Sebuah jip yang dinaiki Pembantu Letnan (Peltu) Jan Baptist Vermeulen dan Sersan Mayor Albert Schultz tiba di punggung sebuah gunung. Vermeulen dan beberapa orang lalu turun dari jip dan berjalan kaki ke dua kampung bernama Segeri dan Talolo.
Sampai di sana, bintara tinggi itu malah terpaksa menyaksikan pemandangan mengerikan. Tiga bawahannya terbunuh. Mereka adalah Sersan Theunis Okkerse, Prajurit Pieter van Ee, dan Prajurit Peter Antonius Peeters. Ketiga anggota pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) didikan Kapten Westerling itu ditemukan dalam kondisi tercincang-cincang.
“Mayat-mayat itu dirampas dan ditusuk berkali-kali. Juga kompas, pistol, dan arloji dari Sersan Okkerse hilang,” kenang Vermeulen seperti dicatat Maarten Hidskes dalam Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya.
Vermeulen dan anggota DST lain lalu menyita semua senjata tajam atau bahan peledak dari kampung itu. Vermeulen yakin bahwa orang-orang Segeri dan Talolo adalah orang yang bersalah atas kematian tiga anak buahnya itu dan mereka harus bertanggungjawab. Lalu dikumpulkannyalah orang-orang dari Talolo dan Segeri.
“Tembak semua orang,” Vermeulen yang marah mengeluarkan perintah dalam bahasa Melayu pasar.
Hari itu, seperti dicatat laporan Van Rij en Stam, ada 200-an orang kampung yang terbunuh. Peristiwa pada 1 Februari 1947 itu terjadi setelah 26 anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) telah dieksekusi pada hari itu juga. Ini belum termasuk rakyat sipil yang menjadi korban daripada pasukan Kapten Westerling tersebut.
Tak peduli berapa ratus orang yang telah dihabisi dalam perjalanannya, kematian tiga anggota Vermeulen oleh pihak lawan yang disebutnya “extrimist” tak bisa diterima olehnya. Vermeulen begitu terpukul dengan kejadian itu.
“Brengsek, kurang ajar, orang-orang saya mati seperti itu,” Vermeulen memaki ketika sampai kembali ke jip, seperti dicatat Maarten Hidskes.
Tentang kematian tiga anggota DST tersebut, ada beberapa versi cerita. Maarten Hidskes mencatat: ada versi yang menyebut Sersan Okkerse dan dua prajurit itu digoda “gadis-gadis nakal” dengan “tawaran erotis” mereka. Ketiganya termakan perangkap “gadis-gadis nakal” itu. Versi lain, dari keluarga van Okkerse, menyebut bahwa ketiganya dijebak oleh orang-orang yang menyamar dengan memakai pakaian serdadu KNIL. Anggota DST itu tidak ambil pusing dengan pikiran orang-orang kampung yang membunuh ketiga kawan mereka itu merasa terancam hingga harus membunuh kawan mereka.
Prajurit Peter Antonius Peeters, menurut arsip OGS, adalah kelahiran Belfeld, 15 November 1921. Sementara Prajurit Pieter van Ee lebih tua lagi usianya, ia kelahiran 2 September 1917. Sementara itu, Sersan Theunis Okkerse adalah yang termuda. Dia kelahiran 14 Agustus 1922 dan sebelum jadi pasukan khusus DST pernah berada di korps artileri.
Kematian Sersan Theunis Okkerse tentu menggagalkan rencana perkawinannya dengan tunangannya. Ketika Theunis Okkerse terbunuh, pacarnya sedang dalam perjalanan ke Hindia Belanda untuk menikahi Okkerse.
Kematian tiga serdadu DST itu menghalangi usaha pembantaian terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai ekstrimis oleh tentara Belanda. Sebab, ketika datang ke Sulawesi Selatan pada Desember 1946, Kapten Westerling memimpin lebih dari 120 anggota DST yang telah dilatihnya di Jakarta. DST yang dilatih dan dipimpin Kapten Westerling itu tak hanya berisikan bule Belanda saja, tapi juga orang-orang Indonesia dari berbagai etnis.