Masuk Daftar
My Getplus

Pemboman Udara Pertama Indonesia

Operasi pemboman udara pertama Indonesia digagas dan dilaksanakan oleh para pelajar yang belum pernah terbang.

Oleh: M.F. Mukthi | 11 Jun 2019
Para anggota operasi pemboman pertama AURI (repro buku “Awal Kedirgantaraan di Indonesia”)

TIGA puluh menit beranjak dari pukul 02 dini hari tanggal 29 Juli 1947. Di atas pembaringannya yang hanya lima kursi kelas dijajar, pemuda Sutarjo Sigit gelisah. Mata kadet (pelajar penerbang) di Sekolah Penerbangan Maguwo itu tak kunjung bisa terpejam. Parasut yang dijadikan bantal olehnya juga tak membantunya bisa cepat tidur.

Tugas berat yang bakal diembannya terus memenuhi kepala Sutarjo. Bukan hanya pertama buat dirinya dan beberapa rekan kadet lain, tugas berupa operasi pemboman udara Semarang dan Salatiga itu juga akan menjadi yang pertama buat Indonesia.

Tugas itu muncul sehubungan dengan dilanggarnya kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati oleh Belanda. Pesawat-pesawat Belanda terus membombardir sasaran-sasaran strategis milik republik. Selain menimbulkan korban jiwa, serangan-serangan itu membuat Indonesia kehilangan banyak lapangan udara (lanud) berikut pesawat-pesawat yang dimilikinya.

Advertising
Advertising

Sutarjo dan Mulyono menyaksikan langsung ketika hendak ke lanud pada 21 Juli 1947. “Waktu tiba di Pangkalan Udara, mereka masih menyaksikan enam buah pesawat yang sedang terbakar, yang terdiri dari Cukiu, Nishikoreng, dan beberapa Cureng, yang sebagian besar tinggal kerangka dan abu belaka,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Bambang Saptoaji, Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutarjo, dan beberapa kadet udara lain bertekad untuk membalas dendam dengan melancarkan serangan udara ke daerah pendudukan Belanda. Kendati sempat ditolak tiga pimpinan teras AURI, kegigihan mereka memperjuangkan ide membuahkan hasil. KSAU Komodor Suryadarma dan deputinya bidang operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma, merestuinya kendati tidak memerintahkan operasi sukarela itu.

“Kalau ditinjau dari segi militer, apa yang akan saudara-saudara lakukan tidaklah besar artinya. Namun, bila ditinjau dari semangat perjuangan bangsa secara keseluruhan, apa yang akan kalian lakukan ini adalah untuk menggugah semangat perjuangan bangsa Indonesia,” kata KSAU Komodor Suryadarma kepada para kadet sebagaimana dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma.

Halim lalu menetapkan Hari-H operasi tanggal 29 Juli pukul 05.00 dengan sasaran Salatiga dan Semarang. Mulyono, ditemani penembak udara Dulrachman, diplot menyerang Semarang dengan pengawalan Bambang Saptoaji yang menerbangkan Hayabusha. Sutarjo ditetapkan sebagai flight leader dan ditugaskan menyerang Salatiga bersama penembaknya yang juga bernama Sutarjo. Keduanya juga didampingi Suharnoko sebagai wingman dan Kaput sebagai penembak.

Mereka bakal menggunakan empat pesawat yang tersisa: dive-bomber Guntai, fight-trainer Hayabusha, dan dua basic trainer Cureng. Semua pesawat peninggalan Jepang.

Usai menerima penjelasan teknis dari Halim, mereka kembali ke asrama Wonocatur untuk istirahat. Sutarjo tak bisa cepat tidur sampai dini hari tanggal 29 Juli karena gelisah. Dia tiba-tiba teringat tanggal 28 Juli 1947 usianya genap 20 tahun.  Pikirannya terus berjalan, masih adakah tanggal 28 Juli untuknya di kemudian hari.  

Pukul 03.30, para kadet dibangunkan dari tidur. Mereka lalu diangkut ke lanud menggunakan sedan tua. Nahas, mobil itu mogok di tengah perjalanan. Alhasil, para kadet melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Para teknisi masih sibuk mempersiapkan pesawat ketika mereka tiba di Maguwo. Sutarjo kembali sial, pesawat yang akan diterbangkannya tak bisa dipasang senapan mesin. Alhasil, Sutarjo harus pasrah terbang tanpa alat perlindungan diri. Namun, kesialan lebih diterima Bambang. Sistem sinkronisasi antara tembakan senapan mesin dengan putaran baling-baling pesawat Hayabusha-nya tak dapat diperbaiki. Alhasil, dia gagal terbang. Bambang sampai membujuk rekan-rekannya agar mau digantikan, tapi usaha itu tak berbuah.

Setelah menerima briefing singkat Suryadarma dan Halim, para kadet mengudara tepat pukul 05.00 dengan bantuan lampu mobil yang diparkir di pinggir runway sebagai taxi way lights dan sorotan lampu sebuah pesawat yang diparkir di ujung runway. Bambang hanya bisa menatap dari darat.  

Para kadet tanpa pengalaman terbang itu, terlebih terbang di waktu gelap, mengalami kesulitan begitu mengudara. Terlebih, Sutarjo. Matanya hampir buta karena terpapar cahaya berlebih dari lampu pesawat di ujung landasan. Sampai berapa waktu, pesawatnya terpisah dari rombongan.

Di atas sebuah danau luas, Suharnoko memantapkan hati bahwa telah mencapai Ambarawa. Bom pun dilepaskan dari sayap pesawatnya ke beberapa tangsi Belanda. Selesai melakukan pengeboman, Suharnoko mengarahkan pesawatnya ke Salatiga untuk bergabung dengan Sutarjo.

Sutarjo “asyik” sendiri di atas Salatiga karena terpisah dari rombongan. Begitu pesawatnya mendekati sebuah markas militer Belanda, dia langsung menarik tuas merah di kokpit. Bom dari sayap kiri pesawatnya pun memporak-porandakan markas Belanda itu. Dia langsung bersiap-siap untuk pemboman kedua. Namun sial, tuas pelepas bom patah sehingga pomboman keduanya gagal. Dia tinggal berharap pada tuas ketiga, berwarna kuning, untuk melancarkan serangannya.

“Setelah menukik dan mengarahkan pesawat ke arah sasaran, handle kuning tersebut ditarik, tetapi apa yang terjadi? Handle ini pun patah dan bom masih tetap menggantung di bawah sayap kanan. Dengan rasa dongkol dan kecewa pesawat dinaikan kembali,” tulis Irna.

Sutarjo terus mencari cara untuk menjatuhkan sisa bom di pesawatnya karena mendaratkan pesawat dengan bom di sayap sangat berbahaya. Dia akhirnya menemukan jawabannya, yakni menarik kawat penghubung antara bomb-rack dengan tuas. Masalahnya, bagaimana mengendalikan pesawat bila dia mesti menunduk untuk menarik kawat-kawat itu?

“Sutarjo kemudian memutuskan untuk terbang straight and level (langsung mendatar) menuju sasaran. Sambil merundukkan badan, ia raih ketiga kawat baja tersebut dengan tangan kiri dan menariknya kuat-kuat. Seketika itu juga keseimbangan pesawatnya kembali normal, tanda bahwa bom telah lepas.”

Di Semarang, bom-bom dari pesawat Guntai Mulyono membuat panik militer Belanda. Beberapa penerbang Belanda langsung berlarian menuju pesawat-pesawat mereka di Lanud Kaibanteng. Mereka gagal mengejar lantaran pesawat-pesawat itu belum dipanaskan.

Para kadet AURI langsung kembali ke Maguwo setelah menyelesaikan misi masing-masing. Mereka terbang rendah melewati rute berbeda dari yang mereka tempuh ketika berangkat. Suharnoko tiba paling akhir. Pesawat-pesawat yang mereka gunakan langsung disembunyikan dengan ditutupi dedaunan di bawah pepohonan di luar lanud guna menghindari bombardir balasan dari pesawat-pesawat Belanda yang datang sejam kemudian.

“Para kadet penerbang Indonesia yang hanya dengan penggemblengan darurat secara kilat di Sekolah Penerbang, telah berhasil melancarkan operasi udara yang pertamakali dalam sejarah perjuangan TNI Angkatan Udara,” tulis Irna.

 

TAG

Sejarah-AURI

ARTIKEL TERKAIT

Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Seragam Batik Tempur Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947 Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma Posisi AURI dalam Insiden Laut Aru Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang Peristiwa di Malang yang Terus Dikenang Juara di Udara