Ingin Seperti Beckenbauer
Terinspirasi dari legenda sepakbola Jerman Franz Beckenbauer, Christian Hadinata ingin jadi pemain dan pelatih hebat.
CHRISTIAN Hadinata tak pernah bisa jauh dari bulutangkis. Setelah gantung raket pada 1986, maestro yang akrab disapa Koh Chris itu tetap berkecimpung di olahraga tepok bulu sebagai pelatih di PB Djarum, lantas di Pelatnas PBSI. Selain ingin membalas budi kepada olahraga yang telah membesarkan namanya, alasan yang selalu diungkapkan Koh Chris adalah terinspirasi legenda sepakbola Jerman Franz Beckenbauer.
Beckenbauer sudah jadi idolanya sejak muda. “Kalau idola (saya, red.) anehnya justru dari sepakbola, Franz Beckenbauer. Kenapa saya mengidolakan dia? Saya ingin meniru dia. Dalam artian, kariernya sebagai pemain hebat, jadi pelatih juga hebat,” cetus Koh Chris kepada Historia kala berbincang santai di Djarum Foundation, Jakarta, Senin (7/1/2019).
Legenda hidup sepakbola dunia berjuluk Der Kaiser itu sohor lantaran sebagai pemain sukses mengantarkan Jerman Barat juara Piala Dunia 1974. Sebagai pelatih, Beckenbauer sukses membawa negerinya juara Piala Dunia 1990.
Dalam sepakbola, Beckenbauer tentu bukan satu-satunya legenda jempolan. Tapi menurut Koh Chris, tak ada satupun yang kariernya selengkap Beckenbauer. “Pelé dan (Gerd) Müller itu pemain hebat tapi kan tidak melatih. Maradona juga luar biasa, sempat coba jadi pelatih tapi dia belum berhasil. Itulah saya bilang idola saya Franz Beckenbauer, itu semuanya lengkap. Saya ingin meniru seperti dia itu,” lanjut penggemar klub Spanyol Real Madrid itu.
Beralih jadi Pelatih
Lahir di Purwokerto, 11 Desember 1949, Christian memahat nama besarnya lewat beragam prestasi di olahraga bulutangkis. Nama besarnya terukir dari nomor ganda putra dan ganda campuran. Bersama Ade Chandra, Koh Chris jadi orang Asia dan Indonesia pertama yang mampu menjuarai ganda putra All England, tahun 1972. Bersama Imelda Wiguna, Koh Chris juga jadi atlet Asia dan Indonesia pertama yang juara ganda campuran All England (1979).
Bukan hanya All England yang dijuarai Christian bersama Ade dan Imelda. Mereka mengoleksi sederet gelar perorangan maupun beregu, mulai dari Kejuaraan Dunia, Thomas Cup, hingga Asian Games.
Baca juga: Sejarah Thomas Cup yang Jadi Impian Banyak Negara
Setelah pensiun tahun 1986, Koh Chris memilih jadi pelatih. “Saya memberanikan diri untuk jadi pelatih. Selain ingin seperti Beckenbauer, saya juga ingin mengembalikan (jasa) lewat tenaga, pikiran, dan waktu untuk bisa tetap membangun prestasi bulutangkis nasional. Ya seperti pertandingan atletik lari estafet 4x100 meter saja. Jadi pelari pertama mungkin Pak Tan Joe Hok, pelari kedua Rudy Hartono, kemudian saya pelari ketiga dan lantas bagaimana saya bisa mengoper ke pelari berikutnya agar Indonesia tetap berprestasi di dunia,” ujarnya.
Koh Chris memulainya dengan belajar dari sejumlah mentor di PB Djarum. Selain dengan Anwari, dia belajar melatih kepada Tahir Djide, Stanley Gouw, hingga teknokrat olahraga MF Siregar. “Pak Tahir itu dosen saya di STO. Kita sering diskusi tentang pelatihan fisik. Juga Stanley Gouw yang pertamakali memasangkan saya dengan Ade Chandra. Dari sisi motivasi, saya belajar dari Pak Siregar maupun Tan Joe Hok,” tambah Koh Chris.
Belum lama jadi pelatih di PB Djarum, Koh Chris ditarik ke Pelatnas PBSI pada 1990 oleh MF Siregar yang kala itu menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI. Karier moncernya di ganda putra menjadi alasan mengapa Koh Chris ditawari melatih sektor ganda putra, tawaran yang langsung diambilnya.
“Ya ini kesempatan emas mempraktekkan apa yang sudah saya dapat dari para senior saya. Bermodal keberanian, saya terima tugas itu. Waktu itu PBSI sedang persiapan untuk Olimpiade 1992 di Barcelona,” sambungnya.
Baca juga: PBSI Mendirikan Pelatnas Cipayung Saat Dipimpin Seorang Jenderal Rangkap Jabatan
Di Barcelona 1992 itu, di mana bulutangkis baru pertamakali jadi cabang resmi olimpiade, Koh Chris memoles pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan hingga meraih medali perak. Sejak itu, namanya sebagai pelatih kian berkibar. Tak ayal, tawaran melatih di luar negeri dengan gaji menggiurkan berdatangan. Namun, Koh Chris selalu menolak.
“Alasannya sarat ikatan emosi karena bulutangkis Indonesia sudah menjadikan dirinya menjadi juara dan setelah usai jadi pemain, ingin membalas kebaikan itu,” tulis Monty P. Satiadarma dalam Rahasia Ketangguhan Mental Juara Christian Hadinata.
Menjelang persiapan Olimpiade Atlanta 1996, Koh Chris “naik pangkat” jadi Kabid Pelatnas PBSI. Lewat kesuksesan duet hasil polesannya, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Indonesia berhasil menjaga tradisi emas olimpiade di Atlanta. Di final yang menegangkan, Ricky/Rexy membungkam pasangan Malaysia Cheah Son Kit/Yap Kim Hock 5-15, 15-13, dan 15-12.
“Itu momen paling manis buat saya sebagai pelatih. Saat persiapan, saya bilang pada mereka, saya enggak mau perak lagi. Kalau perak lagi berarti (prestasi ganda putra) enggak maju. Apalagi perunggu, turun dong prestasinya! Saya targetkan kalian emas. Berani, enggak? Siap, enggak? Mereka menyanggupi. Tentu hasil itu membanggakan sekali buat saya,” kenang Koh Chris.
Prestasi Koh Chris sebagai pelatih tak hanya berhenti sampai di situ. Di Olimpiade Sydney 2000, dia kembali mengantarkan Tony Gunawan/Chandra Wijaya meraih emas ganda putra.
Olimpiade, Kasih Tak Sampai
Ada alasan tersendiri mengapa Koh Chris lebih bangga jika anak-anak asuhnya memetik emas olimpiade ketimbang gelar-gelar kejuaraan lain. Pasalnya, sepanjang kariernya sebagai pemain, ajang multievent inilah yang belum mampu dimenanginya buat Indonesia. Prestasinya di olimpiade paling banter hanya sekadar dua medali cabang demonstrasi, di Olimpiade Munich 1972. Dari olimpiade di negeri pesepakbola idolanya itu Koh Chris membawa pulang sekeping emas ganda putra bersama Ade Chandra dan perunggu ganda campuran bersama Utami Dewi.
Baca juga: Lahir dari Pendiri Suryanaga, Utami Dewi Berkiprah di Amerika
“Ya, memang sayangnya saat masih jadi pemain, bulutangkis belum resmi jadi cabang olimpiade. Baru sekadar cabang eksebisi tahun 1972. Tapi 20 tahun kemudian saat saya jadi pelatih, baru diterima sebagai cabang resmi di Olimpiade Barcelona,” tutupnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar