8 Desember 1861: Manisnya Riwayat Pabrik Gula Tjolomadoe
Pajak tak mampu menopang kas Mangkunegaran. PG Tjolomadoe hadir dengan harapan menggunung dan menjadi sumber pendapatan.
Mangkunegaran memiliki sumber pundi-pundi kekayaan untuk menopang perekonomiannya. Itu berkat keberadaan Suiker Fabriek Tjolomadoe atau Pabrik Gula (PG) Tjolomadoe, yang didirikan pada 8 Desember 1861. Memiliki arti “gunung madu”, PG Tjolomadoe terletak di Desa Malangjiwan, Kecamatan Tjolomadoe, Kabupaten Karanganyar.
Pendirian PG Tjolomadoe diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara IV, adipati keempat Mangkunegaran yang memerintah tahun 1853-1881. Ide ini muncul setelah Mangkunegara IV melihat kenyataan banyak tanah lungguh (apanage), yang diberikan kepada anggota keluarga hingga pegawai kerajaan sebagai pengganti gaji, disewakan kepada para pengusaha perkebunan Eropa. Maka, ia berencana memanfaatkan tanah-tanah itu untuk industri perkebunan yang memberikan keuntungan bagi Praja dan rakyat Mangkunegaran.
Baca juga:
Mangkunegara IV kemudian memutuskan untuk tak memperpanjang kontrak sewa tanah tersebut. Rencana itu mendapat protes keras dari penyewa tanah. Namun, Mangkunegaran bersikeras dengan rencananya. Selain itu Mangkunegaran menarik tanah-tanah lungguh dengan memberikan ganti rugi berupa tunjangan dalam bentuk uang. Langkah ini mendapat tanggapan positif dari Residen Surakarta Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen.
Selain untuk penanaman kopi, tanah lungguh yang telah diambil digunakan untuk mengembangkan industri gula. Dataran rendah Malangjiwan dan Karang Anyar (keduanya kini masuk ke dalam Kabupaten Karanganyar) dipilih sebagai lokasi perkebunan dan pabrik gula.
Keinginan mengembangkan industri gula bermula dari lawatan Mangkunegara IV ke putra menantunya yang menjabat adipati di Demak. Ia mendapati pohon tebu tumbuh dengan baik di sana dengan kondisi lahan yang sama dengan Malangjiwan. Untuk merealisasikannya, ia mengangkat Raden Ranaastra, seorang priyayi Demak yang memiliki pengalaman dalam pengembangan tanaman tebu, sebagai wedana di Malangjiwan.
Baca juga:
Gagasan Mangkunegara IV mendapat sambutan baik dari C.H. Manuel, pemilik perkebunan indigo (nila) di Baron (kini, sebuah kecamatan di Kabupaten Ngajuk) yang merupakan sahabat dekat Mangkunegara IV. Ia menyarankan untuk mengembangkan tanaman tebu dan mengalihkan usaha penduduk Malangjiwan dari produsen gula jawa ke produsen gula pasir di bawah pengelolaan Praja Mangkunegaran.
Ide mendirikan pabrik gula kemudian disampaikan Mangkunegara IV kepada Residen Nieuwenhuijzen. Setelah izin diperoleh, Mangkunegara IV menunjuk R. Kamp, ahli tanaman tebu asal Jerman, untuk meneliti tanah di Desa Krambilan, Distrik Malangjiwan, sebagai lokasi perkebunan tebu. R. Kamp pula yang ditunjuknya untuk membangun pabrik gula. Biaya pembangunan pabrik mencapai f400.000. Sebagian besar modalnya diperoleh dari pinjaman dari keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran dan Be Biauw Tjwan, seorang mayor Cina di Semarang yang juga teman dekat Mangkunegara IV.
Menurut Peter Post bersama May Ling Thio dalam The Kwee Family of Ciledug, hubungan antara keluarga Be dan keraton Surakarta memiliki sejarah panjang dan dapat ditelusuri hingga akhir 1850-an. Di Surakarta, elit Tionghoa Peranakan selalu menjalin hubungan dekat dengan Susuhunan dan Mangkunegara. Mereka berperan sebagai pemungut pajak, rentenir, makelar beras dan gula, serta pedagang.
Baca juga:
Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, Be Biauw Tjoan dan saudaranya, Be Ik Sam, kapten Bagelen, mulai menjalin kemitraan bisnis dengan penguasa Jawa itu untuk membangun perkebunan kopi dan gula modern.
"Mangkunegara IV adalah satu-satunya raja Jawa yang memiliki pabrik gula modern. Tapi lebih penting lagi ia memelopori pengenalan peralatan triple effect di pabrik gula Tjolomadoe pada awal 1860-an,” catat Peter Post
Peralatan triple effect, lanjut Peter Post, dianggap sebagai “sine qua non industri gula Jawa modern” dan penguasa Mangkunegaran adalah orang pertama di koloni Belanda yang memasang peralatan itu di pabriknya. Namun, itu tidak murah. Kendati Mangkunegara IV adalah orang yang sangat kaya, dia butuh modal tambahan untuk membiayai seluruh usahanya. Rupanya dia menemukan Be Biauw Tjoan yang mau berinvestasi untuk memperoleh peralatan triple effect tersebut.
PG Tjolomadoe mulai beroperasi pada 1862. R. Kamp ditunjuk sebagai administrator yang memegang kendali perusahaan sehari-hari selama delapan tahun. Setelah itu digantikan anaknya, G. Smith.
Selain memenuhi kebutuhan lokal, produksi PG Tjolomadoe diekspor ke Singapura dan Bandanaira. Keberadaan pabrik gula ini memberikan penghasilan kepada Praja Mangkunegaran yang sebelumnya mengandalkan pajak tanah. Keuntungannya digunakan untuk membayar gaji pegawai dan bangsawan, operasional Praja, serta menebus tanah lungguh. Keberhasilan ini mendorong Mangkunegara IV untuk mendirikan pabrik gula kedua, yakni PG Tasikmadu.
Menurut Wasino, dosen sejarah Universitas Negeri Semarang, dalam “Mangkunegara IV, Raja-Pengusaha, Pendiri Industri Gula Mangkunegaran (1861-1881)”, dimuat jurnal Humaniora, Februari 2005, industri gula Mangkunegaran semula merupakan perusahaan pribadi Mangkunegaran IV. Namun, menjelang wafatnya, industri gula itu diwariskan kepada Praja Mangkunegaran sebagai perusahaan praja.
Baca juga:
Setelah mengalami masa-masa kejayaan, produksi PG Tjolomadoe mulai menurun. Setelah Indonesia merdeka, bersamaan dengan penghapusan pemerintahan Swapradja Mangkunegaran, aset PG Tjolomadoe diambil-alih oleh pemerintah. Namun, PG Tjolomadoe terus mengalami kemunduran.
Pada 1997, lantaran sulit memenuhi kebutuhan tebu sebagai bahan baku, PG Tjolomadoe tutup. Bekas PG Tjolomadoe kemudian direvitalisasi dan difungsikan sebagai culture center, convention, dan commercial area dengan tetap mempertahankan kekayaan historical-nya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar