Ketika THR Bikin Geger
Protes pegawai negeri kepada pemerintah soal THR. Bahkan tentara sampai melepaskan tembakan.
Dalam beberapa hari terakhir, dan tentu saja juga dalam beberapa hari ke depan, perhatian masyarakat Indonesia tersedot pada suatu jenis pendapatan di luar gaji reguler yang diterima para pekerja di Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri, yaitu THR alias Tunjangan Hari Raya.
Pemerintah telah memastikan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan menerima THR pada H-10 sebelum Lebaran, atau pada awal Mei 2021. Pemerintah juga mewajibkan para pelaku usaha untuk memberikan THR kepada buruhnya tanpa dicicil. Akan ada sanksi bagi yang tidak membayarkan THR. Pro dan kontra pun bermunculan.
Para pengusaha sebenarnya mau menjalankan instruksi pemerintah. Tapi mereka juga meminta pemerintah dan pekerjanya memahami bahwa situasi ekonomi sedang sangat buruk akibat pandemi, sehingga sebaiknya urusan THR diserahkan saja kepada masing-masing perusahaan. Kalangan buruh sendiri meminta agar perusahaan tidak lagi mencicil THR dan mendesak perusahaan menunjukkan laporan keuangannya sebagai bukti bahwa perusahaan terdampak pandemi.
Kontroversi seputar THR bukan baru kali ini saja terjadi. Pro dan kontra terhadap THR bahkan sudah eksis sejak awal kebijakan THR diberlakukan. Suatu kasus yang paling sering dikutip dalam konteks ini adalah tuntutan pembayaran THR dari para buruh yang terjadi di tahun 1952 dan 1953.
Bantuan Sebelum THR
Pada 1951, Presiden Sukarno meresmikan Kabinet Soekiman. Sang Perdana Menteri, Soekiman Wirjosandjojo, yang berafiliasi dengan Partai Masyumi, mengeluarkan kebijakan berupa pemberian THR kepada para pegawai negeri, dan umumnya kini diterima bahwa tahun 1951 ini adalah awal mula dari tradisi THR di Indonesia.
Memang hanya pamong praja alias pegawai negeri yang mendapatkan THR. Alhasil, para buruh yang jumlahnya jauh lebih banyak, mendesak pemerintah untuk memperhatikan mereka pula, dengan membayarkan tunjangan kepada mereka. Untuk memperkuat tuntutannya, para buruh bahkan mengadakan mogok pada Februari 1952. Setahun kemudian, tepatnya pada Maret 1953, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) meminta agar pemerintah menyediakan uang setara satu bulan gaji kotor sebagai THR untuk para buruh.
Sebenarnya, selain kasus tuntutan buruh di atas, respons publik terhadap kebijakan pemberian THR di masa silam jauh lebih kompleks lagi. Ini terutama tampak bila kita menilik sumber primer yang berasal dari periode 1950-an itu, yang dengan gamblang menerangkan berbagai macam riuh ramai soal tunjangan menjelang Lebaran.
Baca juga: THR, Waktu, dan Uang
Ketika Hari Raya akan segera tiba di tahun 1950-an, koran-koran yang terbit di Indonesia tak hanya dipenuhi oleh ucapan selamat Lebaran ataupun saling maaf-memaafkan, tetapi juga oleh kasus-kasus yang mengindikasikan bahwa masyarakat geger akibat soal THR.
Pertama-tama, yang harus dipahami adalah bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk memberikan kebahagiaan dalam bentuk materi kepada masyarakat Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri sebetulnya sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1950, atau kurang setahun setelah kedaulatan Indonesia diakui Belanda, dan sekitar setahun sebelum Perdana Menteri Soekiman menerbitkan aturan tentang THR, yang kini dianggap sebagai awal mula sejarah THR itu.
Pada 1950, Idul Fitri jatuh pada hari Senin tanggal 17 Juli. Dan, pemberian bantuan material dari pemerintah kepada masyarakat di tahun 1950 ini punya makna ganda, yakni memperbaiki kehidupan masyarakat menjelang Lebaran dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang peduli kepada rakyatnya. Tujuan kedua ini jelas merupakan upaya Indonesia untuk membangun citra Indonesia di luar negeri sebagai negara yang dermawan, dan tentu saja, mampu secara ekonomi, serta demokratis dan toleran.
Sebagaimana diketahui, Indonesia, Belanda dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO, Badan Permusyawaratan Federal) mendapatkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB, 23 Agustus 1949–2 November 1949) untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan RI menjadi salah satu negara bagiannya.
Baca juga: Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Presiden RIS adalah Sukarno sementara Acting Presiden atau Walinegara RI adalah Mr. Assaat. RIS mempunyai perwakilan di New York, Amerika Serikat. Di sekitar Hari Raya Idul Fitri tahun 1950, kantor perwakilan RIS ini mengeluarkan sebuah komunike, yang isinya menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia membagikan tekstil kepada lebih kurang 80 juta penduduknya, suatu klaim yang sangat percaya diri bagi sebuah negara yang masih amat muda. Sebagaimana dipublikasikan oleh surat kabar yang terbit di Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, edisi 18 Juli 1950, kantor RIS di New York menyebut hal itu sebagai “peristiwa jang paling menggembirakan dalam merajakan Hari Lebaran sedjak berachirnja peperangan”.
Tidak hanya kaum muslim yang menerima bingkisan bahan pakaian itu, tetapi juga masyarakat Indonesia dari agama lain. Dengan pembagian tekstil itu kantor RIS New York menegaskan bahwa pemerintah RIS “telah memenuhi peraturan dlm UUD negara, jang mendjamin kemerdekaan agama”. Demikianlah laporan Kedaulatan Rakjat dalam berita bertajuk “Aidul Fitri Tahun Ini Lebih Menggembirakan Dari jg Sudah2” itu. Hanya saja, tidak diketahui secara detail bagaimana proses pembagian tekstil tersebut, sejauh mana jangkauannya, serta, yang tak kalah penting, apa dampaknya pada cara orang Indonesia berlebaran.
Yang jelas, tindakan pembagian tekstil tersebut merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah menyenangkan masyarakat Indonesia, baik karena mereka sudah bertahun-tahun menderita akibat peperangan melawan Belanda, dan terutama sekali juga karena mereka akan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bahan pakaian itu ibarat oase bagi keringnya rasa bahagia publik selama tahun-tahun perang.
Persekot Lebaran
Selain pembagian tekstil, di Lebaran tahun 1950 ini muncul pula apa yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal dari THR oleh pemerintah Indonesia. Ini adalah kali pertama pemerintah Indonesia yang merdeka dan berdaulat (dalam hal ini sebagai RIS, yang kemudian, pada 17 Agustus 1950, melebur menjadi NKRI) membayarkan tambahan pendapatan untuk orang-orang yang bekerja di bawah institusinya dalam rangka Hari Raya Idul Fitri. Pada 1950 itu namanya adalah “persekot Lebaran”.
Sementara dalam hal pembagian tekstil pada Lebaran di tahun yang sama pemerintah RIS mengampanyekan ke luar negeri bahwa RIS adalah negara yang dermawan, di sisi lain pembagian persekot Lebaran di dalam negeri rupanya jauh dari kata mudah. Bahkan, urusan persekot Lebaran ini bukan hanya soal uang, tapi bila tidak ditangani dengan baik, bisa berubah menjadi ancaman keamanan dan ketertiban umum.
Koran Republik yang terbit di Jakarta pada Sabtu, 15 Juli 1950, atau dua hari menjelang Lebaran, menurunkan sebuah berita yang walaupun singkat namun bisa membuat pembacanya khawatir. Berita itu bahkan ditaruh di halaman pertama, di bagian tengah, di sisi atas koran tersebut, seperti dengan segera menuntut perhatian dari pembacanya. Judulnya jelas tidak mengenakkan jiwa di hari-hari menjelang Hari Raya: “Tembakan2 di Djakarta Karena Persekot Lebaran Terlambat Dibagi2kan”.
Dilaporkan bahwa pada Jumat malam, 14 Juli 1950, di beberapa bagian Kota Jakarta terdengar suara rentetan tembakan senjata yang diarahkan ke udara. “Tembakan2 tsb”, tulis koresponden Republik, “ternjata dilepaskan oleh orang2 anggota APRIS”. APRIS atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat adalah tentaranya RIS, yang diisi oleh kombinasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Pihak militer segera mencari tahu alasan mengapa terjadi penembakan itu. Setelah sebuah penyelidikan cepat digelar, gubernur militer menyampaikan kepada pers bahwa penyebabnya adalah “sekali lagi ‘tundjangan Lebaran’”. Frasa “sekali lagi” di sini memperlihatkan bahwa kontroversi soal tunjangan atau persekot Lebaran ini sudah pernah terjadi di masa sebelumnya. Hanya saja, belum diketahui persisnya merujuk ke peristiwa yang mana.
Sebenarnya, pemerintah sudah memutuskan bahwa persekot Lebaran itu akan dibagikan, termasuk kepada para anggota APRIS. “Tetapi,” tulis wartawan Republik, “mungkin disebabkan kelambatan bekerdja dari bag. administrasi, maka tundjangan itu belum djuga dapat dibagikan [, dan] mungkin karena hari Lebaran sudah dekat benar maka anggota APRIS tsb. lalu tak sabar dan melepaskan tembakan2 keatas”. Protes terhadap belum turunnya persekot Lebaran dengan cara semacam itu jelas bikin cemas. Oleh sebab itu, para komandan militer segara mengambil tindakan yang dibutuhkan agar persoalan tersebut tidak lagi berlanjut.
Tidak Ada THR
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada Lebaran tahun 1951 Perdana Menteri Soekiman mulai menjalankan kebijakan untuk memberikan THR kepada para pegawai negeri agar mereka lebih sejahtera. Kebijakan ini tentu melegakan para pegawai negeri, apalagi mengingat situasi ekonomi Indonesia yang ambruk akibat peperangan bertahun-tahun. Hanya saja, itu tidak berarti bahwa pemberian THR berjalan dengan mulus di era 1950-an itu. Geger dalam soal THR kembali muncul di pengujung dekade itu.
Pada 1959, Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Kamis, 9 April. Beberapa waktu sebelum Lebaran, para pegawai negeri telah menuntut kepada pemerintah agar membayarkan THR menjelang Hari Raya itu. Tapi, rupanya, keuangan pemerintah sedang sulit, apalagi mengingat pada saat itu sumber daya pemerintah sedang tersedot untuk menangani pemberontakan PRRI/Permesta.
Beberapa hari sebelum Lebaran, diadakanlah pertemuan antara pihak pemerintah, yang diwakili oleh Wakil Perdana Menteri I Hardi, dan Menteri Perburuhan Samjono, dan pihak pegawai negeri, yang diwakili oleh serikat pekerjanya, RKS Pusat. Pertemuan diadakan di Pejambon, Jakarta. Hasil pertemuan ini dipublikasikan dalam sebuah laporan di surat kabar Nasional, 6 April 1959. Judul beritanya tidak menyenangkan bagi para pegawai negeri: “Pegawai Negeri Tidak Terima Tundjangan Hari Raya: Hasil Rundingan Delegasi RKS dan Pemerintah”.
Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Di sana disampaikan pernyataan dari juru bicara delegasi, Subijadina, bahwa pemerintah tidak bisa memenuhi tuntutan pegawai negeri agar memberikan THR. Sebabnya adalah “mengingat keadaan keuangan negara dewasa ini”. Subijadina melanjutkan bahwa “pemerintah menginsafi pentingnja tuntutan tentang tundjangan hari raya itu” namun “dengan sangat menjesal tidak dapat memenuhinja”. Pihak RKS sendiri juga menyesalkan putusan rapat yang mengecewakan itu.
Akan tetapi, pemerintah juga menekankan bahwa meskipun pada Lebaran tahun 1959 itu tak ada THR, pemerintah bukannya diam saja dalam menanggapi kebutuhan Lebaran masyarakatnya. Yang dilakukan pemerintah adalah memperbanyak dan memperluas cakupan dua jenis bantuan lainnya yang tak kalah penting menjelang Lebaran: beras dan bahan pakaian.
Selain kepada pegawai negeri, beras juga rencananya akan dibagikan kepada para buruh. Adapun untuk tekstil, pemerintah berupaya agar sebelum Lebaran, mereka yang berhak telah dapat menerimanya dan memanfaatkannya untuk menyambut Lebaran. Dengan demikian, walau para pegawai negeri di tahun 1959 itu kecewa karena tidak memegang uang tunai pada Hari Raya, setidaknya mereka terbantu dari segi pangan dan sandang, dua elemen kunci yang selalu membuat perayaan Lebaran menjadi lebih meriah, dari dulu hingga kini.
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar