Masuk Daftar
My Getplus

Skandal PSPB

Sebuah polemik yang dipicu mata pelajaran indoktrinatif bernama PSPB.

Oleh: M.F. Mukthi | 31 Des 2018
Buku PSPB untuk SD (MF. Mukthi/Historia).

KETIKA menghadiri rapat koordinasi penanggulangan atau pencegahan bahaya komunisme yang diselenggarakan Musyawarah Pimpinan Kecamatan Parengan, Tuban pada 19 Mei 2016, Ketua PGRI Kecamatan Parengan Drs. Karsono mengusulkan dua mata pelajaran yang telah dihilangkan dari bangku sekolah agar diajarkan kembali. Dua mata pelajaran itu adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).

“Perlu dihidupkan kembali pelajaran tersebut (PMP/PSPB), agar para siswa mengetahui kalau ajaran komunis itu berbahaya, karena telah melakukan pemberontakan kepada negara,” ujar Karsono sebagaimana diberitakan tubankab.go.id.

PSPB merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas semasa Orde Baru. Mata pelajaran tersebut dibuat Mendikbud Nugroho Notosusanto untuk merespon kemauan Presiden Soeharto menularkan nilai-nilai 45 kepada generasi muda, dan diberlakukan sebagai mata pelajaran lewat Kurikulum 1984.

Advertising
Advertising

Baca juga: Problem historiografi Indonesia

Presiden tidak puas terhadap pengajaran sejarah dalam Kurikulum 1975. "Ruang lingkup dan materi pengajaran sejarah Indonesia dalam Kurikulum 1975 dikritik oleh Presiden Soeharto karena tidak dapat menanamkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Ia menggagas perlunya menjadikan pendidikan sejarah di sekolah sebagai alat untuk mewariskan semangat dan nilai-nilai perjuangan bangsa yang tumbuh dan berkembang selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949," tulis Abdul Syukur dalam disertasinya, "Pengajaran Sejarah Indonesia Kurikulum 1964-2004: Sebuah Stabilitas yang Dinamis".

Upaya Nugroho mengakomodasi keinginan presiden berhasil setelah PSPB dimasukkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) lewat TAP MPR RI No. II/MPR/1983. Sebagai satu-satunya mata pelajaran yang dimasukkan GBHN, PSPB kerap menimbulkan kontroversi. Fuad Hassan bahkan sampai dibuat pusing olehnya ketika baru diangkat menjadi mendikbud.

Skandal

Kontroversi PSPB muncul sejak mata pelajaran itu belum resmi “masuk” ke sekolah, yakni saat pengajaran PSPB untuk SMP dan SMA masih menggunakan buku sementara Sejarah Nasional Indonesia karangan tim yang diketuai Mendikbud Nugroho. Kontroversi itu bermula dari tuduhan miring terhadap Presiden Sukarno di buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP Jilid III.

Alinea kedua halaman 154 buku itu berbunyi, “Dalam pada itu Presiden Soekarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dollar atas nama Presiden.”

Bukan hanya keluarga Sukarno yang berang terhadap isi buku tersebut, masyarakat, terutama sejarawan dan para akademisi,  bahkan memprotesnya. Kritik terhadap PSPB muncul pertamakali di Seminar Sejarah Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), September 1985. Di sesi tanggal 9 September, sekretaris Lembaga Penelitian Sejarah Nasional (LPSN) Untag Drs Ruben Nalenan memprotes tuduhan miring terhadap Presiden Sukarno di buku tersebut.

Baca juga: Setengah abad historiografi G30S dan dolusi kasus genosida 1965

Selain memprotes isi buku, LPSN menuntut para penulis buku untuk membuktikan pernyataannya bila tak ingin dicap sebagai pemitnah. Protes LPSN membuat geger karena diberitakan Sinar Harapan keesokan harinya dengan judul “PSPB Produk Nugroho Almarhum Jatuhkan Nama Soekarno-Hatta”.

Masyarakat terbelah antara yang pro dan kontra. Masyarakat pro pemerintah mencap LPSN pengecut. Mereka mempertanyakan mengapa LPSN baru mengeluarkan kritiknya setelah Mendikbud Nugroho meninggal dunia.

LPSN menanggapi dengan menyatakan bahwa protesnya terhadap buku tersebut telah dilakukan sejak Simposium Pelajaran Sejarah yang diadakan Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI), 25 Agustus 1982. Karena tak mendapat tanggapan, LPSN kembali melayangkan protes dalam seminar sejarah yang diadakan Untag pada 27 Agustus 1984. LPSN bahkan mengadukan hal yang sama ke DPR. “Hal yang sama sudah diajukan ke DPR/MPR, yang diteruskan ke Mendikbud Nugroho Notosusanto, tetapi sampai beliau meninggal, ia tidak pernah memberikan tanggapan,” tulis Cypri Aur dalam “Pergunjingan PSPB Skandal Ilmiah Terbesar”, termuat dalam Rekaman Peristiwa ’85 Sinar Harapan.

Baca juga: Pengajaran sejarah tak lengkap dapat memicu konflik

Protes LPSN membuat pemerintah bereaksi. Drs. Tanu Suherly selaku anggota Tim-7, tim yang dibentuk Mendikbud Nugroho untuk menyusun buku PSPB, menyatakan bahwa tuduhan yang dibuat bisa dibuktikan. Data otentik yang menjadi rujukan penulisan, menurutnya, berupa dokumen resmi Tap dan SK MPR ada dan masih tersimpan di pusat-pusat sejarah nasional.

Penjelasan Suherly tak menjawab persoalan bagi para akademisi. Para sejarawan bahkan mengkritik lebih jauh dengan mempertanyakan materi PSPB yang memulai sejarah Indonesia dari proklamasi semata dan memonopoli perjuangan kemerdekaan dengan perjuangan fisik. Kritik juga menyasar dijadikannya PSPB sebagai mata pelajaran, membuat tumpang tindih karena di saat bersamaan siswa juga diberikan Sejarah Nasional, PMP, dan P4. Materi semua pelajaran itu hampir sama.

Fuad Hassan –diangkat menjadi mendikbud pada 30 Juli 1985 menggantikan Mendikbud ad interim JB Sumarlin yang mengisi kekosongan kursi mendikbud setelah ditinggal mati Nugroho pada Juni 1985– langsung berupaya meredakan polemik PSPB. Usai menemui presiden, dua hari setelah polemik, Fuad mengatakan kepada pers bahwa Presiden Soeharto setuju diadakan penelitian ulang terhadap PSPB.

Baca juga: Sejarah di mata generasi Z

Buku PSPB yang sudah beredar pun direvisi, sejarah Indonesia tidak lagi dimulai dari proklamasi tapi dari kedatangan bangsa-bangsa asing. Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada 19 September, Fuad yang diberondong pertanyaan menjawab dengan janji bahwa pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan para ahli sejarah pada 23 September.

Tapi izin presiden merupakan hal terpenting yang dimiliki Fuad sehingga langsung menginstruksikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pendidikan dan Kebudayaan Depdikbud meneliti ulang buku yang diributkan itu dan buku-buku pelajaran sejarah lain. Fuad bersikeras penelitian ulang mesti dilakukan agar masyarakat tidak bingung.

Upaya Fuad membuahkan hasil. Kepala Balitbang Pendidikan dan Kebudayaan Harsya W. Bachtiar beberapa hari kemudian menyatakan upaya yang telah dilakukan pihaknya. Sambil mempersiapkan buku PSPB baru, kata Harsya, pihaknya telah menghilangkan alinea dalam buku terbitan 1985 yang menjadi pangkal perdebatan. Pihaknya juga mengeluarkan surat edaran mengenai revisi tersebut.

Baca juga: Mendikbud: pengajaran sejarah harus diubah

Keterangan Harsya tetap tak memuaskan masyarakat, terutama sejarawan dan akademisi. Mereka menganggap penjelasan itu belum menyentuh akar permasalahan apalagi menyelesaikannya. Sosiolog Universitas Gadjah Mada Loekman Soetrisno mengkritik skandal PSPB lewat tulisannya di Sinar Harapan edisi 20 September 1985 yang berjudul “Skandal PSPB Merupakan Mental ABS”. Dia antara lain mengatakan, skandal PSPB hendaknya menjadi pelajaran bagi para pejabat Depdikbud agar tidak lagi melihat diri mereka sebagai polisi yang hanya melihat pendidikan sebagai sarana penjaga stabilitas politik.

“Skandal PSPB menunjukkan kemerosotan etika dari cendekiawan, khususnya cendekiawan sejarah,” kata Loekman.    

Kritik juga datang dari para politisi, seperti Sekjen DPP PDI Sabam Sirait dan Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR Tengku Saleh. Saleh menyatakan apabila tuduhan tentang komisi yang diterima Presiden Sukarno dalam buku itu tidak benar, buku tersebut sangat berbahaya bagi anak didik. Sementara, budayawan YB Mangunwijaya menyindir dengan mengatakan Skandal PSPB muncul disebabkan oleh beberapa faktor di dalam negeri dan semua orang tahu itu.  

Baca juga: Mencari arah pendidikan sejarah

Kalangan sejarawan merupakan pengkritik terkeras skandal tersebut. Abdurrachman Suryomiharjo menilai sumber yang digunakan dalam penulisan buku PSPB kurang otentik. Materi PSPB, kata Abdurrachman, juga kurang murni alias penuh pesan penguasa.

“Sejarah, apalagi untuk generasi muda, seharusnya tidak dibebani pesan-pesan atau tambahan-tambahan yang menyalahi pengertian. Kalau ingin menjatuhkan lawan politik atau memojokkan golongan tertentu, bukan sejarah lagi namanya, karena hal ini sangat berbahaya bagi generasi muda,” kata Abdurrachman sebagaimana ditulis Cypri.

Sejarawan Anhar Gonggong, saat itu pemimpin Proyek Pembinaan Kesadaran dan Penjernihan Sejarah Depdikbud, ikut bersuara. Apabila penulis buku tidak bisa membuktikan kebenaran tulisannya, kata Anhar, masyarakat yang akan menilai. 

Kritik para sejarawan itu membuat Fuad benar-benar memenuhi janjinya mengadakan pertemuan dengan mereka. Hasil dari pertemuan dengan 42 ahli sejarah itu antara lain, Depdikbud sepakat bekerjasama dengan para sejarawan untuk mengoreksi bagian-bagian dalam buku pelajaran sejarah. Selain itu, Depdikbud sepakat membentuk kelompok kerja berisi sejarawan untuk menggarap ulang buku-buku sejarah di tingkat SD sampai perguruan tinggi.

“Integrasi materi PSPB dengan materi Sejarah Nasional dan PMP merupakan bentuk jalan tengah yang dapat ditempuh oleh Menteri Fuad Hassan untuk mengurangi kontroversi yang ada di masyarakat,” tulis Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan.

Baca juga: Penghargaan pertama bagi pegiat sejarah

Pertemuan tanggal 23 September itu juga menghasilkan pedoman penulisan sejarah. Isinya antara lain, kewajiban dipenuhinya syarat-syarat didaktis dalam penulisan sejarah. Selain itu, pelajaran sejarah hendaknya menyajikan fakta-fakta historis yang relevan dan mempunyai dampak-didik positif bagi anak didik.

“Satu hal yang mengherankan adalah sikap Presiden Soeharto yang tidak mempertahankan konsep pengajaran sejarah almarhum Nugroho dalam Kurikulum 1984 yang diubah oleh Sumarlin dan Fuad Hassan. Sikap yang sama juga diperlihatkan pimpinan MPR yang menerbitkan kewajiban pendidikan sejarah perjuangan bangsa dalam GBHN 1983 maupun pimpinan ABRI yang sangat diuntungkan dengan pemberlakuan mata pelajaran PSPB. Seluruh kesalahan dilimpahkan kepada almarhum Nugroho,” tulis Syukur.

Presiden membiarkan Fuad berperang sendirian. Beruntung Fuad berhasil mengatasinya. Langkah Fuad tak hanya menggembirakan kalangan akademis dan masyarakat, tapi juga berhasil menyelamatkan wajah pemerintah dari cercaan masyarakat. “Polemik PSPB merupakan skandal ilmiah terbesar yang melanda negeri kita,” ujar sejarawan yang juga Ketua Jurusan Sastra Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Dr. Hamid Abdullah, tulis Cypri.

TAG

Historiografi

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Hamas di Jalur Gaza "Singa Minangkabau" yang Ditakuti Belanda T.D. Pardede Pemuda Indonesia Melawan Nazi R.A. Kartini Dakwah Walisongo Kolak Ruang Kosong Historiografi Parlemen Indonesia Ambiguitas Gender Pada Atlet Membayangkan Sejarah di Masa Depan