MESKI wajah kakunya tampak tenang, pikiran Dr. Joseph Goebbels tengah berkecamuk. Pagi itu, 29 April 1945, situasi kota Berlin kian mencekam mengingat pasukan Uni Soviet kian mendekati Führerbunker atau bunker di kompleks Reichkanzlei (Kekanseliran Jerman). Di hari itulah untuk pertamakali Goebbels menolak perintah Hitler.
Setelah mengikuti sarapan “pesta” pernikahan Hitler dengan Eva Braun, Goebbels diminta Hitler untuk berusaha keluar dari kota Berlin. Hitler merasa harus menjadi kapten yang ikut tenggelam bersama kapalnya.
Traudl Junge, sekretaris pribadi Hitler, masih ingat betul ketika Goebbels masuk ke ruangannya. Kala itu, Junge sedang mengalihwahanakan wasiat Hitler yang ditulis tangan ke mesin ketiknya.
“Tiba-tiba Goebbels masuk tanpa saya sadari. Wajahnya tampak pucat seputih kapur. Air mata mengalir di pipinya…suaranya yang biasanya jernih menjadi bergetar. ‘Führer ingin saya keluar dari Berlin, Nona Junge. Saya diperintah memimpin pemerintahan baru di utara. Tetapi saya tak bisa meninggalkan Berlin dan Führer! Saya Gauleiter (kepala distrik) Berlin dan di sinilah tempat saya. Jika Führer mati, hidup saya tiada artinya’,” kata Junge dikutip T. Thacker dalam Joseph Goebbels: Life and Death.
Baca juga: Pernikahan dan Kematian Hitler
Goebbels lantas mendiktekan wasiatnya pula dan minta diketikkan Junge. “Untuk pertamakalinya dalam hidup saya, saya harus menolak menaati perintah Führer. Begitupun istri dan anak-anak saya. Hati saya tak bisa membiarkan Führer sendirian di saat yang ia butuhkan…bersama istri saya, lebih baik mengakhiri hidup di sisi Führer,” demikian bunyi potongan wasiat Goebbels.
Keesokan harinya, Goebbels turut menanti akhir hayat Hitler. Dari ujung pintu kamar, Goebbels mendengar sendiri dua kali bunyi letupan pistol dari balik pintu. Ia hanya bisa berdiri kaku saat jasad Führer dibawa ke halaman luar bunker untuk dibakar dengan bensin. Sehari setelahnya, 1 Mei 1945, Goebbels bersama istri dan keenam anaknya menyusul sang Führer ke alam baka.
Bocah Penyakitan dan Katolik yang Taat
Paul Josep Goebbels, itulah nama yang diberikan kepada bayi yang dilahirkan Katharina Odenhausen, wanita blasteran Jerman-Belanda, di Rheydt, sebuah “kecamatan” di Mönchengladbach, pada 29 Oktober 1897. Anak keempat dari enam bersaudara itu hidup di tengah keluarga menengah ke atas, di mana ayahnya mengais nafkah sebagai klerek di sebuah pabrik.
Mengutip keterangan Goebbels, sejarawan Peter Longerich dalam Goebbels: A Biography mengungkapkan, Goebbels di masa kecilnya menjadi bocah penyakitan. Selain mengalami masalah pada paru-parunya, dia punya kelainan CTEV (Congenital talipes equinovarus) pada kaki kanannya, membuat kaki kanannya lebih tebal namun lebih pendek dari kaki kirinya.
Alhasil, Goebbels pun pincang dan mesti selalu mengenakan sepatu khusus yang beda ukuran. Kelainan itu pula yang membuatnya ditolak masuk kemiliteran di kala Perang Dunia II berkecamuk. Tetapi ia tak patah arang. Ia tetap jadi pemuda Katolik taat dan rajin ke gereja.
Orangtuanya berharap ia menjadi pastur. Namun, Goebbels lebih menggemari sastra dan sejarah dunia. Maka jurusan itulah yang diambilnya ketika ia mendapat beasiswa Albertus Magnus Society dan diterima di Prinzenuniversität (kini Universitas Bonn).
Goebbels mahasiswa yang cemerlang. Dia menyelesaikan studi di Julius-Maximilians-Universität Würzburg, Albert-Ludwigs Universität Freiburg, Ludwig-Maximilians-Universität München, hingga Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg. Gelar doktor diraihnya setelah menyelesaikan disertasi mengenai tokoh sastrawan Wilhelm von Schütz. Ia memilih topik itu atas saran Max Freiherr von Waldberg, profesor berdarah Yahudi yang jadi dosen pembimbingnya.
Baca juga: Hitler Seniman Medioker
Goebbels tak keberatan dibimbing seorang Yahudi karena masa mudanya tak pernah bersentuhan dengan hal-hal berbau antisemit. Masa mahasiswa Goebbels hanya dipenuhi oleh kerakusannya melahap beragam buku, termasuk buku-buku kiri karya Karl Marx, Friedrich Engels, Rosa Luxemburg, August Bebel, dan Gustav Noske.
“Tetapi mulai 1924, Goebbels mulai kepincut dengan kharisma Adolf Hitler. Terutama ketika Hitler duduk di kursi terdakwa pada Februari 1924 atas insiden Beer Hall Putsch (8-9 November 1923). Persidangannya jadi berita hangat di koran-koran dan Goebbels mulai membangun kekagumannya pada Hitler,” singkap Longerich.
Antek Nazi sampai Mati
Dari kekagumannya itu, Goebbels menganggap Hitler sebagai mentornya ketika Goebbels memilih terjun ke politik dan bergabung ke Nationalsozialistische Deutsche Arbeitpartei (Partai Pekerja Nasional Sosialis Jerman) yang populer dengan sebutan Nazi. Goebbels mulai jadi kader pada Desember 1924, setelah Hitler keluar penjara.
Tugas pertama Goebbels sebagai kader adalah di kantor sekreariat Partai Nazi cabang Distrik Rhine-Ruhr di bawah Gauleiter (kepala cabang) Karl Kaufmann dan Gregor Strasser. Baru dua tahun kemudian dia bertemu Hitler untuk kali pertama. Itu terjadi dalam Konferensi Bamberg, 14 Februari 1926, di mana Hitler memanggil semua kepala cabang partai.
“Saya sungguh mencintainya… Dia punya pikiran yang mencakup segala hal. Pemikirannya sungguh cemerlang. Saya tunduk pada sosok hebat ini, seorang politikus jenius,” kata Goebbels menyanjung dalam catatan hariannya, dikutip Ian Kershaw dalam Hitler: A Biography.
Dalam pertemuan itu Hitler juga merasa Goebbels sebagai orator ulung seperti dirinya. Hitler kemudian mempromosikannya sebagai Gauleiter Berlin per Agustus 1926. Sejak saat itu, Goebbels dan Hitler tak terpisahkan.
Dari sekian perombakan yang dilakukan Goebbels, di mana ia hanya melapor langsung pada Hitler, ada dua hal yang jadi faktor utama penopang kelanggengan kekuasaan Hitler sebagai ketua partai. Pertama, Goebbels merombak keanggotaan partai. Sebagai pilot project, di distrik Berlin yang dipimpinnya, Goebbels menetapkan iuran keanggotaan dan mewajibkan setiap anggota membayar lagi untuk bisa ikut rapat-rapat partai. Itu dilakukan untuk konsolidasi dan membersihkan partai dari anggota-anggota yang berpotensi menggembosi Hitler. Perombakan itu menghasilkan berkurangnya anggota distrik Berlin dari sekira 1.000 menjadi 600 anggota yang komit. Langkah itu kemudian diikuti semua distrik lain.
Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler
Kedua, Goebbels memberi masukan pada Hitler untuk memfilmkan setiap parade partai dan pidato-pidato Hitler. Goebbels melihat media film tengah booming di Jerman saat itu. Ia juga memprediksi film-film itu nantinya bisa ditayangkan dan akan menjangkau simpatisan yang lebih luas.
Manuver-manuver Goebbels turut menyukseskan langkah Hitler hingga bisa bertakhta sebagai kanselir pada 30 Januari 1933. Untuk merayakan bertakhtanya Hitler, Goebbels mengotaki digelarnya pawai obor di jalan-jalan kota Berlin yang mengikutsertakan 60 ribu kader paramiliter Sturmabteilung (SA) dan Schutzstaffel (SS). Perayaan megah itu disiarkan radio dan difilmkan.
“Tetapi ia sempat kecewa karena dalam kabinet baru yang dibentuk Hitler, ia tak diberikan posisi menteri kebudayaan. Jabatan yang ia idam-idamkan. Baru pada 14 Maret, Goebbels diberi posisi di kementerian yang baru dibentuk, Kementerian Negara bidang Penerangan dan Propaganda,” sambung Longerich.
Dengan posisi inilah Goebbels membuat ajang-ajang akbar seperti Parade Nürnberg 1934 yang kemudian difilmkan oleh sineas Leni Riefenstahl dengan tajuk Triumph des Willens. Film itu bahkan memenangi medali emas Festival Film Venezia pada 1935.
Dengan posisi ini pula Goebbels mengarsiteki doktrin-doktrin antisemit. Dia memulainya dengan merangkum sebuah dekrit terkait pemboikotan bisnis-bisnis kaum Yahudi, yang ditandatangani Hitler pada 1 April.
Goebbels juga ikut menggerakkan pengajuan Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936. Pentas global itu baginya bisa dimanfaatkan sebagai promosi atas hegemoni rezim Nazi di tanah Jerman. Itu dilakukan demi menutupi sejumlah doktrin dan kebijakan antisemit Nazi. Salah satu kebijakan rasis Goebbels yang kondang adalah mewajibkan setiap orang Yahudi mengenakan tanda bintang Daud berwarna kuning.
Baca juga: Erwin Rommel yang "Dipaksa" Hitler Bunuh Diri
Bukan hanya kaum Yahudi, rezim Nazi juga sempat clash dengan kaum agamawan, baik dari Gereja Katolik maupun Protestan. Akibatnya, banyak agamawan yang dipersekusi. Protes dari Paus Pius XI lewat eksikliknya, “Mit brennender Sorge”, dibalas Goebbels dengan pidato di hadapan 20 ribu massa Nazi di Berlin, 28 Mei 1937 yang mengkampanyekan bahwa Gereja Katolik baik di Jerman maupun di Vatikan secara moral sudah korup. Lebih lanjut, Goebbels menggunakan wewenangnya untuk melarang ceramah-ceramah di gereja yang berkaitan dengan kritik rezim Nazi.
Sesudah Hitler memulai Perang Dunia II, Goebbels bertanggungjawab menyensor semua kabar dari medan perang. Propaganda kemenangan dari garis depan sudah barang pasti jadi kabar-kabar yang boleh berseliweran di siaran-siaran radio.
Memasuki 1944, ketika Jerman sudah mendekati kekalahan, Goebbels menginisasi pembentukan Volksstrum, semacam laskar rakyat, pada 18 Oktober 1944. Perekrutan di Volksstrum mulanya sukarela, tetapi ketika Uni Soviet mulai mengepung Berlin, semua warga diwajibkan angkat senjata, tak peduli masih bocah ingusan atau sudah renta.
Kondisi Berlin yang makin mencekam pada April 1945 membuatnya berpikir bahwa tak mungkin ia dan keluarganya hidup di Jerman tanpa Naziisme. Goebbels pun menolak diperintah Hitler untuk keluar dari Berlin.
Pada 1 Mei 1945, Goebbels dan istrinya, Magda Rietschel, menjejali kapsul sianida kepada enam anaknya: Helga, Hildegard, Helmut, Holdine, Hedwig, dan Heidrun. Lantas pada pukul 20.30, Goebbels dan Magda keluar ke halaman bunker. Dengan sepucuk pistol di tangan, Goebbels menembak Magda untuk kemudian menembak kepalanya sendiri. Jasad keduanya disiram bensin dan dibakar oleh ajudan Goebbels, Kapten Günther Schwägermann, persis seperti Hitler yang sehari sebelumnya duluan menuju alam baka.
Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal