16 Desember 1931: Kolonisasi Ekonomi di Tanah Gayo
Klub Patriotik dan Serikat Pengusaha Perkebunan melakukan kolonisasi ekonomi di Gayo, Aceh sebagai bentuk protes terhadap kebijakan politik etis.
Meski kedatangan Belanda di tanah Gayo, Aceh telah berlangsung sejak awal abad ke-20, namun upaya kolonisasi oleh orang-orang Eropa baru kembali dilakukan pada dekade 1930-an. Pada 1931, Departemen Vaderlandsche Club (VC) Jawa Barat memutuskan untuk melakukan kolonisasi ekonomi di Gayo. Upaya tersebut merupakan inisiatif dari Presiden VC Dr. W.L. Wolff bersama Serikat Pengusaha Perkebunan Hindia Belanda.
VC atau Klub Patriotik merupakan organisasi politik ultra-reaksioner orang-orang Belanda yang berdiri pada 1929 dan mayoritas anggotanya mendukung pemerintah kolonial. Pendirian VC sebagai bentuk protes terhadap ethisch beleid (kebijakan politik etis) Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff.
Di sisi lain, kalangan nasionalis Indonesia menilai De Graeff merupakan Gubernur Jenderal yang toleran terhadap pergerakan nasional dengan segala tuntutan yang digaungkan.
Baca juga: 19 November 1846: Mula Tambang Batu Bara
VC menganggap kondisi toleran tersebut membahayakan Belanda. Oleh karena itu, VC melakukan berbagai upaya untuk melemahkan dan menjegal tuntutan kaum pergerakan nasional. Salah satunya dengan menginisiasi kolonisasi di bidang ekonomi.
Guna meyakinkan pemerintah kolonial akan rencana kolonisasi ekonomi tersebut, VC terlebih dahulu melakukan penelitian dan penyelidikan. Dewan Departemen VC Jawa Barat bersama Dewan Pusat Serikat Pengusaha Perkebunan telah mengajukan izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki rencana kolonisasi oleh orang-orang Eropa di Gayo.
Dari hasil penelitian dan penyelidikan, Departemen VC Jawa Barat dan Serikat Pengusaha Perkebunan menetapkan lokasi kolonisasi berada di ketinggian antara 900 hingga 1.500 meter.
Surat kabar Algemeen Handelsblad, 25 November 1931, lebih dulu melaporkan kondisi lokasi kolonisasi. Didominasi oleh dataran tinggi pegunungan yang tertutup padang rumput savana dan pepohonan dengan iklim wilayah yang cenderung agak kering, dianggap cocok dan mudah untuk membuka perkebunan. Adapun tanaman yang umumnya ditanam di wilayah Gayo ialah kopi.
Rencana kolonisasi kembali muncul setelah sejumlah surat kabar lainnya mengabarkan. Pada 16 Desember 1931, Sinar Deli mewartakan informasi lanjutan.
"Di dalam surat yang ditujukan pada gubernur Aceh ada dikatakan bahwa dengan mengingat letaknya daerah yang diingini maksud kolonis-kolonis Eropa tersebut akan melakukan pekerjaan tani buat mencukupi kepentingan diri sendiri dan kemudian baru akan dapat mengeluarkan hasil buat dijual di pasar dunia,” tulis Sinar Deli
Surat kabar lainnya, Algemeen Handelsblad, 16 Desember 1931, menulis tentang kolonisasi pertanian di Gayo. Penentuan Gayo sebagai wilayah kolonisasi didukung oleh ketersediaan akses ke arah barat laut yang menghubungkan dengan Peusangan dan lebih jauh yang menuju ke wilayah Deli.
Orang-orang Belanda menganggap upaya kolonisasi di Gayo sebagai langkah terbukanya lapangan pekerjaan bagi pribumi. Namun, hal ini masih menjadi persoalan sebab para pekerja yang dipekerjakan apakah pribumi setempat atau imigran yang didatangkan Belanda dari Jawa.
Di satu sisi, penggunaan pribumi setempat sebagai pekerja dinilai lebih efektif dibandingkan dengan migrasi penduduk dari wilayah Jawa. Hal ini lantaran tidak akan mengeluarkan modal besar daripada mendatangkan pekerja asal Jawa.
Namun, sebagaimana tertulis dalam Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo, pada 1931 Belanda memilih menggunakan para pekerja dari Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan. Tak semua ditugaskan sebagai buruh, ada pula yang ditempatkan sebagai mandor maupun pengawas perkebunan.
Bukti-bukti sejarah Belanda telah mengembangkan kopi di Gayo hingga kini masih terasa. Salah satunya pabrik pengeringan kopi di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Terlihat pula para jejak pekerja yang didatangkan dari Jawa yang hingga saat ini masih bermukim di Dataran Tinggi Gayo dan berasimilasi dengan suku Gayo.
Hingga kini, kopi Gayo telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Gayo, bahkan menjadi sentra kopi berkualitas ekspor di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar