikannya kawasan agraris penghasil padi terbanyak Indonesia.
Perhatian besar pada pertanian Karawang dicurahkan untuk mencapai swasembada pangan dengan penanaman bibit unggul, penggunaan pestisida, dan pembangunan saluran irigasi. Usaha ini membuahkan hasil dengan produksi yang melimpah pada 1984, yakni 25,8 juta ton.
Namun, surplus beras ini tak bertahan lama. Soeharto berubah pikiran. Kawasan agraris ini diubah menjadi kawasan industri. Pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri dimulai pada akhir 1980-an. Peran spekulan tanah sebagai calo sangat penting dalam pembebasan tanah petani itu. Sebanyak 538 hektare tanah darat di bagian selatan Desa Sukaluyu milik 87 orang petani dijual dengan harga murah. Aturan resmi, Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Pengembangan Kawasan lndustri, Kabupaten Karawang, baru keluar kemudian.
“Pada 1990-an beberapa kawasan industri muncul di daerah timur Jakarta. Yang paling besar KIIC (Karawang International Industrial City), didirikan oleh Sinar Mas dan perusahaan Jepang Itochu,” kata Tagayasu Naito.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Di samping membangun kawasan industri, dibangun pula perumahan nasional (perumnas) Bumi Teluk Jambe sebagai penunjang di bagian utara Desa Sukaluyu. Inilah pembangunan perumnas pertama di wilayah desa. Pembangunan perumnas seluas 186 hektare itu meliputi tiga desa, yakni Wadas, Sukaluyu, dan Sukaharja. Sepanjang 1994-1995, pemerintah mengalihfungsikan 174 hektare sawah menjadi kawasan perumahan.
Pembangunan perumnas ini dilakukan secara bertahap sejak 1995, namun tersendat karena krisis moneter. Pengembang lalu mengganti taktik dengan mempromosikan perumahan itu pada pegawai pemerintah dan buruh. Dengan menggandeng BTN, pengembang membuat keringanan dan penghapusan bunga selama 5 tahun.
Dengan banyaknya proyek pembangunan, sawah-sawah di Karawang tergusur. Data Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mencatat, laju alih fungsi lahan dalam kurun waktu 1989-2007 mencapai 135,6 hektare per tahun. Pada 1981 terdapat 12,114 hektare sawah di Karawang. Angkanya surut drastis pada tahun 2000, dengan tersisa 2497 hektare.
Sementara data yang dihimpun Aiko menunjukkan penyempitan areal sawah di Desa Sukaluyu pada tiga tahun berturut-turut. Pada 2016 jumlah sawah masih 40 hektare, menyusut 17 hektare (2017), dan tersisa 13 hektare pada 2018. Akibat makin sempitnya persawahan, pengiriman beras ditutup. Warga beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil, buruh pabrik, tukang ojek, atau dan kuli. Hanya 20 orang penduduk Teluk Jambe yang berprofesi sebagai petani.
Baca juga: Saat Petani Mencipta Sejarah
Kesenjangan pun terlihat amat jelas antara penduduk kampung dan perumahan yang menurut Makoto amat jarang bersinggungan. “Sejak membuka kawasan industri pada 1990-an karawang mengalami perubahan sosial yang dinamis,” kata Makoto Iko.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar