Masuk Daftar
My Getplus

Sudirman Bukan Sembarang Piala

Ajang Piala Sudirman diusulkan sejak 1963, namun Sudirman selalu menolaknya. Ia terlalu rendah hati untuk diabadikan jadi nama sebuah kejuaaran.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Apr 2015
Dick Sudirman, Bapak Bulutangkis Indonesia, diabadikan menjadi kejuaraan beregu campuran putra dan putri: Piala Sudirman.

KEJUARAAN bulutangkis Piala Sudirman yang akan digelar di Dongguan, Tiongkok, 10-17 Mei 2015, tidak akan dapat disaksikan melalui layar kaca. Pasalnya, tidak ada satupun televisi nasional yang membeli hak siarnya. Melalui twitter, netizen pun protes dengan tagar #RIPTVNasional pada Minggu (12/4). Padahal, perjuangan mewujudkan Piala Sudirman menempuh jalan yang panjang.

Indonesia harus bangga karena putra terbaiknya, Dick Sudirman, diabadikan menjadi nama kejuaraan beregu campuran putra dan putri: Piala Sudirman. Sudirman, pendiri PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia), didaulat sebagai Bapak Bulutangkis Indonesia. Dia menjabat ketua umum PBSI (1952-1963 dan 1967-1981) dan wakil presiden IBF (International Badminton Federation, kemudian jadi Badminton World Federation) pada 1975.

Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya dalam bulutangkis Indonesia, namanya diusukan sebagai Piala Sudirman untuk kompetisi beregu putra dan Piala Rameli Rikin untuk beregu putri. Usul itu kali pertama dikemukakan pada kongres PBSI tahun 1963 di Makassar. Namun, Sudirman selalu menolak usul itu, sampai dia meninggal pada 10 Juni 1986.

Advertising
Advertising

Suharso Suhandinata, wakil ketua umum PBSI tahun 1968, sahabat Dick Sudirman, berusaha keras memperjuangkan Piala Sudirman agar disetujui IBF. “Suharso Suhandinata adalah orang pertama yang mengangkat kembali persoalan Piala Sudirman ini ke permukaan setelah satu setengah bulan Sudirman meninggal dunia,” tulis Justian Suhandinata dalam biografi bapaknya, Suharso Suhandinata, Diplomat Bulutangkis.

Suharso memulai langkahnya secara diam-diam dengan mengirim surat ke beberapa tokoh IBF, seperti mantan Presiden IBF Poul Erik Nielsen, agar jasa-jasa Sudirman dalam mempersatukan IBF dan WBF selalu dikenang. Mulanya hanya mendapat sedikit tanggapan, namun kemudian jumlah anggota IBF yang mendukung semakin bertambah, sampai akhirnya mayoritas anggota setuju.

Karena Suharso tidak lagi aktif di PBSI apalagi IBF, perjuangannya dilanjutkan anaknya, Justian Suhandinata, anggota dewan IBF dan Titus K. Kurniadi, salah seorang ketua komisi IBF. Hampir dalam setiap forum IBF, mereka mengangkat masalah Piala Sudirman. Langkah pertamanya, yaitu merebut tempat sebagai tuan rumah kejuaraan dunia. Dalam sidang IBF di Beijing, Indonesia menyatakan siap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia 1989 dengan menyiapkan dana 375.000 dollar AS, dua kali lipat dari dana yang disiapkan Denmark. Setelah ini gol, langkah berikutnya adalah memperjuangkan Piala Sudirman.

Namun, baik Justian maupun Titus belum tahu kira-kira untuk kejuaraan apa Piala Sudirman itu. “Untuk pemain terbaik dalam kontes Piala Thomas? Pemain terbaik Kejuaraan Dunia? Atau? Masih gelap,” tulis Justian.

Akhirnya, dalam omongan lepas di luar sidang di Beijing itu, seorang pengurus Persatuan Bulu Tangkis Eropa, mengatakan bahwa di Eropa sejak 1972 diselenggarakan kejuaraan beregu campuran (putra dan putri) yang menarik dan banyak peminatnya. Justian dan Titus menangkap ide itu: Piala Sudirman untuk kejuaraan beregu campuran putra dan putri.

Mulailah dikampanyekan adanya sebuah kejuaraan beregu campuran tingkat dunia di bawah IBF. Justian dan Titus mengangkat masalah itu ke pertemuan tahunan IBF di Seoul, Korea Selatan, dilanjutkan di Kuala Lumpur, Mei 1988. Keputusan final diambil dalam pertemuan IBF di Singapura, Oktober 1988. Tiga hari sebelum pertemuan dewan (council meeting) IBF diadakan, Titus datang memberitahu Suharso bahwa Piala Sudirman terancam digagalkan, karena anggota IBF dari belahan Eropa cenderung memutuskan memberi nama Herbert A.E. Scheele Trophy (sekretaris jenderal IBF). Dukungan dari daratan Eropa terhadap gagasan itu mengalir deras.

TAG

olahraga

ARTIKEL TERKAIT

Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Miss Riboet Memadukan Seni dan Olahraga Potret Apresiasi Terhadap Pahlawan Olahraga Dulu dan Kini Membidik Sejarah Olahraga Menembak Ambiguitas Gender Pada Atlet Menanti Reuni Tyson vs Holyfield Narasi di Balik Jersey Legendaris Magic Johnson SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka Kisah Ken Miles di Balik Ford v Ferrari