Demi Minyak Hindia
Riwayat De Bataafsche Petroleum Maatschappij, pendahulu Shell, yang sukses mengambil minyak di Hindia Belanda sampai akhir era 1940-an.
TUJUH puluh tahun yang lalu, kilang minyak penting di Sumatra didirikan di masa perjuangan antara Belanda dengan Repubik Indonesia muda. Sebagai industri besar di wilayah jajahan, BPM (De Bataafsche Petroleum Maatschappij) hanya memiliki satu tujuan setelah pendudukan Jepang berakhir: kembali ke masa lalu, ketika minyak Hindia membawa ketenangan dan kesejahteraan. Di tengah segala turbulensi keadaan, BPM melakukan diplomasi cerdas untuk mengamankan kepentingannya. Bendera Belanda tampaknya akan tetap berkibar di Nusantara, BPM tetap tinggal di sini.
Perusahaan tersebut sudah memiliki posisi sebelum perang melanda Hindia. Sekira 1930, BPM telah menguasai 85 persen produksi minyak di Hindia. Kepemilikan terdiri dari enam kilang minyak dan jaringan distribusi yang besar. Instalasi minyak yang paling produktif berada di sekitar Palembang, Sumatra Selatan. Di sana terdapat kilang minyak Plaju yang mengesankan dan terbesar di Asia Tenggara, diperkaya oleh minyak dari ladang di Prabumulih dan Muara Enim. Minyak jadi andalan perekonomian Belanda. Pada 1938, minyak bumi dan produk terkait menyumbang nilai ekspor sebesar 23,6 persen dari total keselurahan, karet menyusul setelahnya sebesar hampir 20 persen.
Namun, semua berubah pada 1942, saat serdadu Jepang memasuki wilayah Hindia. Mereka diperintahkan untuk merebut instalasi minyak secara cepat dan tidak rusak. Minyak berperan vital untuk mesin perang mereka. Jepang sendiri memiliki sedikit, bahkan hampir tidak, pengetahuan atau keahlian di bidang perminyakan. Di tanah mereka sendiri tidak ditemukan ladang minyak. Semasa pendudukan, Jepang memanfaatkan pegawai minyak Belanda dan bumiputra dalam waktu yang lama. Namun, masa ini tidak berlangsung dengan sukses: Jepang tidak begitu bisa merawat mesin, investasi tidak ada, dan tidak ada cara ilmiah yang dilakukan untuk melakukan pengeboran minyak dari ladang.
Baca juga: Sekilas Riwayat Minyak di Sanga-sanga
Selain itu, Jepang juga tidak berhasil menguasai semua instalasi minyak. Pasukan penghancur Belanda merusak sejumlah instalasi –suatu tindakan yang sering mengorbankan nyawa mereka. Kilang minyak Amerika Stanvac di Sungai Gerong, juga dekat Palembang, dihancurkan oleh pasukan Sekutu. Hanya kilang minyak Plaju yang gagal dirusak karena ada barisan tentara Jepang yang lewat. Di Akhir perang, instalasi-instalasi minyak pun dirusak oleh pasukan Jepang. Singkatnya, 1945 adalah tahun suram untuk BPM.
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 secara otomatis mencegah instalasi-instalasi minyak kembali ke tangan Belanda. Terutama karena pemerintah tertinggi komando Inggris mencegah hal tersebut. Daerah koloni jatuh ke tangan militer Inggris setelah Jepang menyerah tanggal 15 Agustus 1945, dan kesadaran tumbuh di kalangan pasukan Inggris bahwa orang Indonesia berjuang untuk urusannya mereka.
Baru setelah Perundingan Hoge Veluwe diselenggarakan pada April 1946, Belanda memiliki peluang untuk melaksanakan pendaratan militer dan mengambil alih sebagian pendudukan Inggris. Sejak saat itu, hampir ratusan ribu tentara Belanda mendarat di Indonesia. Lebih dari setengahnya mendarat di Jawa, pusat politik, sekira 20 ribu pasukan dikirim ke pusat ekonomi, seperti di selatan Sumatra.
Baca juga: Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Kesepakatan
Setelah masa perang berakhir, situasi di sekitar ladang minyak menjadi rumit. Kilang minyak di Plaju dan Sungai Gerong sementara waktu diserahkan oleh pasukan Sekutu di bawah pengawasan Jepang. Tentara Jepang menduduki ladang minyak dan menghentikan produksinya. Semua ladang minyak yang lain di Sumatra Selatan diambil alih oleh pasukan Republik Indonesia. Di tempat itu, para pejuang kemerdekaan mendirikan sendiri perusahaan minyaknya, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri). Inisiatif itu berasal dari Adnan Kapau Gani dan Mohammad Isa, yang ikut ambil bagian dalam pemerintahan Republik muda di Sumatra Selatan.
Kekuatan di balik Permiri adalah J.M. Pattiasina. Dia berpengalaman bekerja sebagai staf teknik sebelum perang dan terlibat dalam pendirian sekolah kilang minyak di Plaju. Selama perang, dia bertanggung jawab untuk mengurusi masalah produksi kilang.
Orang penting di Kerajaan Belanda, Barthold van Hasselt, memandang perkembangan nasionalisme dengan pesimis. Dia mencoba meyakinkan staf militer Inggris dan Belanda bahwa banyak kepentingan di pusat-pusat minyak. Dia berpendapat bahwa pengawasan Jepang harus diganti oleh pasukan Inggris. Namun, Inggris tidak tersedia.
Lalu terjadilah sesuatu yang mengagumkan Gani, sebagai gubernur Sumatra Selatan, mengusulkan kepada BPM untuk mengambil alih kilang minyak secepat mungkin dari penguasaan Jepang. Sebagai imbal baliknya, seluruh buruh yang pada saat itu bekerja di kilang-kilang minyak, dipekerjakan oleh BPM dan dibayar dalam bentuk makanan, tekstil, dan produk-produk rumah tangga. Kesepakatan yang baik yang dicapai melalui dialog damai dan tanpa campur tangan pemerintah Belanda atau tentara. Maka, sejak September 1946 BPM kembali menguasai instalasi minyaknya yang terpenting.
Baca juga: Merawat Ingatan tentang Pangkalan Brandan
Produk
Secara bertahap, Gubernur Jenderal Huib van Mook dan beberapa politikus dari Partai Katolik dan Sosial-Demokrat kabinet koalisi Perdana Menteri Beel yang pada saat itu berkuasa, menaruh perhatian pada masalah minyak di Sumatra Selatan. Agresi militer (aksi polisionil) pertama, suatu operasi militer, yang selanjutnya pada Juli 1947 disebut dengan nama “Operasi Produk”. Tujuan utama agresi tersebut untuk secepat mungkin menduduki wilayah ekonomi penting. Dengan pendirian kembali perusahaan besar dapat berarti ada banyak pekerjaan untuk puluhan ribu orang di daerah yang padat. Dengan cara itu, diharapkan basis penggalangan penting para pejuang kemerdekaan akan jatuh.
Brigade Y Belanda di bawah pimpinan komandan Frits Mollinger mendapat perintah untuk menduduki pusat minyak di sekitar Palembang. Kesatuan itu memahami tujuan dan kontribusi mereka dengan sangat baik, salah satunya adalah Resimen 7 Stoottroepen, yang menjuluki dirinya “batalyon asing”. Dilihat dari segi militer dan ekonomi, invasi mencapai kesuksesan. Pertengahan Agustus 1947, terlihat dengan jelas ada produksi minyak kembali.
Ladang minyak penting di sekitar Jambi, 300 kilometer sebelah utara Palembang, benar-benar terbelakang dan tidak terjangkau untuk pasukan Belanda. Sebelum perang, ladang-ladang tersebut dimiliki oleh Nederlands-Indische Aard-ollie Maatschappij (NIAM) (Perusahaan Minyak Bumi Hindia Belanda), yang sahamnya dibagi rata antara BPM dengan pemerintah Belanda. Orang Indonesia menambang minyak di sini dan mereka memproduksi bahan bakar pesawat terbang.
Agresi militer kedua pada Desember 1948, dinamai “Kraai”, hampir tidak memberikan dampak pada ekstraksi minyak di sekitar Plaju. Mutiara di mahkota BPM berputar cepat. Menurut laporan tahunan Kerajaan Belanda pada 1948, produksi minyak naik hingga empat kali lipat dari sebelum perang, sekitar 9,7 juta barel per hari.
Menariknya, selama aksi militer, kelompok teknisi BPM berperan sebagai gerobak penarik di belakang pasukan Belanda untuk memulai kembali produksi minyak di daerah yang kembali direbut. Hal ini dapat dibandingkan dengan batalion minyak yang didirikan pada 1943 di Australia sebagai bagian dari kekuatan tentara Sekutu dan setelah perang, mereka disibukkan dengan perebutan dan pendudukan ladang minyak di Kalimantan dan Sumatra.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Pertanggungjawaban
Direksi BPM tertarik dan melihat kemungkinan untuk mengendalikan ladang minyak di sekitar Jambi. Dalam laporan rahasia ke perdana menteri, dia menunjukkan bahwa tidak ada pendukung ekspedisi militer ke Jambi, yang bisa menghindarkan kerusakan instalasi minyak. Dari sumber arsip terbukti bahwa BPM membayar US$5.000 ke pasukan penjaga ladang minyak di Jambi untuk mencegah pengrusakan.
BPM sendiri mengambil langkah selanjutnya. Direksi melakukan negosiasi dengan pimpinan Republik, yaitu Isa, Gani, dan Pattiasina, yang kabur ke Jambi karena huru-hara di sekitar Palembang. Hasil dari pembicaraan itu adalah konsesi minyak di sana diperbarui dan jatuh ke tangan BPM. Tindakan perusahaan tersebut menimbulkan reaksi di kalangan pemerintah di Den Haag. Lubbertus Götzen, menteri reformasi tanpa portofolio di Bagian Daerah Jajahan, kemudian memberi tahu ke Perdana Menteri Beel bahwa “BPM tidak terlalu peduli siapa yang memiliki kedaulatan, selama BPM mendapatkan minyak”.
Pada 29 Desember 1948 dan 5 Januari 1949, Korps Speciale Tropen (Korps Pasukan Khusus) melancarkan operasi terjun payung di sekitar ladang minyak sebelah barat laut Jambi, menyerang jantung pertahanan pejuang kemerdekaan Indonesia dan mengakibatkan kerusakan substansial. Yang paling banyak rusak segera diperbaiki dan pertengahan 1949, mulai ada gelombang aliran minyak mentah dari ladang melalui pipa-pipa ke kilang di Plaju, meskipun jumlahnya sekitar setengah dari kapasitas sebelum perang.
Dengan adanya penyerahan kedaulatan ke Indonesia 27 Desember 1949, BPM tidak berhasil menyelesaikan urusannya di situasi sebelum perang. Hal itu terlihat dari saldo yang mereka buat dan laporkan. Plaju memang benar diselamatkan, namun Jambi setengahnya lepas dan ladang-ladang lainnya juga seluruh instalasinya. Walaupun demikian, produksi minyak setelah perang meningkat tiga kali lipat dari masa sebelum perang.
Apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka pada 1950 adalah cerita lain. Namun, pada 1958, ketika sentimen negatif Indonesia terhadap Belanda masih merebak, BPM dicap sebagai “onmisbaar bedrijf” (perusahaan yang dibutuhkan) dan tidak dinasionalisasi oleh Indonesia. Hal ini suatu pengecualian, karena 700 perusahaan Belanda lainnya dinasionalisasi. Baru di awal 1966, Kerajaan Belanda dan Shell (pengganti BPM) menjual segala hak di riset dan penambangan minyak seharga US$100 juta ke perusahaan Indonesia, Pertamina. Sekali lagi, sebuah kesepakatan yang menguntungkan Belanda.*
Majalah Historia No. 32 Tahun III 2016
Penulis adalah Sejarawan. Artikel ini dimuat pertama kali dalam bahasa Belanda di majalah Elseviers, 26 Maret 2016. Terjemahan naskah oleh Jajang Nurjaman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar