FRANZ Beckenbauer menyandang julukan Der Kaiser alias “Sang Kaisar” yang diberikan fans dan media bukan tanpa alasan. Di pentas sepakbola dunia, Beckenbauer jadi sosok pertama yang memenangi trofi Piala Dunia sebagai pemain tim nasional (timnas) dan pelatih. Oleh karenanya, banyak yang merasa kehilangan saat tersiar kabar duka Beckenbauer mangkat di usia 78 tahun pada Minggu (7/1/2024).
Sebelum tutup usia, Beckenbauer bergelut dengan masalah kesehatan jantungnya. Ia sempat menjalani operasi jantung dan operasi penggantian pinggul.
“Dengan kesedihan mendalam kami menginformasikan bahwa suami saya dan ayah kami Franz Beckenbauer beristirahat dalam damai kemarin hari Minggu, ditemani keluarganya. Kami mengharapkan masa duka yang tenang dan tanpa banyak pertanyaan,” bunyi pernyataan keluarga kepada Deutsche Presse-Agentur, dikutip Eurosport, Senin (8/1/2024).
Di sepanjang kariernya, Beckenbauer menjadi orang kedua dari tiga figur yang memenangkan Piala Dunia sebagai pemain (Piala Dunia 1974) dan sebagai pelatih (1990). Orang pertama adalah Mário Zagallo (Brasil), yang menang sebagai pemain di tahun 1958 dan 1962, serta sebagai pelatih di tahun 1970.
Didier Deschamps menyusul pencapaian Zagallo dan Beckenbauer itu pada 1998 sebagai pemain dan 2018 sebagai pelatih. Meski begitu, hanya Beckenbauer dan Deschamps yang memenangi Piala Dunia dengan status kapten semasa bermain.
Baca juga: Christian Hadinata Ingin Seperti Beckenbauer
Oleh karenanya, federasi sepakbola Jerman DFB jadi salah satu pihak yang paling kehilangan. Pasalnya, pemain dengan total 103 caps di timnas senior (50 caps di antaranya sebagai kapten) itu juga turut berperan memenangi Piala Eropa 1972.
Di level klub, lain lagi. Sebagai satu tulang punggung Bayern Munich sepanjang 1964-1977, Beckenbauer ikut memenangi lima titel Bundesliga serta empat trofi DFB-Pokal. Tak ketinggalan tiga kali juara European Cup (kini Liga Champions) serta masing-masing satu trofi Piala Winners’ dan Intercontinental Cup.
Beckenbauer memang mengakhiri kariernya di klub Amerika Serikat, New York Cosmos, pada 1983. Tetapi ia tetap tak pernah jauh dari sepakbola. Beckenbauer beralih ke tepi lapangan sebagai peracik strategi timnas Jerman (1984-1990) dan Bayern Munich (1993-1994 dan 1996). Selebihnya, ia memimpin komite pelaksana Piala Dunia 2006 dan acap tampil sebagai komentator dan pengamat sepakbola di stasiun TV Sky Germany dan tabloid Bild.
“Wafatnya Franz Beckenbauer merupakan kehilangan besar. Kami memandang sepakterjangnya dengan rasa hormat dan rasa syukur yang besar. Kita kehilangan pesepakobola yang unik dan dicintai dalam diri Franz. Sang Kaisar adalah salah satu atlet terbaik kami. Franz Beckenbauer meninggalkan warisan yang besar bagi DFB dan sepakbola secara umum,” ungkap Presiden DFB Bernd Neuendorf di laman resmi federasi, Senin (8/1/2024).
Baca juga: Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé
Sisi Gelap Der Kaiser
Franz Anton Beckenbauer lahir di antara reruntuhan kota Munich pasca-Perang Dunia II, tepatnya pada 11 September 1945. Ia anak kedua dari pasangan Franz Beckenbauer Sr. dan Antonie Hupfauf. Tumbuh di lingkungan kelas pekerja di Distrik Giesing, Beckenbauer kecil mengenal sepakbola di jalanan. Dari permainan bersama teman-teman sebayanya yang mengidolakan pahlawan dan kapten timnas Jerman Barat saat memenangi Piala Dunia 1954, Fritz Walter, itu ia mencintai sepakbola.
Namun, kecintaannya pada si kulit bundar tak didukung keluarga. Ayahnya yang seorang pegawai kantor pos tak pernah simpatik terhadap sepakbola karena selain tak menjanjikan, hanya akan buang-buang waktu dan energi putranya.
“Lihat idolamu, Fritz Walter ini. Apa yang akan dia lakukan saat dia sudah terlalu tua untuk sepakbola dan tidak belajar untuk mendapatkan pekerjaan yang laik? Pesepakbola terlalu bodoh untuk menabung uang,” kata sang ayah ketus yang diingat Beckenbauer, dikutip Uli Hesse dalam Tor! The Story of German Football.
Meski begitu, kecintaannya pada sepakbolanya pantang luntur. Di usia delapan tahun, ia nekat merintis jalannya bersama tim muda SC Munich ’06. Lima tahun berselang, gegara timnya dibelit kesulitan finansial, ia bersama rekan-rekan setimnya “bedol desa” pindah ke tim muda TSV 1860 Munich.
“Lagi pula saya selalu bermimpi bermain untuk tim (1860 Munich) ini,” kata Beckenbauer dikutip Hesse.
Baca juga: Fritz Walter dari Perang Dunia ke Piala Dunia
Alasannya, lanjut Hesse, tak lepas dari ketimpangan yang terjadi di Munich pasca-Perang Dunia. Lazimnya pendukung TSV 1860 Munich didominasi masyarakat kelas pekerja di ibukota Bavaria itu. Sebaliknya, Bayern Munich selaku tim rival kerap dicap sebagai timnya kalangan kelas atas.
Ada satu insiden yang akhirnya membuat Beckenbauer lagi-lagi mesti pindah, kini ke Bayern Munich. Beckenbauer terus mengasah skill-nya di tim muda Bayern pada 1959. Pada 6 Juni 1964, di laga play-off untuk promosi ke Bundesliga, ia baru mendapat kesempatan menjalani debutnya di tim senior Bayern.
“Saat masih bermain di sebuah turnamen (Neubiberg U-14) pada 1959, seorang pemain 1860 Munich (Gerhard König, red.) menampar wajahnya, hingga akhirnya ia memilih pindah ke Bayern. Insiden tamparan itu mengubah jalannya sejarah. Siapa yang tahu seandainya bakat Beckenbauer tetap tertahan di 1860 Munich?” tulis David Squires dalam The Illustrated History of Football: Hall of Fame.
Bersama beberapa pemain muda potensial lain seperti kiper Sepp Maier dan bek Georg Schwarzenbeck, Beckenbauer berkembang pesat saat Bayern sudah ditukangi pelatih asal Yugoslavia, Zlatko Čajkovski, mulai 1963. Dalam perkembangannya, menurut Michael W. Cox dalam Zonal Marking: From Ajax to Zidane, the Making of Modern Soccer, Beckenbauer jadi pionir posisi sweeper atau libero modern yang mampu ikut merancang dan menopang serangan.
“Beckenbauer menjadi perintis peran sweeper dengan attack-minded, (alurnya) dimulai dari lini tengah dan kemudian mundur ke belakang untuk melakukan serangan dari kedalaman. Sweeper Italia murni pemain bertahan, sementara sweeper Jerman memanfaatkan kebebasannya untuk mendesak ke depan dan menyerang dari posisi di mana ia sulit dikawal (lawan). Beckenbauer seorang jenius di dalam mesin Jerman yang fungsional dan menghibur,” tulis Cox.
Buah darinya, Beckenbauer kemudian menjadi satu-satunya pemain bertahan yang dua kali menyabet anugerah pemain terbaik Ballon d’Or, pada 1972 dan 1973.
Baca juga: Jimmy Greaves Sang Predator Gol
Namun di balik itu semua, Beckenbauer juga tak pernah luput dari beragam kontroversi. Mulai dari wataknya yang kadang arogan, kehidupan pribadi, persoalan pajak, hingga dugaan suap.
Pada awal-awal kariernya, arogansi Beckenbauer membuatnya menolak wajib militer. Padahal di era Perang Dingin, pemerintah Jerman Barat mewajibkan setiap laki-laki di atas usia 11 tahun untuk wajib militer di Bundeswehr (angkatan perang Jerman Barat).
“Saya bukan orang Jerman, saya seorang Bavaria. Menurut saya itu jadi perbedaan yang besar,” ungkap Beckenbauer kepada majalah Der Spiegel, dikutip Hesse dalam bukunya yang lain, The Three Lives of the Kaiser.
Kehidupan personalnya pun senada. Di masa mudanya, Beckenbauer tak jauh dari skandal pergaulan bebas. Kala merintis kariernya bersama Bayern di usia 18 tahun, Beckenbauer sampai pernah menghamili pacarnya tetapi enggan bertanggungjawab dengan menikahinya.
“Itu terjadi di tahun 1963 dan akibatnya DFB melarang Beckenbauer dipanggil timnas muda. Baru setelah Dettmar Cramer menjadi pelatih timnas (untuk Olimpiade Tokyo 1964) ikut campur untuk menyelesaikan situasinya, Beckenbauer dipanggil kembali ke tim dengan syarat ia harus satu kamar dengan Cramer selama ke luar negeri,” tulis Rebecca Chabot dalam artikelnya, “A Tale of Two Kaisers: Ballack and Beckenbauer, and the Battle for Legacy” yang termaktub dalam buku Legacies of the Great Men in World Soccer: Heroes, Icons, Legends.
Sementara soal pajak, pada 1975 atau setahun setelah menjadi “pahlawan” yang memenangi Piala Dunia, Beckenbauer sempat terjebak struktur keuangan yang keliru sehingga ia dinyatakan menghindari pajak. Baru setelah dibantu menteri keuangan Negara-bagian Bavaria, Ludwig Huber, Beckenbauer memenuhi kewajibannya membayar pajak senilai 1,6 juta deutschemark (DM). Itu pun setelah mendapat pinjaman 1 juta DM dari sebuah bank di Bavaria berkat katebelece dari Huber.
Baca juga: Bomber Sangar Itu Bernama Gerd Müller
Lalu, pada 1987 pemerintah Swiss menyatakan Beckenbauer mangkir dari kewajiban pajak selama tinggal di Swiss antara 1977 dan 1980. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan suratkabar The New York Times edisi 24 Oktober 1987, Beckenbauer dihukum denda senilai 33 ribu dolar.
Bertahun-tahun kemudian, setelah menjadi salah satu penasihat khusus komite sepakbola FIFA, Beckenbauer dituding ikut terlibat dalam skandal suap bidding tuan rumah Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Piala Dunia 2018 di Rusia, dan Piala Dunia 2022 di Qatar. Ia menolak untuk kooperatif dalam penyelidikan FIFA hingga membuatnya mendapat sanksi selama 90 hari dan denda 7.000 franc Swiss pada 2014.
“Dia (Beckenbauer) memang melakukan segala hal yang tidak seharusnya dilakukan seorang Jerman. Dia pernah bercerai, meninggalkan anak-anaknya, lari bersama pacarnya, bermasalah dengan pajak, meninggalkan pacarnya lagi. Tetapi ia tetap bisa dimaafkan karena hatinya baik, pribadi yang positif, dan sigap membantu siapa saja. Dia tidak menyembunyikan kelemahan dan kesalahannya,” tandas punggawa timnas dan Bayern seangkatan Beckenbauer, Paul Breitner kepada Euronews, Senin (8/1/2024).
Baca juga: Paul Breitner si Pemain Kiri