Masuk Daftar
My Getplus

Menulis Mencipta Indonesia

Tanpa menulis dan menyebarluaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia.

Oleh: Randy Wirayudha | 12 Agt 2017
Max Lane dan Pramoedya Ananta Toer, Januari 1981. Foto: Dokumentasi Max Lane.

Dr. Max Lane, Indonesianis dari Victoria University Australia, seringkali bingung tiap kali melihat pameran tentang kebudayaan Indonesia. Yang dipamerkan lazimnya batik hingga angklung.

“Itu bukan kebudayaan Indonesia. Batik kebudayaan Jawa. Angkung kebudayaan Sunda. Itu sudah ada sebelum negara Indonesia ada. Itu semua warisan dari Indonesia yang sebelumnya belum ada di bumi manusia,” ujar Max Lane dalam peluncuran bukunya, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Esai-esai tentang Pramoedya, Sejarah dan Politik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu, 12 Agustus 2017.

Max Lane mengatakan bahwa salah satu elemen dasar kebudayaan Indonesia adalah menulis. Ini yang dilakukan sastawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer lewat sejumlah karyanya, seperti tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Advertising
Advertising

“Banyak pesan yang terdapat dalam karya-karya Pramoedya yang terinspirasi dari RA Kartini. Pramoedya melihat Kartini sebagai pemikir zaman pencerahan Indonesia. Dalam karya-karya Pramoedya, terkandung pesan-pesan seperti kebangkitan nasional Indonesia di era 1920-an,” kata Max Lane.

Max Lane menerjemahkan karya-karya Pramoedya ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Akibatnya, sebagai diplomat muda di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dia ditarik ke negerinya pada 1981.

Menurut Max Lane karya-karya Pramoedya penting untuk dibaca oleh generasi muda agar dapat menentukan ke mana arah bangsa ini akan di bawa. Arah bangsa yang sejak era 1950-an selalu memunculkan pertarungan ideologi yang keras.

“Setelah Indonesia merdeka, lalu masa depannya mau di bawa ke mana. Makanya di era 1950-an, terjadi pertempuran ideologi. Peristiwa 30 September 1965 jadi titik balik. Orang-orang kiri dipenjara, dibunuh sebagai akibat pertarungan ideologi yang diselesaikan dengan cara kekerasan,” kata Max Lane.

Di Indonesia, menurut Max Lane, belum ada sekolah-sekolah menengah yang punya mata pelajaran sastra Indonesia. Padahal, dari sastra dan tulisan pula generasi muda bisa belajar mengenai asal-usul dan budaya Indonesia.

“Proses pertama terciptanya Indonesia itu adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketidakadilan yang dijalankan kediktatoran kolonialis Hindia Belanda. Yang kedua adalah menulis dan ketiga adalah menyebarluaskan tulisan dan ide-ide. Karena tanpa menulis dan menyebarluaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia,” kata Max Lane.

Menurut Max Lane Indonesia juga eksis dan terpelihara sampai sekarang karena revolusi yang memiliki dua sifat utama. Pertama, pembalikan kekuatan kekuasaan seperti yang dilakukan para pejuang terhadap kekuatan penjajah.

“Yang kedua, menciptakan sesuatu yang baru. Dalam hal ini, menciptakan Indonesia yang sebelumnya tidak ada di bumi manusia. Tapi setelah tercipta, Indonesia mau dibawa ke mana,” kata Max Lane.

Oleh karena itu, Max Lane berpesan agar generasi muda Indonesia aktif mempelajari sastra dan mau berorganisasi. “Karena kalau sendiri, kita tidak bisa buat apa-apa. Kalau bersama-sama dalam berorganisasi, bisa lebih bergerak menentukan masa depan Indonesia,” pungkas Max Lane.

TAG

buku

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang Jejak Langkah Gusmiati Suid Dardanella Menembus Panggung Dunia Bayi Revolusi Berbaju Sampul Buku Candranegara V, Sang Pengelana Pertama Bukan Raja Jawa Biasa Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa Repotnya Menyusun Pidato Sukarno