Membidani Industri Strategis Dalam Negeri
Dibentuk agar Indonesia mandiri dalam mencipta industri strategis, BPIS mampu menghasilkan produk unggul. Krisis moneter merontokkannya.
SEBAGAI rezim yang menahbiskan diri rezim pembangunan, Orde Baru memulai industrialisasi secara bertahap pada pertengahan 1970-an. Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie menginisiasinya dengan pendirian Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan di Pertamina pada 1974. Dua tahun kemudian, divisi itu berkembang menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN).
Pada tahun yang sama, pemerintah juga mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Berdasarkan perkembangan di bidang industri strategis dan juga kemajuan teknologi pada umumnya, pemerintah pun semakin memikirkan pola manajemen industri strategis yang lebih terintegrasi. Karena itu, mulai awal dasawarsa 1980-an, pemerintah membentuk Tim Pengkajian Industri Hankam (TPIH),” tulis Giri Suseno Hadihardjono, menteri perhubungan di Kabinet Pembangunan VII Soeharto, dalam Bermula dari Nol: Banda Aceh Sampai Los Palos, Perjalanan Pengabdian Seorang Bocah Gunung.
Langkah itu diambil karena pada masa sebelumnya pembinaan dan pengelolaan industri strategis milik negara diserahkan kepada departemen teknis terkait dan berjalan sendiri-sendiri. Kerja TPIH lalu dilanjutkan Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis (TPPIS) pada 1983.
Baca juga: Obituari Habibie: Akhir Hayat Sang Teknokrat
TPPIS mengkaji lebih detil prospek pendirian lembaga integral itu dan langkah yang mesti diambil pemerintah. Berdasarkan kajiannya, lima tahun kemudian TPPIS merekomendasikan pengintegrasian 10 perusahaan plat merah yang berkaitan dengan teknologi maju, alat berat, dan pertahanan. Kesepuluh perusahaan itu, sesuai Keppres No. 59/1989, nantinya bernaung di bawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang dipimpin Menristek Habibie.
“Mengkonsolidasikan ‘industri strategis’ ini di bawah penguasaan Habibie secara resmi diterangkan sebagai jalan untuk membuatnya lebih efisien dan kompetitif di pasar global,” tulis Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” yang menjadi bagian Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi yang dieditori Donald K. Emmerson.
Kesepuluh perusahaan itu adalah IPTN (bidang dirgantara), PT PAL Indonesia (bidang perkapalan), PT Pindad (bidang senjata dan pertahanan), Perum Dahana (bidang bahan peledak), PT Krakatau Steel (bidang industri baja), PT Barata Indonesia (bidang alat berat), PT Boma Bisma Indra (bidang permesinan), PT Industri Kereta Api/INKA (bidang industri perkertaapian), PT Inti (bidang telekomunikasi), dan Lembaga Elektronika Nasional sebagai lembaga kajian elektronika dan komponen.
Menurut Giri, pendirian BPIS bertujuan agar Indonesia kelak bisa mandiri di bidang industri dan teknologi maju. BPIS bertugas mengupayakan percepatan proses alih teknologi dengan jalan progressive manufacture. Visinya, kelak Indonesia mampu mengembangkan produk teknologi untuk kepentingan sipil dan militer secara mandiri.
Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie
“Konsep yang dikembangkan BPIS adalah 20 persen industri militer dan 80 persen industri sipil. Konsep ini dikembangkan pada saat negara tidak sedang dalam kondisi perang. Namun, jika negara sedang dalam kondisi perang, maka konsepnya harus dibalik,” tulis Giri, yang saat itu menjadi wakil kepala BPIS.
Namun, pendirian BPIS justru mendapat pandangan miring dari TNI di awal. Para petinggi di tiga matra menganggap Habibie “mencaplok” beberapa industri yang mereka kelola. Militer juga kurang sreg pada rencana BPIS yang memprioritaskan pengembangan industri dan teknologi untuk kebutuhan sipil.
Habibie bergeming, BPIS tetap jalan dengan konsepnya. Beberapa BUMN di bawah BPIS mampu menunjukkan kapasitasnya dengan produk berkualitas. IPTN dan INKA menjadi yang paling menonjol.
IPTN berhasil mengembangkan pesawat N250 dengan menerapkan advanced turboprop fly by wire, yang merupakan teknologi tercanggih saat itu. Pesawat penumpang berkapasitas 50 orang yang dikembangkan dari rancangan asli IPTN itu ketika diluncurkan pada 1995 menjadi primadona di kelasnya.
Baca juga: Presiden Habibie Suka Motor Gede
IPTN melanjutkan dengan pengembangan pesawat CN235 yang berteknologi sama tapi performa lebih baik. Untuk pengembangan CN235, IPTN bekerjasama dengan CASA Spanyol. Proses pengembangannya telah berjalan sejak awal 1980-an, sebelum IPTN dinaungi BPIS.
Seakan tak mau kalah, INKA juga berinovasi lewat pengembangan kereta api eksekutif berkecepatan tinggi: Argo Bromo JS950. Pada pengembangan pertama, INKA memanfaatkan lokomotif produksi GE Transportation System, Amerika Serikat. Berkecepatan 100 km/jam, Argo Bromo diproyeksikan untuk melayani rute Jakarta-Surabaya dalam waktu sembilan jam.
Argo Bromo dioperasikan pertamakali pada 31 Juli 1995 di Gambir. Keberhasilan KA Argo Bromo kemudian disusul dengan pengoperasian Argo Gede (Jakarta-Bandung), Argo Lawu (Surakarta-Jakarta), Argo Muria (Jakarta-Semarang), dan Argo Wilis (Bandung-Surabaya). Setahun kemudian, INKA dan GE bekerjasama mendirikan pabrik lokomotif GE-Lokindo di Madiun.
Baca juga: Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Meski maju dalam penerapan teknologi dan produksi, secara ekonomis BPIS masih merugi. Hingga 1995, ketika produknya disambut hangat, IPTN malah masuk dalam daftar BUMN di bawah BPIS yang berkinerja buruk. PT PAL dan perusahaan lain yang memanfaatkan teknologi tinggi setali tiga uang. Hanya Krakatau Steel dan PT Inti yang kenerjanya lumayan baik.
Menristek Habibie, yang juga kepala BPPT dan BPIS, beralasan bahwa kerugian itu bukan karena produknya jelek melainkan karena mekanisme pembayaran produknya yang harus tunai. Sementara, para pesaing perusahaan-perusahaan di bawah BPIS bisa menyediakan kredit ekspor.
“Siapa sih dalam dunia penerbangan yang mau membeli pesawat dengan tunai. Begitu juga kapal, kereta api, atau telepon. Siapa yang mau beli tunai?” kata Habibie, dikutip Kompas, 21 Februari 1995.
Toh, kondisi itu tak membuat BPIS mandek berinovasi. Bertepatan dengan terbang perdana N250, 10 November 1995, Presiden Soeharto mengumumkan proyek pengembangan pesawat jet N2130, yang prototipenya dirancang IPTN sendiri.
Namun, krisis moneter yang menerpa Indonesia dua tahun kemudian membuat kesepuluh industri strategis rontok. Pemerintah tak mampu berbuat banyak. Untuk menyelamatkan keuangan negara, presiden menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada awal 1998.
Baca juga: Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF
Salah satu klausul dalam LoI itu mensyaratkan pemerintah menghentikan pendanaan yang disertakan ke dalam BUMN industri strategis dan menambah nilai saham BUMN yang dilepas ke publik. DPR menyetujui klausul ini karena menurut mereka BUMN-BUMN di bawah BPIS sangat kesulitan memperoleh profit. Pemerintah tak bisa menolak.
BPIS pun runtuh. Proyek pesawat N2130 yang telah berjalan dua tahun dan menelan biaya lebih dari 70 juta dollar langsung mandek. “BPIS kemudian benar-benar dibubarkan pada bulan Maret 1998 melalui PP No. 35/1998 mengenai pendirian PT Pakarya Industri, yang sekaligus membubarkan BPIS. PT Pakarya Industri bertindak sebagai holding company yang menaungi 10 BUMNIS yang selama ini dibina, dikelola, dan dikembangkan oleh BPIS,” kenang Giri Suseno dalam otobiografinya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar