DENGAN khidmat, gadis-gadis anggota paduan suara menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia untuk menyambut para tamu. Layar panggung langsung menutup begitu mereka selesai menyanyi. Ketika layar kembali terbuka beberapa saat kemudian, deretan gadis berpakaian tradisional yang mewakili beberapa daerah di Indonesia telah berdiri di panggung.
Para hadirin yang duduk di kursi-kursi dekat meja-meja bertaplak hijau langsung terkagum-kagum. “Hidup persatuan perempuan Indonesia!” kata mereka spontan.
Suasana itu terjadi dalam pembukaan Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Kerjakeras panitia membuat acara itu terlaksana. “Sebagai panitia, kami harus hilir-mudik keliling kota menyelesaikan berbagai urusan. Kendaraan kami hanya sepeda. Tulis-menulis dilakukan dengan tangan karena mesin tik belum umum, mungkin hanya di kantor pemerintah,” ujar Sujatin, salah seorang panitia kongres, dalam biografinya, Mencari Makna Hidupku.
Acara yang berlangsung di Gedung Joyodipuran itu dihadiri oleh mayoritas perempuan berusia 20-an tahun. Mereka kebanyakan kelas menengah-atas yang telah mengenyam pendidikan formal. Profesi mereka beragam, mulai guru, direktur asrama yatim piatu, hingga pedagang meski ada juga yang masih pelajar.
Namun, kongres terbuka bagi perempuan non-pendidikan formal. Dua perempuan dari golongan ini yang hadir adalah Nyonya Soekonto dari Wanito Oetomo dan Marakati Drijowongso dari organisasi perempuan PSII.
Nyonya Soekonto, yang berusia 39 tahun, merupakan ketua kongres. Dia dipilih karena paling tua. Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, unsur kejawaan sangat kuat dalam kongres pertama karena para panitia dan lokasi kongres yang berada di pusat kebudayaan Jawa, Mataram (kini Yogyakarta).
Peserta lain yang belum mengenyam pendidikan formal adalah Marakati Drijowongso. Dia seorang pedagang kecil yang keadaan ekonominya sulit. Kemiskinan orangtuanya membuatnya tak bisa merasakan bangku sekolah. Meski begitu, dia aktif dalam organisasi wanita PSII sehingga menjadi salah satu wakil yang hadir dalam kongres.
Kongres itu, menurut catatan Nyonya Toemenggoeng yang meliput, berjalan lancar. “Benar-benar tidak ada perdebatan: masing-masing pembicara mengucapkan gagasan-gagasannya sendiri,” tulisnya. Namun, kata Susan dalam buku yang sama, sempat ada perdebatan antara Siti Moedjijah, perwakilan dari markas besar Aisyiyah Yogyakarta, dengan beberapa perempuan penentang poligami.
Perdebatan bermula ketika hak-hak perkawinan dibahas dalam pidato perwakilan organisasi-organisasi perempuan yang tak berlandaskan agama. Beberapa di antaranya, RA Soedirman, wakil dari organisasi Poetri Boedi Sedjati Surabaya. Dia mengatakan, “Sudah saatnya merebut hak-hak perempuan sebagai tujuan pokok gerakan kita.” Dominasi laki-laki atas perempuan, terutama dalam perkawinan, amat mengakhawatirkannya. RA Soedirman juga memberikan kritik pedas kebiasaan orang tua yang menikahkan anaknya dengan orang tak dikenal kemudian dalam pernikahan si perempuan harus tunduk pada suaminya.
Djojoadigoeno, wakil Wanito Oetomo, juga membahas hal serupa. Menurutnya perempuan tidak mendapatkan hak setara dalam perkawinan. Diskriminasi terhadap perempuan dan upaya pembelaan terhadapnya itu pula yang menjadi isi pidato Djami dari Darmo Laksmi. Sedangkan Ny. Moegaroemah, wakilan Poetri Indonesia, mengkritik praktik perkawinan anak-anak dan mendesak para perempuan untuk bersatu melawan kebiasaan tersebut.
RA Hardjodiningrat dari Wanita Katolik nimbrung ke dalam predebatan. Dia mengatakan pendekatan Katolik dalam perkawinan sebagai yang paling sempurna. Pandangannya diperkuat Djami, yang juga mengecam poligami.
Mendengar banyak yang kritik mengenai perkawinan, Sitti Moendjijah berbicara membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami. Ketika Moendjijah membacakan pidatonya, anggota-anggota Aisyiyah bertepuk tangan mendukung pidatonya. Sementara, perwakilan dari Wanita Katolik saling mendekatkan kepala dan berbisik-bisik membicarakan isi pidato Moendjijah. Kata poligami yang menggema ketika Moendjijah berpidato, tulis Susan, bagai sengatan lebah bagi para perempuan muda dan membuat mereka sangat gelisah.
Siti Soendari langsung mendebat pidato Sitti Moendjijah. Dia menyebut Moendjijah sebagai pembela standar ganda. Mendengar hal ini, Siti Moedjijah langsung menanggapi bahwa dirinya hanya menyampaikan apa yang diperbolehkan. Moendjijah juga membalas Siti Soendari dengan mengatakan bahwa Soendari terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda.
Panasnya suasana kongres membuat Nyonya Siti Zahra Goenawan, perwakilan Roekoen Wanodijo, berinisiatif melerai. Upaya perempuan yang datang dari Weltevreden (Jakarta) itu berhasil dengan tak dilanjutkannya perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan.
Menurut Toemenggoeng dalam catatannya, para peserta kongres berusaha keras menunjukkan itikad baiknya untuk menciptakan persatuan perempuan. Ketegangan yang ada karena bahasan tentang perkawinan tak menghalangi tekad mereka untuk membentuk federasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, tak menitikberatkan perjuangan perempuan dalam urusan politik tetapi memajukan posisi sosial perempuan dan kehidupan keluarga. Hasil kongres menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan, penjelasan taklik pada mempelai perempuan saat pernikahan, juga pembuatan aturan tentang pertolongan janda dan anak yatim piatu pegawai sipil.