KECELAKAAN pesawat Lion Air JT 610 di Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga para korban. Duka juga melanda sebuah keluarga di India, tempat pilot Bhavye Suneja berasal.
“Orang tua Suneja dikabarkan langsung bertolak ke Indonesia untuk mengetahui nasib anaknya tersebut,” tulis cnnindonesia.com 30 Oktober 2018.
Kepergian Suneja merupakan sedikit tanda dari besarnya hubungan Indonesia-India yang telah terjalin lama. Di masa Indonesia belum lama lahir dan masih belajar “merangkak”, India dengan tokoh nasionalisnya Jawaharlal Nehru (kemudian perdana menteri) merupakan salah satu pendukung terpenting. Banyak bantuan India tiba di Indonesia. Banyak bantuan itu bisa sampai karena simpati, keberanian, dan kerja keras Biju Patnaik.
Baca juga: Bob Freeberg, mantan pilot Amerika Serikat membantu perjuangan Indonesia
Bijayananda Patnaik, lebih dikenal dengan Biju Patnaik, merupakan pilot sekaligus pengusaha maskapai penerbangan Kalinga Air. Pria kelahiran Orissa (kini Odisha, India), 5 Maret 1916 itu merupakan pejuang nasionalis India sejak muda.
Kesamaan pandangannya dengan Nehru membuatnya menjadi salah satu sahabat yang dipercaya Nehru. Keduanya sama-sama bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu menjadi pertimbangan Nehru memilihnya untuk memikul tanggung jawab dalam membantu perjuangan Indonesia.
Pada awal Juni 1947, Patnaik dan istrinya, Gyana Devi, terbang menggunakan pesawat Dakota bernomor registrasi VT-COA milik Kalinga Air ke Lanud Maguwo (kini Adisucipto). Keduanya mengantarkan bantuan obat-obatan untuk Indonesia.
Setibanya di Yogyakarta, tanpa keberatan Patnaik mengizinkan pesawatnya dipinjam AURI untuk digunakan melatih para penerbang. Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Iswahyudi merupakan di antara sedikit penerbang yang menjajal pesawat Patnaik itu.
Baca juga: Bob Freeberg membantu utusan Mesir yang terdampar di Singapura ke Indonesia
Sementara pesawatnya digunakan AURI, Patnaik memanfaatkan kunjungannya ke Indonesia selama dua minggu untuk berkeliling dan berkenalan dengan tokoh-tokoh politik, terutama Presiden Sukarno. Patnaik lalu menjadi karib dengan Sukarno dan KSAU Suryadarma. Dalam perjalanan pulang, pesawatnya ikut ditumpangi dr. Sudarsono yang kemudian menjadi kepala perwakilan Indonesia di India, corong perjuangan Indonesia di dunia internasional.
Kunjungan itu berlanjut ketika Patnaik kembali pada awal Juli. Ancaman Belanda yang akan menembak jatuh pesawatnya bila memasuki wilayah Indonesia tak dihiraukannya. Alih-alih takut, Patnaik justru mengancam balik. “Patnaik mengatakan kepada Aneta bahwa jika dia tidak diberi izin pada hari Minggu untuk melanjutkan perjalanannya, dia akan meminta Pemerintah India untuk segera menarik fasilitas KLM untuk mendarat di India,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949).
Patnaik akhirnya bisa pulang pada 21 Juli. Dalam perjalanan pulang itu dia membawa serta PM Sutan Sjahrir. “Sutan Sjahrir sendiri pergi ke luar negeri atas permintaan Presiden Sukarno untuk mencari dukungan dari dunia luar terhadap posisi Indonesia yang terus dijepit oleh Belanda,” tulis Nasrudin dan Joehanda.
Baca juga: Myanmar menyewa pesawat Indonesia untuk memadamkan pemberontakan
Dalam penerbangan itu menumpang pula beberapa perempuan pejuang dari Kowani yang akan menghadiri All Indians Women’s Congress di Madras, India. Utami Suryadarma, istri KSAU Suryadarma, salah satunya. “Semua ini dimungkinkan berkat bantuan saudara Bidu Patnaik. Memang suatu keajaiban, pesawat terbang Patnaik tidak diintersep oleh pesawat pemburu Belanda,” kenang Utami dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air.
Patnaik kembali ke Indonesia pada akhir Juli 1947. Setelah mengunjungi Presiden Sukarno, dia meneruskan penerbangan ke Bukittinggi dan menemui Wapres Moh. Hatta yang sedang tur Sumatera.
“Dengan membawa surat Sukarno yang dibawanya untuk aku, ia segera dibawa oleh beberapa orang polisi militer ke Rumah Tamu Agung. Diceritakannyalah pertemuannya dengan Sukarno dan pesan Sukarno supaya aku diterbangkan ke India abar bertemu dengan Nehru. Kepadaku diberikannya juga pakaian kopilot yang dibuat di Yogya. Dibawakannya pula paspor untukku atas nama Abdullah,” ujar Bung Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi: Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Baca juga: Alasan Indonesia mendukung Pakistan ketika perang dengan India
Hatta menyambut baik bantuan Patnaik. “Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Jawaharlal Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussels, tahun 1927, dalam organisasi Liga Menentang Penjajahan dan untuk Kemerdekaan Nasional.”
Hatta memperlakukannya sebagai tamu negara. Malam itu juga Hatta mengajaknya menonton pertunjukan seni di Padang Panjang. Pertunjukan itu antara lain menampilkan tunanetra Arsjad unjuk kebolehan bermain biola.
“Patnaik terharu melihat anak buta itu menggesek biola dengan lancar dan baik. Setelah selesai pertunjukan, aku minta pengurus dan anak buta Arsjad datang ke tempatku dan kuperkenalkan mereka kepada Patnaik. Patnaik memuji permainan Arsjad. Pada tempat itu juga dijanjikannya bahwa ia akan meminta Pemerintah Republik Indonesia mengirim anak itu belajar pada suatu akademi musik di Brussels dan semuanya dengan biaya dia,” kenang Hatta.
Tiga hari berselang, Patnaik mendaratkan Wapres Hatta di New Delhi. Dia langsung mengantarkan tamu negaranya itu ke kediaman Nehru. Saking dekatnya dengan Nehru, Patnaik sengaja mengerjai Nehru dengan mengatakan bahwa ada tamu dari Indonesia bernama Abdullah. Begitu Nehru menemui tamunya, dia kaget lantaran yang muncul sahabat lamanya, Hatta. Setelah berpelukan dengan Hatta, Nehru langsung memarahi Patnaik dan disambut tawa oleh Patnaik dan Hatta.
Baca juga: Mahatma Gandhi, perjuangan tanpa kekerasan
Meski Hatta tak berhasil mendapatkan bantuan senjata dari Nehru lantaran India belum resmi merdeka, Hatta berhasil mendapatkan jaminan Nehru berupa bantuan obat-obatan dan barang-barang lain yang dikirim lewat Patnaik dan beberapa pilot India lain.
Status belum merdeka India itu pula yang membuat –India belum resmi mengakui kemerdekaan Indonesia– AURI mendapatkan masalah ketika pada Mei 1948 mengirim 20 kadetnya ke India untuk menempuh pendidikan penerbang. Beberapa sekolah penerbangan di sana menolak menerima siswa para kadet AURI.
Namun kegigihan dr. Sudarsono melobi Nehru dan dibantu upaya Patnaik membuat masalah itu dapat diatasi. “Peranan Patnaik sungguh luar biasa karena ia berani memberi jaminan kepada pemilik sekolah penerbang di India dengan mengatakan bahwa para kadet Indonesia tersebut nantinya akan bekerja untuk Kalinga Air,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma.
Baca juga: Pandit Jawaharlal Nehru: Republik Indonesia harus diakui
Atas kontribusinya yang amat berani itu, Pemerintah Indonesia menganugerahi Patnaik warga negara kehormatan dan Bintang Jasa Utama. “Banyak hal-hal baik kami peroleh dari orang India. Mereka adalah penyelundup-penyelundup ulung. India menderita kelaparan. Sebagai balasan dari berton-ton beras yang kami kirimkan, kawan-kawan di sana menyelundupkan sebuah pesawat terbang untuk kami,” ujar Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jasa luar biasa besar Patnaik terhadap AURI juga membuat Suryadarma selalu mengingatnya. “Di kemudian hari, Suryadarma selalu mengingatkan kepada seluruh personel AURI akan jasa Biju Patnaik yang luar biasa bagi pembangunan AURI di masa revolusi kemerdekaan,” tulis Adityawarman.