Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran
Lewat kebijakan ekonomi Mangkunegara IV, Mangkunegaran memelopori perekonomian modern dalam sebuah kerajaan tradisional
BISING kendaraan seolah lenyap begitu memasuki Mangkunegaran. Luasnya kompleks keraton seolah membuat suara kendaraan-kendaraan tak mampu memasukinya. Sebagai gantinya, yang terdengar hanya suara desis angin, kicau burung, dan tawa riang anak-anak yang berlarian.
Siang 18 Maret 2019 itu, Mangkunegaran tak ramai. Selain serombongan turis asing, hanya ada satu-dua keluarga dan beberapa mahasiswa yang berkunjung. “Kalau musim liburan, dari berbagai kota itu banyak ke sini. Satu sekolah kadang-kadang 10 bus, 15 bus. Ya dari berbagai kota,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia.
Para turis itu terlihat kagum terhadap bangunan maupun benda-benda antik koleksi Museum Puro Mangkunegaran. Mayoritas kondisinya masih terawat baik. “Ada kewajiban turun-temurun untuk memelihara. Memelihara biar generasi berikutnya tidak kehilangan sumber, kehilangan arah. Nah itu diupayakan tetap terpelihara,” sambungnya.
Modernisasi Ekonomi
Kesadaran para penguasanya memelihara warisan leluhur berperan penting dalam memajukan Mangkunegaran. Dipadukan dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari luar, kesadaran itu membuat Mangkunegaran memulai banyak hal baru di zaman banyak kerajaan di Nusantara belum mengenalnya.
Di bidang ekonomi, Mangkunegaran mempelopori penggunaan sistem perekonomian modern. Hal itu dimulai oleh Mangkunegara IV. “Untuk menopang keuangan praja, ia tidak hanya mengandalkan pajak secara tradisional sebagaimana yang umumnya berlaku di kerajaan Jawa, tetapi mengembangkan perusahaan-perusahaan perkebunan dan industri pengelolaannya untuk menopang perekonomian praja,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944.
Untuk itu, langkah pertama yang diambilnya setelah naik takhta adalah langsung mengambil kembali tanah-tanah apanage (tanah lungguh). Sebagian besar tanah apanage itu telah disewakan pemegangnya kepada para pengusaha swasta Eropa.
“Penarikan tanah dimulai dari kalangan keluarga raja yang berlangsung dari tahun 1862-1871. Setelah itu baru dilanjutkan dengan para patuh lainnya, termasuk para anggota Legiun Mangkunegaran. Tindakan ini mendapat dukungan dari residen Nieuwenhuizen. Pada tahun 1871, tanah lungguh yang telah ditarik mencapai luas 121,25 jung atau 485 bau yang berasal dari lungguh yang diberikan kepada delapan putra Mangkunegara II, dua putra Mangkunegara III, tiga putra Mangkunegara IV, dan seorang saudara dari Mangkunegara IV,” tulis Wasino dalam buku lainnya, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran.
Baca juga: Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit
Para pemegang tanah apanage kemudian digaji dengan uang setiap bulan, bukan lagi menerima bayaran dari hasil pengusahaan tanah itu. “Perubahan dari sistem gaji tanah apanage menjadi uang merupakan suatu loncatan yang luar biasa dari sebuah praja tradisional di Jawa,” tulis Wasino dalam buku lainnya,
Selain digaji, para pemegang apanage yang tanahnya ditarik juga mendapat ganti rugi yang jumlahnya berbeda-beda tergantung luas dan kualitas tanah. Setiap jung diganti f120 per tahun. Mereka juga mendapatkan pembagian keuntungan bila bekas tanah mereka menguntungkan setelah diusahakan.
Selain mengambil kembali apanage yang dipegang kalangan keluarga, tulis Vincent JH Houben dalam Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, “Mangkunegara IV mencoba mendapatkan kembali kekuasaan atas tanah-tanah yang telah disewakan kepada orang-orang Eropa. Dua kali usaha yang dilakukanya untuk itu, pada tahun 1856 dan 1877, gagal.”
Tanah-tanah yang telah kembali itu oleh Mangkunegara IV lalu digunakan untuk pertanian dan perkebunan secara modern seperti yang dilakukan pemerintah kolonial atau perusahaan swasta Eropa. Selain perkebunan kopi dan tebu yang jadi andalan, tanah-tanah itu digunakan untuk penanaman padi boga, kina, kapas, tembakau, dan lain sebagainya.
Baca juga: Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran
Mangkunegaran juga mendirikan pabrik gula modern, yakni Colomadu (1861) dan Tasikmadu (1871). Memakan biaya sebesar 400 ribu gulden, pendirian PG Colomadu dilakukan setelah ada pinjaman dana dari pemerintah dan Mayor China di Semarang Be Bin Coan. Untuk mendukung perniagaan itu, Mangkunegara IV memprakarsai pembangunan Stasiun keretaapi Balapan sebagai bagian dari jalur keretaapi Solo-Semarang.
Besarnya modal yang dikeluarkan Mangkunegaran sebanding dengan hasil yang didapatkan darinya. “Perusahaan perkebunan kopi serta perkebunan tebu dan pabrik gula yang paling besar sumbangannya bagi pendapatan Praja Mangkunegaran. Pada kurun waktu 1871-1881, Praja Mangkunegaran menerima laba dari hasil penjualan kopinya sebesar f13.873.149, atau f1.261.195, suatu jumlah penerimaan yang cukup besar bagi sebuah kerajaan tradisional,” tulis Wasino. Ketika mangkat, Mangkunegara IV mewariskan kekayaan sebesar 25 juta gulden.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar