Makam tua itu terpuruk dimakan usia. Di atasnya, sekumpulan batu kali tersusun rapi, membentuk ruas persegi panjang1,5 x 2 meter persegi. Dari sesela bebatuan, rerumputan liar tumbuh subur, seolah menjadi pelindung makam dari sengatan matahari. Tak ada yang tahu persis siapa yang bersemayam di makam yang terletak di Kampung Salagedang, Cianjur.
“Sejak saya bocah, pusara itu hanya dikenal orang-orang kampung sebagai makamnya Jilolo, gegeden (orang besar) dari tanah seberang,” ujar R. Agus Thosin (65), salah seorang sesepuh Salagedang.
Sama seperti keterangan Agus, Tjutju Soendoesijah (70) mendapat cerita dari neneknya, Unah (meninggal pada 1967 dalam usia 95 tahun), bahwa Jilolo adalah seorang raja seberang yang gagah dan memiliki banyak pengikut.
“Kata nenek saya, beliau juga seorang haji,” ujarnya.
Siapakah sebenarnya Jilolo?
Dari Maluku Utara
Keterangan Agus dan Tjutju tak seluruhnya salah. Dalam disertasinya berjudul ”Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara”, sejarawan R.Z. Leirissa menyebut pada 1832 beberapa pembesar Kesultanan Jailolo (terletak di Maluku Utara) dan keluarga mereka dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Cianjur. Bahkan salah satu dari mereka, Hajuddin, wafat di sana.
“Kendati bukan seorang haji, keluarganya memanggil dia dengan sebutan ‘haji’,” tulis Leirissa.
Hajuddin seorang raja muda. Dia diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai sultan Jailolo dengan gelar Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-ddin Syah. Kekuasaannya tak berusia panjang. Secara sukarela dia menyerahkan tahta kepada sang kakak, Mohamad Asgar, dan disetujui pemerintah Hindia Belanda.
“Saat itu kedaulatan Kesultanan Jailolo memang secara resmi ada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda,” ujar Leirissa.
Dibuang ke Cianjur
Pada mulanya hubungan Jailolo-Hindia Belanda berlangsung baik-baik saja. Sebagai pejabat Hindia Belanda, Sultan Mohamad Asgar cukup puas “digaji” f. 250. Kekisruhan muncul kala pada Agustus 1832 kesultanan memohon kepada pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Seram Pasir ke Pulau Obi. Alasannya, tanah di Seram Pasir tidak subur untuk pertanian.
Batavia tidak mengamini permintaan itu. Akibatnya muncullah “gejolak”. Merasa menjadi duri dalam daging, Batavia menyiapkan dua opsi: “mempensiunkan” Sultan atau membubarkan kesultanan. Setelah digodok Raad van Indie (Dewan Penasehat Gubernur Jenderal), keputusan akhir adalah pembubaran Kesultanan Jailolo. Atas dasar itulah, pada Desember 1832 pemerintah secara resmi membubarkan Kesultanan Jailolo.
Menurut M. Adnan Amal, Sultan Mohamad Asgar beserta keluarganya (termasuk Raja Muda Hajuddin) dikelabui lewat suatu skenario perundingan. “Mereka lantas diangkut dengan dua kapal menuju Batavia kemudian ke Cianjur, tempat mereka diasingkan,” tulis M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah.
Tahun 1844, muncul keputusan mengembalikan para tahanan politik itu ke Maluku. Namun Hajuddin tak masuk dalam daftar pengampunan. Jadilah dia bermukim di tanah Priangan hingga wafat pada 1846 dan dimakamkan di wilayah yang saat ini dikenal sebagai bagian dari Taman Makam Pahlawan Cianjur.